Love And Pain, Me And Her - Bab 613 Aku Ingin Jawaban Darimu

Isyana tertegun melihatku, bertanya balik dengan penuh kecurigaan: “Ugie, apa yang kamu katakan?”

Aku terdiam, tapi rasa sakit di hati bagaikan disobek-sobek. Aku tahu, ini sudah ditakdirkan akan menjadi keputusan yang membuatku menyesal seumur hidup. Tapi aku tidak ada pilihan lain. Aku mengalihkan pandangan ke tempat lain, bahkan tidak berani menatap langsung Isyana.

Isyana pelan-pelan maju dua langkah ke depan, dia menatapku, agak tidak berani percaya bertanya: “Ugie, apa yang kamu katakan barusan? Putus, benarkah?”

Begitu kata-kata Isyana terucapkan, hatiku seperti tertindih sebongkah batu besar. Sebuah rasa tercekik menyebar di seluruh tubuhku. Tapi aku tetap diam-diam mengangguk.

Tiba-tiba Isyana tersenyum, dia memiringkan kepala melihatku, perlahan-lahan mengatakan: “Baiklah, putus ya putus.”

Sambil bicara, dia maju selangkah, merangkul lenganku, mengangkat kepala sambil tersenyum berkata padaku: "Katakan saja, apakah akhir-akhir ini aku memberimu terlalu banyak ruang kosong. Kamu menyukai gadis mana lagi?"

Isyana bercanda denganku. Candaannya membuat hatiku semakin bertambah sakit. Karena Isyana sama sekali tidak percaya aku akan putus dengannya. Di dalam hatinya, sejak lama aku sudah bukan hanya sekedar pacarnya, melainkan keluarganya, seorang anggota keluarga yang bisa menjaganya seumur hidup.

Sebenarnya aku juga ingin memberitahu Isyana kalau aku sedang bercanda. Tapi itu sudah tidak mungkin.

Aku mengambil keputusan dengan kejam, membalikkan kepala melihat Isyana. Berkata dengan serius: “Isyana, aku serius. Kita putus saja.”

Tatapan Isyana menjadi kebingungan. Dia tidak melihatku tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hingga saat memastikan apa yang aku katakan benar dan bukan sedang bercanda. Isyana menarik tangannya dari lenganku. Dia mundur selangkah, termenung dan melihatku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Melihat tampang tertekan Isyana, hatiku juga sakit bagaikan diiris pisau. Setelah beberapa saat, Isyana baru berkata dengan putus asa: “Ugie, apakah kamu tidak menginginkanku lagi? Apakah kamu benar-benar tidak menginginkanku lagi?”

Isyana sambil bicara, air mata langsung mengalir keluar dari rongga mata. Dia melihatku, lanjut mengatakan: "Ugie, aku yang terlalu egois atau aku tidak cukup baik, sehingga kamu baru tidak menginginkanku lagi, benar tidak?"

Isyana sambil bicara, air mata juga mulai mengalir tanpa henti. Hatiku sakit bagaikan ditusuk jarum. Maju selangkah ke depan, kedua tanganku memegang bahu Isyana, berkata dengan suara pelan: “Isyana, semua ini tidak ada hubungannya denganmu. Kamu sangat baik, benar, kamu sangat baik sekali.”

Masih belum selesai bicara, Isyana langsung mengangkat kepala melihatku, dia memotong pembicaraanku, sekali lagi bertanya: “Apakah aku baik? Aku tidak baik! Jika aku benar-benar baik, bagaimana kamu tega tidak menginginkanku? Ugie, kamu beritahu aku kenapa, sebenarnya ada apa dengan semua ini? Kenapa kamu mau meninggalkanku.”

Pada awalnya, Isyana masih diam-diam mengalirkan air mata. Tapi, saat berbicara sampai di sini, dia tidak bisa mengendalikan perasaannya lagi. Mulai menangis kencang.

Melihat Isyana, aku juga diam-diam mengalirkan air mata. Rasa sakit hati seperti ini, membuatku merasa bernafas juga berubah menjadi sulit. Isyana perlahan menenangkan emosinya, dia mengangkat kepala melihatku, sekali lagi bertanya: “Ugie, beri tahu aku, kenapa. Asalkan kamu memberiku sebuah jawaban, aku tidak akan mengganggumu lagi. Apakah boleh?”

“Raisa sudah pulang!”

Begitu kata-kataku diucapkan, Isyana segera mengerutkan kening. Dia melihatku, bertanya dengan bingung: “Raisa sudah pulang? Apa maksudnya? Bukankah dia selalu berada di ibukota provinsi?”

Aku diam-diam menggeleng. Sama seperti aku sebelumnya, Isyana dari awal sampai akhir selalu mengira Raisa berada di ibukota provinsi. Aku menghela nafas, sambil melihat Isyana, aku berkata dengan suara pelan: “Dia tidak ada di ibukota provinsi, melainkan pergi ke Beijing. Aku menjemputnya pulang.”

“Kamu ingin kembali lagi dengannya? Sudah begitu lama kamu masih belum melupakannya, walau sudah bersamaku, tapi yang kamu cintai tetap dia bukan?”

Isyana mendesak dengan pertanyaan. Suaranya juga jauh lebih tinggi, nada bicara juga berubah menjadi kaku.

Aku menggeleng lagi, melihat Isyana, menjelaskan: “Raisa menderita kanker payudara, dioperasi dua tahun lalu. Pada waktu itu dia memberitahuku kalau dia selingkuh dan hamil, semua itu palsu. Dia hanya tidak ingin membuatku terlibat saja. Dan sekarang sel kanker telah menyebar.”

Aku secara jujur memberi tahu Isyana tentang penyakit Raisa, serta kunjunganku ke Beijing untuk menemuinya. Isyana mendengarnya, membelalakkan mata hingga besar sekali. Setelah beberapa saat, dia baru tersadar. Dia bergumam pada dirinya sendiri: “Bagaimana mungkin? Raisa adalah gadis yang begitu baik, bagaimana bisa menderita kanker?”

Setelah Isyana mengucapkan kalimat ini, tiba-tiba dia mengangkat kepala, sekali lagi melihatku: “Ugie, kamu putus denganku karena ingin merawat Raisa, benar tidak?”

Aku terdiam. Dan Isyana sama sekali tidak peduli aku terdiam, dia lanjut mengatakan: “Ugie, kita tidak perlu melakukan seperti itu. Sebenarnya aku bisa menjaga Raisa bersamamu, di dalam hatiku, dia bukan hanya sebatas mantan pacarmu saja. Sejak awal aku sudah menganggap dia sebagai temanku.”

Aku percaya dengan ucapan Isyana. Jauh sebelumnya, dia sudah mengucapkan kata yang sama padaku.

Melihat Isyana, aku menggeleng kepala. Menahan rasa sakit di dalam hati, aku pelan-pelan mengatakan: “Isyana, maaf! Aku sudah hutang terlalu banyak pada Raisa, aku hutang sebuah pernikahan padanya. Jadi, aku ingin menikah dengannya. Aku ingin memberikan pernikahan dua tahun lalu padanya. Karena, ini adalah hutangku padanya!”

Mungkin, tidak ada orang yang mengerti perasaanku saat ini. Aku mencintai Isyana, tapi aku berhutang terlalu banyak pada Raisa. Demi diriku dia bahkan rela mengabaikan nyawanya. Dan yang dapat aku lakukan, hanya menebus pernikahan yang sudah seharusnya digelar dua tahun lalu.

Isyana tertegun berdiri di tempat, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun melihatku. Air mata diam-diam mengalir, dari pipi menetes ke lantai, sama seperti hatiku yang sedang meneteskan darah.

“Ugie”

Isyana pelan-pelan memanggil namaku. Aku termenung mengatakan: “Ugie, aku hanya ingin bertanya padamu, apakah kamu masih mencintaiku?”

Melihat ekspresi putus asa Isyana, aku diam-diam mengangguk.

Tetapi Isyana segera menggeleng, dia melihatku, menggeleng sambil mengatakan: “Aku tidak mau kamu mengangguk, aku ingin kamu menjawabku, cinta atau tidak cinta?”

Melihat Isyana, air mataku keluar lagi dari rongga mata. Aku pelan-pelan mengatakan: “Cinta, cinta sekali!”

Tiba-tiba Isyana tersenyum, itu adalah semacam senyuman yang hampir mendekati putus asa dan tidak berdaya. Mengangkat kepala melihatku, Isyana lanjut mengatakan: “Ugie, apakah kamu tahu? Tadi malam, malam sebelum rapat dewan, aku berpikir banyak sekali. Sebenarnya aku sudah berpikiran terbuka terhadap banyak hal. Apa itu harta, apa itu kekuasaan, aku sama sekali tidak peduli. Aku pikir, walaupun aku benar-benar mendapatkan kembali Djarum Grup. Tapi setelah meninggal, siapa yang bisa menduga, apakah masih akan ada nama Djarum Grup. Jadi, semalam aku sudah membulatkan tekad. Jika aku gagal, aku akan segera menikah denganmu. Aku akan merawat suami dan anak di rumah dengan tenang. Tidak akan mengurus masalah bisnis lagi.”

Novel Terkait

Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
3 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
3 tahun yang lalu
Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu