Love And Pain, Me And Her - Bab 588 Cafe

Robi memberitahukan Veni, aku tidak merasa kaget. Bagaimanapun Veni dan Raisa adalah sahabat baik, membayangkan dua gadis yang dulunya begitu ceria. Kini yang satu pergi jauh dari kampung halaman, menjadi seorang guru di pedesaan. Sedangkan yang satu lagi, terbaring di atas tempat tidur rumah sakit, dalam kondisi sekarat karena disiksa oleh penyakit.

Aku menghisap rokok, kemudian memadamkan puntung rokok di atas tempat sampah yang di samping. Membalikkan badan melihat ke arah Robi, aku langsung berkata “Robi, aku ingin membawa Raisa pulang ke ibukota provinsi.”

Kata-kataku, membuat Robi tertegun. Robi mendongak melihat ke arahku, kemudian berkata “Ugie, aku mengetahui bahwa kamu ingin menjaga Raisa. Tetapi apakah kamu pernah memikirkan? Ibu Raisa pasti tidak akan menyetujuinya.”

Apa yang dikatakan Robi, adalah alasan mengapa aku tadi terdiam saja. Tetapi aku tidak peduli, aku harus membawa Raisa pulang. Aku telah mengutang Raisa terlalu banyak, dalam kehidupan ini, aku sudah tidak memiliki kesempatan untuk menembusnya, sehingga aku tidak percaya terhadap kehidupan selanjutnya. Sehingga, aku harus menemaninya, menyelesaikan perjalanan dalam hidup Raisa.

Aku tidak menjawab pertanyaan Robi, menggelengkan kepala dan berkata “Nanti saja kita bicarakannya, ayo, kita naik ke atas.”

Pada saat aku dan Robi pergi ke kamar pasien. Raisa sudah tertidur. Berdiri di depan jendela pintu kamar, melihat Raisa yang tertidur, terlihat tenang dan begitu indah. Sudut mulutnya, terpasang senyuman, seolah-olah tidak pernah menderita penyakit apapun.

Malam ini aku berencana untuk menjaga Raisa di rumah sakit, tetapi Ibu Raisa menolaknya. Aku mengetahui bahwa, Ibu Raisa pasti merasa tidak tidak nyaman. Bagaimanapun aku dan Riasa sudah putus. Atas permintaan Ibu Raisa, aku dan Robi pulang ke hotel.

Tadi tepat pada pukul sepuluh malam, aku sama sekali tidak merasa ngantuk. Robi mengetahui bahwa suasana hatiku sedang buruk, sehingga Robi mengajakku untuk minum di bar yang di lantai bawah. Tetapi aku tidak ingin minum minuman keras, karena aku khawatir apabila aku minum minuman keras, jika Raisa meneleponku, aku tidak bisa menjawab panggilannya. Kemudian Robi mengusulkan untuk pergi ke cafe, minum kopi sambil mengobrol.

Kita berdua pergi ke cafe yang di lantai tiga. Pelanggan yang di cafe tidak banyak, kita berdua mencari tempat duduk. Kemudian memesan dua cangkir kopi, sambil minum, sambil mengobrol.

Robi mengaduk kopi, Robi terdiam sejenak, tiba-tiba mendongak dan bertanya kepadaku “Ugie, apakah kamu masih mencintai Raisa?”

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Robi, tetapi aku bertanya balik “Mengapa kamu bertanya seperti itu?”

Robi menggerakkan bahunya, kemudian berkata “Tidak ada alasannya, aku hanya merasa penasaran saja. Aku ingin mengetahui, setelah kamu mengetahui kenyataan. Terhadap Raisa dan juga Isyana, memiliki perasaan yang seperti apa.”

Aku tersenyum. Meraih cangkir kopi, kemudian menyesap sesuap kopi. Setelah berpikir sejenak, aku berkata “Robi, di dalam hidup kita ini tidak hanya ada rasa cinta saja. Aku mencintai Raisa, itu adalah masa lalu, itu adalah cinta. Tetapi sekarang, ini menjadi sebuah kewajiban. Menemani Raisa menjalankan masa akhir, ini merupakan kewajibanku sekarang.”

Robi menatapku, mendengar aku berkata seperti itu, Robi langsung bertanya “Bagaimana dengan Isyana ?”

Teringat Isyana, hatiku terasa sakit lagi, aku mendengus, berkata dengan halus “Tentu saja aku mencintai Isyana, sangat mencintainya! Mungkin kamu tidak mengetahui, di dalam hatiku, aku sudah menganggap Isyana sebagai istriku.”

Ketika berbicara tentang hal ini, aku merasa tercengang dan hampir meneteskan air mata lagi. Aku tidak tahu, mengapa aku ingin menangis pada saat ini. Mungkin karena Raisa, ataupun karena Isyana.

Robi menghelakan nafas, kemudian Robi bertanya lagi “Ugie, apabila Raisa tidak setuju untuk kembali ke ibukota provinsi bersamamu, apa yang akan anda lakukan?”

Aku menghembuskan nafas dengan kuat. menatap Robi, aku berkata dengan tegas “Apabila begitu aku akan mengundurkan diri dari pekerjaan, pergi ke kampung halamannya. Pokoknya, bagaimanapun. Aku akan menemani Raisa, menghabiskan sisa waktunya.”

Robi menatapku sambil memiringkan kepalanya, berkata dengan nada terkejut “Mengundurkan diri? Meninggalkan semua yang kamu miliki sekarang? Tidak peduli terhadap akibatnya untuk merawat Raisa?”

Menatap Robi, aku menganggukan kepala. Sebenarnya ini merupakan pemikiranku yang sesungguhnya, karena kekayaan yang hilang bisa dicari lagi. Tetapi tanggung jawab terhadap Raisa, apabila sudah terlewati, tidak akan ada lagi.

Kata-kataku, membuat Robi terlihat tidak berdaya. Robi perlahan-lahan menggelengkan kepala, menghelakan nafas dan berkata "Jika kamu langsung mengundurkan diri, itu pasti akan berdampak langsung terhadap perusahan investor kami dan juga terhadap Cantique. Bagaimanapun investasi tahap B baru selesai, COO mengundurkan diri. Akan membuat orang-orang yang diluar sana berpikiran buruk, media pasti akan sembarang memberitakan.”

Sambil berkata, Robi mendongak dan menatapku, Robi berubah topik pembicaraan, kemudian lanjut berkata “Akan tetapi, sebenarnya, aku mendukungmu! Tadi aku berpikir seperti itu juga, jika aku berada di posisimu, aku akan membuat keputusan yang sama denganmu.”

Begitu Robi selesai berkata, meraih cangkir kopi dan mengarahkan cangkir ke arahku. Aku meraih cangkir kopi juga, bersentuhan dengan cangkirnya. Kita berdua menggantikan anggur merah dengan kopi, kemudian minum seteguk kopi.

Inilah dia Robi, sahabat baikku. Sifat dan watak kita berdua memiliki banyak kesamaan, dia mengenalku, seperti aku mengenal dirinya.

Awalnya aku ingin bertanya kepada Robi mengenai Lulu, karena aku dapat merasakan, hubungan mereka berdua sepertinya memiliki perkembangan. Baru saja aku ingin bertanya, tanpa sadar aku menoleh ke samping.

Di meja yang tidak jauh dari kita, duduk seorang pria dan seorang wanita. Saat pertama kali aku melihat wanita tersebut, aku sedikit terpana. Wanita tersebut beriasan tebal, meskipun ini musim dingin, tetapi wanita tersebut berpakaian terbuka. Terlihat seperti wanita yang berprofesi. Aku memandangnya, merasa tidak asing, tetapi untuk sesaat aku tidak ingat dimana aku bertemu dengannya.

Robi melihatku memandang ke meja samping, bertanya dengan penasaran “Ugie, kamu melihat apa? Disaat yang seperti ini, kamu masih bisa melihat wanita lain?”

Kalimat terakhir yang Robi katakan, jelas-jelas adalah sebuah candaan.

Aku tidak mengambil hati, menjawab dengan santai “Tidak tahu mengapa, aku merasa sepertinya aku pernah bertemu dengan wanita tersebut.”

Robi tertawa, kemudian berkata dengan nada rendah “Wanita yang seperti ini, banyak di hotel manapun. Mungkin mereka berdua sedang bernegosiasi harga, setelah bernegosiasi harga, mereka langsung naik ke atas.”

Robi menjawab dengan santai. Aku tidak menganggap serius juga. Pada saat aku hendak menoleh ke samping, tiba-tiba wanita tersebut berdiri. Wanita tersebut merangkul lengan pria tersebut, mereka berdua jalan menuju ke arah pintu.

Ketika melewatiku, wanita tersebut berbisik dengan pria yang disampingnya “Mengapa kamu begitu jahat?”

Ini adalah bahasa Timur Laut. Tetapi karena bahasa inilah, yang mengingatkanku. Akhirnya aku teringat, dia adalah siapa.

Novel Terkait

Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
3 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu
Meet By Chance

Meet By Chance

Lena Tan
Percintaan
3 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Asisten Bos Cantik

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
4 tahun yang lalu