Love And Pain, Me And Her - Bab 478 Menolak

Papang tidak banyak berbicara, langsung berkata, “Pak Ugie, kalau kamu tidak sibuk siang nanti, bisakah datang ke perusahaanku? Aku ingin mendiskusikan masalah terakhir kali denganmu.”

Sebenarnya, Papang tidak membuat janji untuk masalah sebesar ini, malah tiba-tiba memanggilku. Dari ini, aku bisa merasakan, Papang tampak gelisah.

“Baiklah, aku akan mengaturnya dan pergi sekarang!”

Setelah menyetujui Papang, aku langsung menutup telepon. Melihat jadwal kerja hari ini, tidak ada yang terlalu penting pagi hari ini. Aku pamit kepada Lulu, naik mobil langsung pergi ke perusahaan Papang.

Perusahaan Papang, terletak di Taman Sains dan Teknologi di tenggara kota. Ini adalah wilayah yang secara khusus didirikan di provinsi untuk mendorong inovasi teknologi dan kewirausahaan Internet. Dalam dua tahun terakhir, perusahaan model b2b, b2c, dan o2o bermunculan. Taman Sains dan Teknologi sangat ramai seperti pucuk bambu yang tumbuh setelah hujan sampai harga properti pun naik.

Sesampai di perusahaan Papang. Aku segera memarkirkan mobil dan tidak terburu-buru masuk ke gedung perusahaan. Melainkan berdiri di luar, melihat gedung perkantoran yang modern ini bertuliskan satu huruf orange besar “Madinah”. Dan di bawahnya bertuliskan sederet kata kecantikan pilihlah Madinah.

Nama perusahaan Papang sangat bagus. Meskipun sederhana, tapi mudah disebarkan. Sangat cocok dengan karakteristik perusahaan Internet.

Setelah melihatnya sebentar, aku perlahan berjalan ke tangga menuju ke aula besar.

Di gedung perkantoran, beberapa pekerja berkerah putih berjalan terburu-buru. Sesampai di meja resepsionis, aku langsung berkata ingin bertemu dengan Pak Papang. Gadis yang berada di resepsionis menjawab dengan sopan.

“Halo, Pak Ugie. Pak Papang sudah berpesan, kebetulan dia sedang menunggumu di kantor, silahkan lewat sini.”

Dari meja resepsionis memasuki lift khusus internal dan langsung pergi ke kantor di lantai lima.

Mengetuk pintu, melihat Papang berdiri di depan jendela yang tinggi, memegang cangkir teh, memandang ke luar jendela. Dia berbalik melihatku, segera meletakkan cangkir tehnya, berjalan menghampiriku dan bersalaman, “Pak Ugie, kita bertemu lagi.”

Aku juga menyapanya dengan sopan.

Papang mempersilakanku duduk di ruang istirahat, dan asistennya menyajikan dua cangkir teh panas. Pada saat ini, aku mulai melihat kantor Papang. Kantornya tidak jauh berbeda dengan kantor Direktur lainnya, besar dan modern. Tapi yang paling mencolok adalah tembok di samping tempat istirahat, tergantung peta besar Cina . Hal yang menarik dari peta ini adalah beberapa provinsi dan kota memiliki bendera merah kecil. Tapi tidak banyak daerah dengan bendera merah, bahkan tidak ada seperlima.

Papang melihatku menatap peta ini, dia tersenyum dan berkata, “Pak Ugie, bagaimana dengan petaku?”

Aku tersenyum menganggukkan kepala, “Lumayan bagus! Kalau tebakanku benar, bendera merah ini menunjukkan produk Madinah telah menyebar ke wilayah ini, kan?”

Papang menganggukkan kepala, menoleh melihat peta. Berkata dengan yakin, “Targetku adalah memasang bendera merah di setiap sudut peta ini dalam waktu tiga tahun. Tiba saatnya, bendera merah akan terpasang indah seperti gunung.”

Papang berkata sambil tertawa. Kalimat terakhir Papang kutip dari sebuah ayat puisi. Tapi memang harus diakui Papang tidak hanya memiliki pemikiran jauh, yang terpenting adalah pemikiran dia ini sangat menular.

Papang tiba-tiba menoleh menatapku dan berkata, “Ugie, apakah kamu tertarik bergabung denganku membuat bendera merah di peta ini tampak indah?”

Papang mengajukan pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Menjawab bersedia, tapi persyaratannya masih belum dibahas. Menjawab tidak bersedia, maka tidak seharusnya aku datang kemari. Aku hanya tersenyum, mengangkat cangkir teh dan menyesapnya dengan pelan, tidak menjawab pertanyaan Papang.

Papang yang melihat aku yang tidak berbicara, mengambil rokok di atas meja kopi dan memberikan kepadaku, lalu menyalakannya. Papang menatapku, berkata, “Ugie, mari kita bicarakan masalah akuisisi studio-mu.”

Melihat Papang kembali membahas bisnis, aku segera mengangkat kepala menatapnya. Lalu mendengar Papang berkata, “Petinggi perusahaan mengadakan rapat beberapa kali untuk membahas masalah ini. Semua setuju kalau proporsi saham yang kamu inginkan terlalu tinggi. Ditambah dua posisi direktur inti tingkat menengah. Kami khawatir kami tidak bisa menyetujui persyaratan ini.”

Ketika Papang mengatakan ini, dia menatapku dengan serius. Aku tahu, dia ingin membaca pikiranku dengan gerak-gerikku. Tapi aku tetap tenang, menatapnya dengan tatapan kosong.

Aku tahu, Papang meneleponku pagi-pagi sekali. Dia pasti tidak hanya akan memberitahuku hasil akhir dan pasti ada kalimat selanjutnya. Seperti dugaan, Papang tersenyum, berkata, “Namun, petinggi perusahaan memiliki satu persyaratan. Kamu orang yang berbakat dan luar biasa. Jadi dari hasil rapat diputuskan gaji tahunan, kesejahteraan dan tunjangan lainnya tidak berubah, dan ekuitas akan meningkat dari 6% menjadi 10%. Dua posisi direktur, untuk sementara hanya bisa memberikanmu satu posisi saja. Selain itu, ketika ada perubahan pekerjaan, kami akan mempertimbangkan orang yang kamu pilih.”

Ketika Papang mengatakan ini, matanya terus menatapku dengan seksama. Setelah berhenti beberapa saat, dia bertanya, “Ugie, persyaratan ini seharusnya cukup bagus, kan?”

Aku terdiam memandang Papang, perlahan-lahan menggelengkan kepala.

Saham yang aku inginkan sebelumnya adalah 20%. Tentu saja, aku melakukan ini untuk memberikan Papang ruang tawar menawar. Sebenarnya saham yang aku inginkan berkisar di 13%-15%.

Ada alasan mengapa aku begitu bersikeras. Kalau hanya 6% atau 10%. Setelah beberapa kali pembiayaan, sahamku pasti akan terdilusi. Artinya, kita yang menjadi pemegang saham, harus memberikan sebagian saham kepada investor secara proporsional.

Mungkin setelah go public, sahamku pada akhirnya akan menjadi 3% atau lebih sedikit. Kalau seperti itu, itu sama saja aku keluar dari permainan ini, dan menjadi pekerja senior. Masa depan Madinah memiliki hubungan yang sangat besar dengan diriku. Jadi, aku pasti tidak akan menyetujuinya.

Papang seolah tidak terkejut dengan penolakanku. Dia menyesap rokok, menatap dan bertanya, “Ugie, beritahu aku. Berapa saham minimum yang kamu inginkan, agar bersedia bergabung dengan Madinah?”

Setelah menyesap sebatang rokok, aku mematikan puntung rokok di asbak, menatap Papang, berkata, “Pak Papang,aku tidak ingin membuang terlalu banyak waktu di masalah ini. Aku sarankan, kamu langsung ke intinya, kalau bisa jangan biarkan aku mengatakan kedua kali. Tapi kalau tidak bisa mencapai persyaratan yang aku inginkan, transaksi penjualan diantara kita berdua tidak terjadi, kita urus masalah masing-masing, dan ke depannya masih bisa menjadi teman baik.”

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
3 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu