Love And Pain, Me And Her - Bab 587 Perpisahan

Raisa tersenyum simpul. Raisa mengulurkan tangannya, membelai wajahku dengan halus. Tangannya terasa sangat dingin, tetapi terasa sangat lembut, Raisa meratapiku, kemudian berkata “Ugie, kamu benar-benar bodoh sekali! Aku meninggalkanmu, karena aku mencintaimu! Ugie, aku terlalu mengenalmu, sama seperti mengenal diriku sendiri. Di dalam hidupmu, aku hampir menjadi seluruh bagian dari hidupmu. Kamu demi aku, kami bisa merelakan tawaran pekerjaan bergaji tinggi dan kesempatan untuk berkembang di kota lain. Kamu memiliki kemampuan, sebenarnya kamu akan memiliki masa depan yang lebih baik. Tetapi aku mengetahui bahwa, selama aku masih berada di sisimu, kamu akan menaruh perhatian sepenuhnya padaku. Sehingga, aku harus meninggalkanmu, membuat kamu membenciku, membuatmu memiliki semangat. Membuatmu menggapai kehidupan yang berbeda.”

Kata-kata Raisa, seperti pisau yang menyayat hatiku. Tetapi Raisa terus tersenyum, Raisa menggenggam tanganku, berkata dengan halus “Ugie, kita bertemu pada waktu yang tepat dan pernah saling menemami. Bagiku, ini sudah lebih dari cukup.”

Sambil berkata, Raisa menggenggam tanganku lebih erat lagi, Raisa menggenggam dengan sangat kuat, sepertinya Raisa khawatir begitu dia melepaskan tangan, aku akan menghilang. Kemudian, Raisa berkata dengan halus “Ugie, aku baik-baik saja, semua baik-baik saja. Aku merasa sangat senang. Benar.”

Kata-kata Raisa, membuat air mataku mengalir lagi. Membuatku semakin membenci diriku sendiri, disaat Raisa membutuhkan aku, aku tidak menyadari sama sekali, malah menyalahkannya.

Semakin aku memikirkannya, hatiku merasa lebih sakit. Raisa memberitahukanku, cinta adalah toleransi. Sehingga, dia dan Sutan akan melangkah begitu jauh. Sedangkan hari ini, Raisa memberitahukanku, cinta adalah pengorbanan, pada saat Raisa dalam masa-masa sulit, demi masa depanku, dia memilih untuk meninggalkanku. Tetapi Raisa tidak mengetahui bahwa, pengorbanan dia yang seperti ini, telah mendorongku ke dalam rawa kesakitan, tidak bisa membebaskan diri.

Meskipun Raisa sedang menangis, tetapi Raisa tetap tersenyum. Senyuman Raisa masih seperti dulu, begitu murni dan mempesonakan. Menatapku, Raisa berkata dengan nada halus “Ugie, kamu ingin bertemu denganku, aku sudah mengizinkan kamu datang juga. Tetapi sekarang, semua sudah berlalu. Kembali ke ibukota provinsi, menjalani usahamu dengan baik dan juga harus menjalani hubunganmu dengan baik. Ugie, Isyana adalah gadis yang baik, jangan mengecewakannya, tahukah kamu? Didalam kehidupan seseorang, dapat bertemu dengan orang yang benar-benar saling mencintai, betapa sulit? Sehingga, kamu harus menyayangi, bisa?”

Suara Raisa terdengar sedikit lemah. Hari ini Raisa terlalu banyak berbicara, sudah terasa sedikit capek. Begitu Raisa selesai berbicara, mendengar suara pintu belakang terbuka. Aku segera menyeka air mata, menopang kedua kakiku yang lemas, berdiri perlahan-lahan.

Membalikkan badan, melihat seorang perawat masuk ke dalam, perawat tersebut melihatku, kemudian tersenyum kepada Raisa “Raisa, hari ini terlihat lebih segar, apakah sudah merasa lebih baik?”

Meskipun kedua mata Raisa penuh dengan air mata, tetapi Raisa tersenyum sambil menganggukan kepala. Perawat berkata “Apabila begitu, mari kita pergi ke ruang kemoterapi.”

Raisa sambil menganggukan kepala, berusaha untuk duduk. Aku menggendong Raisa, meletakkan di atas kursi roda yang di samping. Mendorong Raisa, keluar dari kamar pasien.

Ibu Raisa dan Robi berdiri didepan pintu. Kedua mata mereka berdua memerah, sepertinya Ibu Raisa sudah memberitahukan Robi mengenai semua pengalaman Raisa, tidak ada satu orangpun diantara kita yang berbicara, setelah mengantar Raisa ke ruang kemoterapi. Aku dan Robi langsung keluar.

Begitu keluar dari pintu, aku dan Robi saling bertatapan. Robi menepuk-nepuk bahuku, Robi menyemangati aku dengan cara seorang pria. Aku mendengus, berkata “Ayo, pergi ketemu dengan dokter, melihat apa yang akan dikatakan dokter.”

Ketika bersama dengan Raisa, aku tidak berani menanyakan tentang kondisi penyakitnya. Sebenarnya bagaimanapun aku bertanya, Raisa pasti akan memberitahukanku bahwa dia baik-baik saja. Dua tahun lalu, Raisa memilih meninggalkanku dengan cara yang seperti ini, apalagi sekarang?

Aku dan Robi sudah bertemu dengan dokter. Setelah memberitahukan identitas dan tujuan kami, dokter tersebut meratapiku, kemudian berkata “Mengenai kondisi Raisa, aku sudah memberitahukan kepada keluarganya. Sayang sekali, sel kanker Raisa sudah menyebar. Sebenarnya dua tahun lalu setelah operasi, kondisi Raisa masih baik. Tetapi di dalam dua tahun ini, suasana hati Raisa sangat tidak stabil, kelelahan bekerja, tidak cukup beristirahat. Kombinasi dari berbagai macam alasan, membuat penyakit Raisa menambah parah.”

Kata-kata dokter, tanpa sadar membuat tubuhku bergetar. Di dalam ruangan ini pemanas ruangan menyala, tetapi aku terasa sangat dingin. Rasa kedinginan ini, aku tidak pernah merasakannya. Rasa dingin yang masuk ke dalam sumsum tulang.

Aku berusaha untuk menenangkan diriku sendiri, meratapi dokter, aku bermohon “Dokter, apakah masih ada cara lain? Jangan khawatir mengenai masalah keuangan, menghabiskan seberapa banyak saja tidak apa-apa.”

Apa yang aku katakan, semuanya adalah pemikiranku. Aku rela menghabiskan semua kekayaanku, untuk mengganti nyawa Raisa. Meskipun hanya sepuluh tahun saja.

Dokter menatapku dengan ekspresi yang serius, kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata “Bapak, aku mengerti perasaanmu sekarang. Tetapi aku ingin memberitahukanmu, berdasarkan kondisi Raisa, sebenarnya kemoterapi sudah tidak berguna lagi. Aku menyarankan kembali ke pengobatan konservatif saja. Apabila semua berjalan dengan lancar, mungkin Raisa masih bisa bertahan hidup selama setengah tahun ataupun satu tahun lagi. Apabila tetap menjalankan kemoterapi, berdasarkan kondisi tubuhnya sekarang, pasti tidak akan bertahan lebih dari tiga bulan.”

Kata-kata dokter, membuat aku menangis lagi. Robi merangkul bahuku, kemudian menepuk bahuku dengan halus. Karena Robi khawatir aku akan kehilangan kendali. Seseorang yang pernah aku cintai, seorang gadis yang memiliki masa depan yang cerah. Dengan cara yang seperti ini, dijatuhi hukum mati dengan kanker. Sedangkan aku, tidak berdaya. Tidak bisa membantu sama sekali.

Dokter melihatku, kemudian berkata dengan nada halus “Bapak Ugie, bagaimana keputusannya, tergantung pada anggota keluarga. Sebagai seorang dokter, aku merasa sangat kasihan dan juga sangat sedih. Tetapi aku berharap kalian bisa tetap semangat, menemani akhir masa pasien.”

Aku menganggukan kepala. Kemudian aku dan Robi keluar dari ruangan tersebut.

Gerbang rumah sakit, aku dan Robi berdiri di depan pintu, tidak berhenti merokok. Tidak tahu kapan, diluar sana mulai bersalju, kepingan salju yang melayang. Membuat dunia ini berubah menjadi warna putih. Dunia ini yang putih, di dalam pandanganku, terlihat seperti kain kafan, seperti sedang perpisahan dengan Raisa.

Robi mendengus, berkata dengan halus “Ugie, tadi baru saja aku berbicara dengan Ibu Raisa. Maksud Ibu Raisa, setelah menyelesaikan kemoterapi ini, langsung membawa Raisa pulang saja. Karena pengobatan sekarang, sudah tidak memiliki arti lagi.”

Aku menganggukan kepala. Pemikiranku sama seperti dunia yang hampa, terasa sangat kosong.

“Kemudian, aku memberitahukan Veni. Veni hari ini dia akan berangkat, paling lambat besok sudah tiba.”

Robi berkata lagi.

Novel Terkait

Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
5 tahun yang lalu
Meet By Chance

Meet By Chance

Lena Tan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
4 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
5 tahun yang lalu