Love And Pain, Me And Her - Bab 348 Ugie Dan Viali

Keberhasilan atas pesanan ini membuat aku sangat senang. Setelah kembali ke hotel, hal pertama yang aku lakukan adalah melakukan panggilan telepon kepada Isyana. Sayangnya, handphone Isyana tidak aktif. Aku merasa sedih. Terpaksa hanya bisa mengirimkan pesan singkat. Kemudian, aku juga sudah selesai memesan tiket penerbangan untuk besok. Setelah semuanya beres, kini hanya tinggal menunggu malam tiba. Aku ingin jalan-jalan ke Bund yang terkenal legendaris.

Menjelang malam, aku pun keluar. Namun tiba-tiba aku melihat kertas di atas meja kopi. Didalamnya masih tersimpan baju Viali. Setelah berpikir, aku memutuskan untuk menelpon Viali untuk mengembalikan baju kepadanya.

Telepon pun terhubung dengan begitu cepat, terdengar dengan jelas bahwa suara itu adalah suara asistennya, “Halo, Pak Ugie. Apakah mencari Presdir Qiao?”

Suara asistennya terdengar pelan dan menyenangkan. Aku bisa merasakan bahwa dia sedang dalam suasana hati yang baik.

“Benar, berikan telepon kepada Presdir Qiao, ada yang mau aku sampaikan padanya.”

Asistennya langsung menjawab, “Mohon maaf, Pak Ugie. Presdir Qiao sedang rapat dengan salah satu investor, aku akan menginformasikan padanya untuk meneleponmu ketika sudah selesai nanti, bolehkah?”

Ternyata Viali sedang sibuk.

Aku menjawabnya dan kemudian menutup telepon.

Selama jalan-jalan di Bund. Ternyata malam tiba tanpa sadar. Pemandangan malam hari di Bund sangatlah indah. Bangunan khas setiap bangsa ada disana dengan sorotan cahaya yang menunjukkan bukti sejarah. Ditambah dengan kapal pesiar di Sungai Huangpu dan Shanghai Tower yang terang. Semuanya ini menunjukkan kecemerlangan Gemerlap Kota Besar .

Angin sepoi berlalu. Walaupun terasa lebih dingin tapi aku masih terus berjalan. Hampir saja aku mabuk dalam perjalanan itu, tiba-tiba telepon berbunyi. Aku angkat teleponnya dan ternyata dari Viali. Dengan terburu-buru aku mengangkatnya, suara Viali yang terkesan dingin terdengar lagi di telingaku.

“Kamu dimana?”

Viali langsung bertanya seperti itu.

Terkait pertanyaan Viali, aku merasa heran. Namun aku langsung menjawabnya, “Aku lagi di Bund, oh iya Viali, kamu tinggal di hotel mana. Bajumu sudah kucuci dan akan kuantarkan ke sana.”

Viali merasa sedikit terkejut dengan jawabanku. Dia mungkin tidak kepikiran kalau aku akan mencucikan baju untuknya. Dia terdiam dan berkata, “Kamu kembali ke kamarmu, ada yang mau aku bahas denganmu.”

Aku terkejut. Viali meninggalkan kamarku pagi ini dengan kemarahan hingga menggertakkan giginya. Namun sekarang dia malah ingin ke kemarku, ini membuatku heran. Namun aku menyetujuinya dengan senang hati. Menurut pemikiranku, pasti dia mencariku untuk membahas perihal Robi. Namun aku benar tidak bisa membantunya terkait ini.

Kembali ke kamar, istirahat sebentar. Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Seharusnya Viali.

Begitu pintu dibuka, benar saja bahwa Viali dengan tatapan dingin sudah didepan pintu. Dia memandangku dan tanpa permisi langsung masuk ke dalam ruangan.

Meskipun aku berbagi kasur dengannya tadi malam namun sikapnya membuatku sangat tidak nyaman. Jika saja bukan karena bantuan perkataannya di rapat proposal hari ini, aku tidak berencana untuk menunjukkan sikap baik padanya. Aku juga tidak berhutang padanya, kenapa dia harus bersikap dingin padaku?

Viali duduk diatas sofa. Aku duduk di tempat tidur dan kemudian menyalakan sebatang rokok. Viali kemudian mengerutkan keningnya dan dengan tidak puasnya berkata, “Ugie, kapan kamu baru bisa menjadi pria terhormat? Seharusnya kamu bertanya pada lawan bicaramu apakah dia nyaman dengan bau asap?”

Sikap Viali membuatku semakin membuatku tidak senang. Aku memandangnya dan mengikuti gaya wajah Robi yang licik dan berkata, “Aku belum pernah melihat pria terhormat dan tidak berencana untuk mempelajarinya. Namun aku tahu kalau kamu pasti tahan dengan bau asap ini, karena tadi malam kamu tidur dengan nyenyak walaupun aku merokok.”

Baru saja aku selesai berbicara, tiba-tiba ada bayangan hitam mendekat. Aku segera bersembunyi dan ternyata itu adalah bantal yang dilempar Viali.

“Dasar kurang kerjaan.”

Viali memarahiku.

Dengan tidak setujunya, aku berkata, “Semua ini aku pelajari dari adikmu Robi.”

Setelah aku selesai berbicara, mulut Viali pun terlihat dinaikkan. Akhirnya dia menunjukkan ekspresi tersenyum. Melihat ekspresinya terhadap Robi, dapat disimpulkan bahwa dia sangat menyayanginya.

Sayang sekali, senyuman itu hanya sebentar. Viali kembali memandangku dengan tatapan dingin dan berkata, “Senin, aku bertanya padamu, Bisakah model bisnis yang kamu ajukan pada rapat proposal hari ini bisa diterapkan di industri lain?”

Aku memandang Viali dengan heran. Aku tidak habis berpikir bahwa dia memiliki ketertarikan terhadap model bisnis itu. Sepertinya, hari ini dia tidak membahas masalah Robi denganku melainkan model bisnis ini.

Melihat aku yang terdiam, Viali mengira bahwa aku tidak mengerti dan kemudian berkata, “Maksudku adalah apakah model bisnis itu bisa diterapkan di bisnis lain seperti contohnya peralatan rumah tangga.”

Begitu membahas tentang pekerjaan. Aku segera menyingkirkan senyuman. Melihat Viali dan dengan seriusnya aku berkata, “Tidak begitu memungkinkan ! Apa yang kamu sampaikan tadi pernah aku pikirkan sebelumnya. Model bisnis ini cocok dengan produk yang bergerak cepat, seperti tembakau, alkohol, gula dan teh serta layanan pasca penjualan yang ribet juga merepotkan.”

Aku berkata jujur. Ketika membuat model bisnis ini, aku sudah terpikir dengan pertanyaan itu.

Viali mendengarkan dan dia sedikit mengangguk dan berkata, “Aku juga memikirkannya tadi ! Memang tidak begitu cocok. Baiklah, aku pergi dulu !”

Setelah berbicara, Viali pun berdiri.

Aku agak tercengang. Obrolan semacam apa ini? Baru saja ngobrol dua kata, dia sudah mau pergi. Namun, memahami sikap tegas Viali selama ini, aku tidak melarangnya. Aku menunjuk baju yang ada diatas meja kopi dan berkata, “Ambil pakaiannya, jangan lupa.”

Barulah Viali melihat bajunya, dia agak ragu namun tetap mengambilnya. Aku mengantarnya sampai depan pintu, aku bertanya padanya dengan santai, “Sebenarnya aku ingin mengundangmu untuk makan malam, namun kamu buru-buru ingin pergi.”

“Makan apa?”

Jawaban Viali membuatku terdiam. Tidak disangka, niat awalku yang hanya perkataan umum pada tamu ternyata ditanggapi serius olehnya.

Awalnya, aku berencana untuk pergi ke Bund dan makan cemilan disana. Namun, melihat reaksinya, aku rasa rencanaku sudah batal. Aku tersenyum dengan malu dan menanyakan balik, “Kamu ingin makan apa?”

Sebenarnya, Viali sudah meninggalkan kamar. Dia ternyata berbalik badan dan kembali ke kamar. Menyingkirkan kantong kertas tadi dan berkata, “Biarkan mereka untuk memesan sesuatu dan antarkan ke kamar saja.”

Aku menganggukan kepala dengan bodoh. Karakter Viali sangat sulit dipahami, dia yang begitu membenciku, justru bertahan untuk menemaniku makan. Hidupnya yang begitu sukses, justru bisa bertahan untuk makan di dalam kamar. Sangat membuatku terkejut.

Novel Terkait

Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
5 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
4 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
4 tahun yang lalu