Love And Pain, Me And Her - Bab 191 Bagaimana Jika Kita Pergi Kerumahku

Aku tidak tahu apakah Isyana akan membantuku jika aku memberitahunya, tetapi aku tahu, jika aku memberitahunya, pasti akan membuatnya sulit, seorang lelaki tidak seharusnya melakukan sesuatu yang membuat wanita yang di sukainya merasa demikian. Aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.

Aku menatap Isyana, tersenyum menjawabnya, “Apa lagi yang bisa di bicarakan dengan Sutan? Hanya saling membicarakan kabar kami akhir-akhir ini.”

Isyana juga tersenyum, dia mendongak dan menghirup udara segar. Kemudian dia menoleh menatapku sambil tersenyum, dan berkata, "Aku suka Veni, aku sangat menyukainya! Karakternya sangat baik, dia adalah orang yang paling lembut dan paling perhatian dari semua orang yang pernah ku temui. "

Tadi, Isyana terus-menerus berbicara dengan Veni. Dia bukan yang pertama terpikat oleh Veni. Siapa pun yang telah bersama Veni beberapa kali akan tertarik dengan karakternya, termasuk aku.

Setelah Isyana selesai berbicara, dia tiba-tiba tersenyum nakal kepadaku dan bertanya, "Ugie, mengapa kamu tidak mengejar Veni, tapi Raisa?"

Isyana menanyakan pertanyaan yang tidak bisa terpecahkan.

Jika menggunakan apa yang sudah dikatakan oleh Robi, bukannya kita kurang jika dibandingkan oleh Sutan, hanya saja kita tidak dewasa seperti Sutan. Dia mengerti bahwa burung yang ceroboh harus terbang lebih awal – seseorang yang lambat harus memulainya lebih awal. Saat awal masuk perguruan tinggi, semuanya masih bingung tentang kehidupan di dunia perkuliahan. Tetapi orang ini sudah mengejar Veni.

Isyana melihatku hanya dia, dia tertawa sambil berkata, “Sebenarnya Raisa juga baik, keduanya sama-sama baik. Aku suka mereka berdua.”

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Aku tidak ingin melanjutkan topik Raisa dengan Isyana, tetapi Isyana tidak ada habisnya. Dia bertanya lagi kepadaku, "Ugie, mengapa kamu tidak bertanya apa yang aku dan Raisa bicarakan?"

Aku menatap Isyana, mengikuti perkataannya, “Kalian bicarakan apa?”

Isyana tertawa, sedikit mabuk.

“Tidak mau memberitahumu!”

Isyana yang sedang mabuk, lebih banyak bicara dibandingkan biasanya. Dia tidak berhenti berbicara, aku hanya mendengarkan. Aku suka perasaan yang seperti ini, terasa sangat bebas dan tidak terbatas.

Tiba-tiba, Isyana berhenti. Dia menarik jas itu ke atas dan ke bawah, menatapku dengan tatapan mabuk dan kabur, lalu berkata, "Ugie, sebenarnya, aku benar-benar iri padamu karena memiliki sekelompok teman baik. Kalian punya masa lalu yang sama, sehingga kalian memiliki kenangan yang sama. Tetapi aku, aku telah begitu sengsara selama bertahun-tahun. Ketika aku berada di luar negeri, aku melihat orang-orang dari berbagai kebangsaan setiap hari. Tidak ada yang mendengarkan aku ketika aku ingin membicarakan isi hatiku.”

Saat Isyana mengatakannya, ekspresi wajahnya terlihat pahit.

Aku melangkah maju dan melihat Isyana yang berada di bawah lampu jalan. Lampu kuning redup, menyinari pipinya yang merah, membuatnya terlihat lebih menawan. Aku tersenyum padanya dan berkata dengan lembut, "Isyana, pada kenyataannya, semua orang juga menganggapmu sebagai teman. Jika kamu ingin menceritakan sesuatu di masa depan, kamu bisa mencari mereka. Tentu saja, aku lebih suka jika kamu mencariku."

Isyana tersenyum bahagia.

Yang mengejutkanku, dia mengambil inisiatif untuk memegang tanganku. Aroma tubuhnya yang akrab langsung melayang, dan semuanya menjadi lebih hangat di malam yang berkabut dan memabukkan ini.

Ini adalah kedua kalinya Isyana memegang tanganku. Yang pertama kali adalah saat kami pergi ke acara Don Juan . Pada saat itu, dia memegang tanganku, menurutku pada saat itu dia memegang tanganku hanya untuk kesopanan. Tetapi saat ini, seperti semacam keintiman dari hatinya.

Jantungku berdetak semakin cepat, perasaanku juga terasa semakin nyaman. Hubunganku dengan Isyana, akan menjadi semakin dalam seiring berjalannya waktu.

Kami berdua berjalan di jalan dengan begitu tenang. Malam akhir musim gugur semakin dingin. Aku menggigil dan memandangnya lalu berkata dengan suara rendah, "Isyana, bagaimana jika kita pergi kerumahku?"

Setelah aku berbicara demikian, Isyana menatapku dengan kepala miring dan tidak berbicara. Senyumnya membuatku sedikit malu.

Setelah beberapa saat, Isyana tersenyum dan berkata, "Aku akan merasa bersalah jika aku membiarkanmu tidur di sofa."

Aku ikut tersenyum dan menggodanya dengan sengaja, "Sebenarnya, kamu tidak perlu merasa bersalah."

Isyana berpura-pura bodoh, balik bertanya kepadaku, “Maksudmu, biar aku yang tidur di sofa dan kamu tidur di tempat tidur? Apakah kamu tega?"

Melihat Isyana yang sengaja berpura-pura bodoh seperti itu. Aku menggodanya, mendekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik, "Kita bisa tidur satu ranjang, ranjang yang sama dengan mimpi yang sama, bukankah lebih baik?"

Isyana pertama-tama menatapku dengan tatapan genit, kemudian bergumam, "Ugie, aku semakin menyadari, kamu dan Robi sama-sama tidak tahu malu."

Aku tertawa. Dia sampai membandingkanku dengan Robi. Dia melanjutkan, "Kita bisa punya mimpi yang sama, tapi bukan ranjang. Jadi, sebaiknya kamu tidur di sofa."

Begitu Isyana selesai berbicara, dia tersenyum bahagia, aku juga ikut tertawa, kata-kata Isyana membuatku puas, setidaknya dia tidak menentang untuk pergi ke rumahku.

Kali ini Isyana sudah lebih terbiasa dibandingkan dulu. Dia dengan cepat berganti pakaian memakai bajuku dan pergi untuk mandi. Seperti sebelumnya, aku masih merokok di sofa. Mendengarkan suara air di kamar mandi. Pikiranku dipenuhi oleh gambaran Isyana yang sedang mandi.

Setelah habis sebatang rokok, Isyana masih belum keluar. Ketika rokok kedua menyala, aku tiba-tiba mengambil keputusan. Hari ini aku akan menyatakan perasaanku kepada Isyana lagi. Aku berpikir ini mungkin merupakan kesempatan yang bagus. Dia habis minum-minum, dan dia sedikit mabuk. Seperti yang kita tahu, orang menjadi lebih emosional setelah minum. Saat ini, jika aku menyatakan perasaanku padanya, mungkin aku akan memiliki peluang sukses yang jauh lebih besar daripada biasanya.

Suara air berhenti untuk beberapa saat sebelum pintu terbuka perlahan-lahan. Aroma manis langsung tercium. Langsung terlihat Isyana yang menggulung rambutnya. Wajahnya yang memerah terlihat lembut dan menawan. Jika dibandingkan dengan biasanya, dia terlihat lebih menawan saat ini.

Aku segera mematikan rokokku, melambai ke Isyana, dan memanggilnya dengan lembut, "Isyana, kemari sebentar."

Isyana mengambil handuk dan menatapku dengan ragu, tetapi dia tetap datang menghampiriku. Dia berjalan perlahan, di bawah kemeja, kakinya yang putih dan panjang di bawah cahaya terlihat lebih menarik.

Begitu Isyana sampai didepanku, dia tersenyum nakal, lalu menggelengkan rambutnya, dan air di rambutnya langsung jatuh ke arahku. Dia terkikik dan bertanya, "Kenapa kamu memanggilku?"

Aku menyeka air dari wajahku. Perlahan berdiri. Kemudian, mengambil mawar emas dari belakang, memberikannya ke depan wajahnya, tersenyum padanya dan berkata, “Untukmu.”

Wajah Isyana langsung terkejut. Dia menatapku dan bertanya dengan heran, "Ugie, dari mana kamu mendapatkan bunga mawar ini?"

Walaupun hanya 1 batang, tetapi Isyana sangat senang.

“Aku mencurinya dari toko Robi.”

Novel Terkait

Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
5 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
5 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
5 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Back To You

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu