Love And Pain, Me And Her - Bab 618 Masa Muda yang Berlalu Seiring Berjalannya Waktu

Tempat itu tidak ada bedanya dengan dulu. Hanya saja kita tidak lagi merupakan bagian dari orang yang keluar masuk tempat itu.

Isyana mengangguk, berkata dengan lembut, "Aku tahu, Ugie pernah memberitahuku. Hubungan kalian berdua dimulai di perpustakaan."

Aku mengikuti mereka di belakang, jadi aku bisa mendengar percakapan mereka berdua dengan jelas. Tapi aku tidak ingat kapan aku memberi tahu Isyana tentang ini.

Entah kapan salju mulai berterbangan di langit. Isyana takut Raisa kedinginan, jadi dia melangkah maju dan menutupi tubuh Raisa dengan mantel. Aku diam-diam mengikuti mereka berdua. Melihat punggung mereka berdua, aku merasakan ledakan emosi di hatiku.

Mengikuti jalan, kami lanjut mengambil langkah ke depan. Tiba-tiba aku mendengar Raisa berkata lagi: "Isyana, kapan Ugie mengusulkan putus denganmu?"

Saat menyebutkan topik ini, hatiku tersentak. Emosi Isyana sepertinya tidak terjadi perubahan, dia menjawab dengan lirih, "Kemarin"

Raisa tersenyum pahit. Dia menghela nafas, "Kemarin dia pulang dan berkata bahwa dia mau menikahiku. Aku pun menebak bahwa dia pastinya sudah putus denganmu. Isyana, apakah kamu menyalahkan aku?"

Isyana menggelengkan kepala, bersuara ringan: "Aku tidak pernah menyalahkanmu, aku hanya menyalahkan diriku sendiri. Kalau aku mengetahui keadaanmu lebih awal, mungkin situasi hari ini akan berbeda."

Isyana sangat baik hati. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena terlambat mengetahui semua ini.

Raisa memiringkan kepala. Meski aku tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas, tapi aku bisa merasakan bahwa dia sedang tersenyum. Terdengar Raisa melanjutkan: "Sebenarnya saat Ugie pulang kemarin, aku menemukan ada yang salah padanya. Meskipun dia masih tersenyum padaku dan mencoba untuk menyenangkan hatiku, tapi aku tahu dia memaksakan diri untuk memasang senyuman. Ugie sebenarnya sangat bodoh, dia kira dia menyembunyikan emosinya dengan sangat baik. Tapi nyatanya aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Kemarin, saat dia melamarku, aku seharusnya tidak menyetujuinya. Tapi aku tidak tahan saat menghadapinya. Tanpa sadar, aku pun mengangguk dan menyetujuinya."

Sambil bicara, Raisa menggelengkan kepala. Setelah beberapa saat, dia berkata lagi: "Tadi malam, aku tidak bisa tidur sama sekali. Setelah mengobrol dengan kamu melalui pesan teks, aku diam-diam memutuskan bahwa apapun yang terjadi hari ini, aku tidak akan menikah dengannya. Aku sudah amat menyusahkannya, aku tidak ingin diriku menjadi belenggunya di saat-saat terakhir hidupku. Jadi, Isyana, jangan salahkan dia. Dia hanya ingin membulatkan keinginanku karena aku tidak bisa bertahan di dunia ini lebih lama lagi. Sebenarnya orang yang dicintainya tetap adalah kamu."

Isyana tiba-tiba berhenti. Dia mengangkat tangan dan mengusap wajah. Meski aku tidak bisa melihat ekspresi Isyana, aku tahu dia menangis.

Raisa melanjutkan: "Tapi Ugie memang bodoh. Dia kira menikah dengannya adalah keinginan terakhirku. Dia tidak tahu bahwa aku akan menikah dengannya hanya jika kita berdua saling mencintai. Aku tahu, cinta Ugie padaku bagaikan bunga yang sudah layu. Apa yang tersisa hanyalah kasih sayangnya padaku, seperti keluarga. Orang yang dicintainya tetap adalah dirimu, Isyana."

Kata-kata Raisa membuat air mataku mengalir tak terkendali. Di dunia ini, jika hanya ada satu orang yang mengenalku dengan baik, maka orang itu pasti adalah Raisa. Aku ingin menggunakan caraku untuk memenuhi keinginan terakhir Raisa. Tapi aku tidak menyangka Raisa juga menggunakan caranya sendiri untuk menafsirkan kembali hubungan di antara kami.

Tubuh Isyana bergidik. Meskipun dia mendorong kursi roda, tapi air matanya juga tidak bisa dihentikan.

Satu-satunya yang paling tenang di antara kami adalah Raisa. Dia bergumam: "Isyana, walau waktu kita saling kenal belum lama, tapi aku tahu kamu orang yang baik. Jadi, aku mau memohon sesuatu padamu, boleh?"

Begitu Raisa mengucapkan itu, langkah kaki Isyana berhenti. Dia berjalan ke sisi Raisa, perlahan berjongkok, memegangi tangan Raisa dengan kedua tangan, berkata dengan tersedak, "Raisa, bilang saja. Selama aku bisa melakukannya, aku pasti akan berjanji padamu."

Raisa tersenyum. Melihat Isyana yang bercucuran ait mata, dia mengulurkan tangan dan menyeka tetesan air mata di wajah Isyana. Kemudian dia tersenyum dan berkata, "Ugie sangat bodoh. Dia terkadang segitu bodoh sampai-sampai tidak memahami hubungan antara cinta dan tanggung jawab. Dia merasa dia bertanggung jawab padaku. Sementara cinta sejatinya adalah kamu. Kamu juga tahu bahwa Ugie punya banyak kelebihan. Pada saat bersamaan, dia juga punya banyak kekurangan. Tapi bagaimanapun, dia selalu setia pada cinta. Berdasarkan ini saja, dia adalah orang yang layak dipercaya."

Sambil bicara, air mata Raisa ikut menetes. Kali ini, gantian Isyana yang membantu Raisa menyeka air mata. Raisa tersenyum dan melanjutkan, "Jadi, Isyana, aku mau memohon padamu untuk menjaga Ugie dengan baik di masa depan. Untuk aku, tentu saja, untuk dirimu dan cinta di antara kalian berdua. Oke, Isyana?"

Begitu Raisa mengatakan itu, aku langsung memejamkan mataku dengan erat. Tapi air mata bagaikan air terjun yang mengalir deras, terus mengalir dari mata.

Saat aku membuka mata, Isyana juga sedang menatapku sambil menangis. Matanya mengandung ekspektasi, ketakutan, lebih banyak harapan.

Dia menoleh untuk melihat Raisa, lalu mengangguk pelan. "Raisa, aku berjanji padamu. Apa yang kamu katakan, aku janji."

Melihat Isyana, Raisa tersenyum. Senyumnya sangat cerah. Sambil memegang tangan Isyana, Raisa tiba-tiba menghela nafas, melanjutkan:

"Kadang-kadang saat aku tidak bisa tidur, aku berpikir walau hidupku singkat, tetapi aku telah bertemu dengan cinta sejati dan seseorang yang layak dicintai. Jika ada penyesalan dalam hidupku, maka penyesalan itu adalah aku tidak bisa menyaksikan kamu dan Ugie berbahagia untuk waktu yang lama "

Setelah berkata, Raisa tersenyum lagi. Dia menambahkan: "Tapi aku yakin kalian akan bahagia. Benarkan, Isyana?"

Isyana membiarkan air mata mengalir dengan lancang. Menghadapi pertanyaan Raisa, dia mengangguk dengan kuat.

Raisa tersenyum lega. Dia mengangkat kepala, melihat pemandangan yang familiar di kampus. Sambil memandangi itu, dia bergumam pada dirinya sendiri: "Kampus yang bagus, pemandangan yang indah! Jika hidup bisa diulangi, aku sangat berharap untuk kembali ke masa kuliah, menikmati masa muda yang akan berlalu seiring waktu."

Saat berbicara, Raisa menghela nafas. Dia menatap ke arah perpustakaan sambil melamun, mengenang dengan tenang. Sementara aku dan Isyana tidak bersuara, menemani Raisa dengan diam.

Setelah beberapa saat, Raisa menoleh. Dia menatap Isyana dan berkata dengan lembut, "Isyana, aku capek. Ayo, bawa aku pulang."

Isyana mengangguk dalam diam. Dia mendorong kursi roda, meninggalkan kampus selangkah demi selangkah. Sesampainya di depan gerbang kampus, Raisa menoleh lagi untuk melihat gerbang sekolah. Dia berkata dengan lembut: "Selamat tinggal, kampusku."

Novel Terkait

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
4 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu