Love And Pain, Me And Her - Bab 617 Apakah Hidup Itu Seperti Bunga Segar

Raisa sedang membujuk Sutan. Tapi tampaknya Sutan sama sekali tidak mendengarnya, dia melihat-lihat Raisa, lalu menoleh untuk melihat aku dan Isyana. Sekarang dia juga bingung, dia tidak tahu bagaimana hubungan antara kami bertiga.

Raisa Melihat Sutan termenung. Dia sekali lagi memanggil nama Sutan: “Sutan, katanya perasaan masa sekolah adalah yang paling murni. Dan kita cukup beruntung, bisa mengalami masa itu bersama-sama. Pada saat itu, kamu dan Ugie juga teman yang paling baik. Tapi sekarang, kalian malah lelah demi ketenaran dan kekayaan, ribut hingga seperti sekarang ini. Sutan, dengarkan aku, lepaskanlah! Walaupun kalian tidak bisa kembali seperti dulu lagi, tapi kalian juga tidak seharusnya menjadi musuh. Sungguh, Sutan! Jika suatu hari, saat kamu menghadapi kematian, kamu akan menyadari, yang dinamakan status dan keuntungan, semua itu akan menjadi kosong hanya dalam sekejap saja.”

Ekspresi Sutan perlahan-lahan berubah menjadi lebih tenang. Dia termenung sambil melihat Raisa, juga tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Setelah beberapa saat, melihat Sutan mengangkat kepala melihat langit kelabu, mendengar dia menghela nafas dalam-dalam. Kemudian, dia melihat Raisa lagi, bertanya dengan suara pelan: “Raisa, Veni ada di mana? Bagaimana keadaannya saat ini?”

Semuanya tahu, Sutan masih belum melepaskan Veni.

Raisa melihat Sutan, dia menjawab dengan suara lembut: “Veni cukup baik, namun.”

“Namun kenapa?”

Raisa baru saja terdiam, Sutan tidak sabar untuk bertanya. Raisa lanjut mengatakan: “Namun Veni sudah menikah, suaminya sangat baik padanya, sekarang dia sangat bahagia. Tidak berharap diganggu oleh orang lain.”

Sebelumnya, ekspresi Sutan sudah lebih tenang. Tapi di saat Raisa selesai mengucapkan kalimat ini, ekspresi di wajahnya mulai berubah menjadi kaku. Dia termenung melihat Raisa. Setelah beberapa saat, mendadak Sutan membalikkan kepala. Sambil melihatku, dia berkata dengan galak: “Ugie, pada waktu itu jika bukan kamu dan Robi yang membuat Veni keluar kota. Bagaimana mungkin dia akan menikah? Bagaimana mungkin bisa menikah dengan pria tua yang jauh lebih tua darinya? Aku beritahu kamu, Ugie, Veni bisa sampai seperti sekarang ini, kamu adalah pelaku utamanya!”

Aku benar-benar tercengang! Bagaimanapun aku tidak menyangka, Veni pergi jauh, ternyata Sutan menyalahkanku sebagai biang keladi dari masalah ini. Aku melihat Sutan dengan wajah tanpa ekspresi, dalam hati malah merasa sedih. Hati Sutan sudah menyimpang hingga tahap tertentu.

Sutan sambil bicara, dia maju selangkah ke depan. Melototiku, sekali lagi mengatakan: “Ugie, aku beri tahu kamu! Semua rencanaku pada waktu itu sudah dihancurkan olehmu! Jika bukan karena kamu, aku dan Veni saat ini sudah bersatu!”

Sambil bicara, dia mengertakkan gigi sambil melihatku.

Sedangkan aku, malah tercengang oleh ucapannya ini. Aku tidak tahu, dulunya rencana seperti apa yang dimiliki oleh Sutan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku merusaknya. Tapi, aku tidak bertanya padanya.

Emosi Sutan semakin bergejolak, melihatku, dia dengan penuh kebencian mengatakan: “Pada waktu itu aku sudah menyusun rencana. Asalkan aku mendapatkan Indoma, aku akan segera bercerai dengan Wulandari. Tiba saat itu, aku dan Veni bisa bersama. Tapi semua rencanaku ini, dihancurkan oleh kamu Ugie! Bagaimana mungkin aku tidak membencimu!”

Di kalimat terakhir, Sutan benar-benar berteriak untuk melontarkannya. Melihat penampilannya yang marah sekali, dalam hatiku selain kesedihan, tidak ada hal lain lagi.

Dan Isyana yang selalu diam mendadak berbicara. Sambil melihat Sutan, Isyana mencibir, berkata: “Sutan, kamu adalah orang paling tidak tahu malu yang pernah aku temui! Kamu pikir setelah kamu dan Wulandari bercerai, Veni akan rujuk kembali denganmu? Kamu jangan bermimpi lagi. Veni memang pernah mencintaimu, tapi setelah dia melihat jelas wajah jelekmu ini. Sejak lama dia sudah melupakanmu. Kamu jangan membayangkan hal yang tidak mungkin digapai lagi.”

Kata-kata Isyana, bagaikan sebilah pisau tajam, menusuk ke arah Sutan. Raut wajah Sutan berubah, aku takut dia seketika bersikap impulsif, akan melukai Isyana. Lalu segera maju selangkah, menghadang di hadapan Isyana. Aku melihat Sutan, Sutan juga melihatku. Kami berdua saling memandang seperti ini.

Tidak tahu berlalu berapa lama, tiba-tiba Sutan berbalik. Berjalan ke arah mobilnya. Sebelum masuk ke dalam mobil, Sutan membalikkan kepala melihat aku dan Isyana, dia berbicara dengan dingin:

“Ugie, semua ini masih belum berakhir! Kita lihat saja nanti.”

Aku mengabaikannya. Dan setelah Sutan selesai bicara denganku, lalu mengalihkan pandangan ke arah Raisa. Sikap dia terhadap Raisa jauh lebih lembut.

“Raisa, aku pergi dulu. Ada waktu luang, aku akan pergi menjengukmu.”

Sambil bicara, dia langsung masuk ke dalam mobil.

Melihat Sutan pergi jauh mengendarai mobil, Isyana baru membalikkan kepala. Dia perlahan berjalan ke hadapan Raisa, sambil tersenyum mengatakan: “Raisa, maaf! Aku kemarin baru tahu kondisi penyakitmu.”

Raisa tersenyum tipis, dia pelan-pelan menggeleng, berkata: “Isyana, akulah yang seharusnya minta maaf. Aku yang telah mengganggu hidup tenang kalian.”

Nada bicara Raisa sangat damai. Kedamaian seperti ini malah membuat hatiku terasa sedih.

Sambil bicara, tatapan Raisa ditujukan padaku. Dia berbicara dengan suara pelan: “Ugie, bawa aku dan Isyana pergi ke kampus untuk jalan-jalan! Mungkin setelah hari ini pergi, kelak tidak akan ada kesempatan untuk pergi lagi.”

Hidungku terasa berair lagi. Aku berusaha menahan rasa sakit dan sedih di dalam hati, menghadap ke Raisa dan mengangguk sekuat tenaga.

Isyana di depan mengendarai mobilnya, aku mengemudi membawa Raisa ikut dari belakang. Tidak lama kemudian, dua buah mobil langsung parkir di tempat parkir depan gerbang universitas. Baru saja menggendong Raisa ke atas kursi roda, Isyana sudah berjalan ke sini. Kedua tangannya memegang pegangan tangan kursi roda, berkata dengan suara pelan: “Raisa, aku saja yang mendorongmu, boleh tidak?”

Raisa tersenyum tipis, mengangguk pelan.

Isyana mendorong kursi roda, berjalan di depan. Aku menyalakan sebatang rokok, mengikuti dari belakang tanpa suara. Tiba-tiba mendengar Raisa mengatakan: “Isyana, barusan aku sengaja melihat sejenak, toko bunga milik Robi pada waktu itu, sekarang sudah berubah menjadi sebuah toko camilan.”

Sambil bicara, Raisa menghela nafas, perlahan mengatakan: “Isyana, menurutmu apakah hidup itu seperti bunga segar. Ada momen dia bermekaran, juga ada momen dia berguguran.”

Pertanyaan Raisa, membuat Isyana tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Dia hanya diam tak bersuara, mendorong Raisa, terus berjalan ke depan.

Sudah akhir musim dingin, tumbuhan di kampus sudah lama ditutupi oleh salju putih. Kemanapun perginya, selain hawa dingin, hanya ada kesuraman. Tapi suasana hati Raisa sepertinya sangat bagus, dia menunjuk perpustakaan yang ada di samping, berkata pada Isyana: “Isyana, perpustakaan itu adalah tempat yang sering aku kunjungi ketika kuliah tahun pertama.”

Raisa selesai bicara, aku juga mengalihkan pandangan ke perpustakaan itu.

Novel Terkait

Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
The Serpent King Affection

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
5 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
5 tahun yang lalu
Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
4 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu