Love And Pain, Me And Her - Bab 612 Kita Putus Saja

Kantor Isyana selevel dengan kantor Wakil Presdir. Sangat besar dan dekorasi di dalamnya juga mewah. Masuk bersama asisten Isyana, duduk di sofa, asisten membuatkan secangkir teh untukku lalu mundur keluar.

Setelah minum teh beberapa saat, tetap tidak melihat Isyana kembali. Aku berdiri lalu berjalan ke depan jendela, menatap ke kejauhan. Tidak tahu sudah berlalu berapa lama, dari belakang terdengar suara buka pintu. Begitu menoleh, langsung melihat Isyana masuk ke dalam sambil tersenyum.

Begitu memasuki pintu Isyana berdiri di tempat. Dia memiringkan kepala sambil mengedipkan sepasang mata indah, seperti tersenyum menatapku. Aku juga sama, sedikit tersenyum sambil menatapnya. Kami berdua saling memandang dari kejauhan seperti ini.

Agak lama Isyana baru bersuara mengatakan: “Ugie, apakah tidak memberiku sebuah pelukan?”

Isyana baru selesai bicara, aku memonyongkan bibir, tersenyum bahagia. Pada saat bersamaan, membuka kedua lengan, berjalan ke arah Isyana. Dia juga sama berjalan ke arahku. Saat kami sudah akan bertemu, tiba-tiba Isyana mempercepat langkah kakinya. Hingga jatuh ke dalam pelukanku.

Sudah lama tidak bertemu dengan Isyana, apalagi kontak intim seperti ini. Saat Isyana jatuh ke dalam pelukanku, kedua lengannya sekuat tenaga merangkul pinggangku. Seolah-olah takut begitu melepaskan tangan, aku langsung menghilang tanpa jejak.

Di tubuhnya tetap ada aroma wewangian yang akrab bagiku. Aku dengan lembut membelai rambut Isyana, tetapi di dalam hati malah semakin tertekan. Setelah beberapa saat, Isyana baru terlepas dari pelukanku, dia berdiri. Memegang tanganku, sedikit centil mengatakan: “Ugie, apa kamu menyadari bahwa aku semakin tidak memahamimu. Hal sebesar ini, kenapa kamu tidak memberi tahuku terlebih dahulu?”

Isyana mengacu pada masalah Djoko dan Sinarmas yang berinisiatif memindahkan saham untuknya. Melihat Isyana hatiku terasa sakit. Sambil memegang tangannya, aku pura-pura santai mengatakan:

“Bukankah kamu menyuruhku jangan menghubungimu terlebih dulu? Aku sedang mematuhi kata-katamu, baru tidak berani memberitahumu.”

Begitu kata-kata diucapkan, Isyana segera melototiku. Dia menarik lenganku, berjalan ke arah sofa di ruang istirahat. Tiba di samping sofa, dia menekan bahuku agar duduk ke atas sofa. Selanjutnya, Isyana menuangkan secangkir teh padaku secara pribadi. Minum seteguk kecil, melihat Isyana tersenyum sambil mengatakan: “Baiklah, sekarang sudah seharusnya katakan padaku, sebenarnya ada apa ini?”

Mengenai masalah Djoko dan Sinarmas yang berinisiatif memindahkan saham, Isyana tetap penuh dengan kecurigaan. Bagaimanapun jika dijumlahkan semua mencapai 12 triliun atau 14 triliun hak saham, alhasil, Isyana malah membelinya dengan 2 ribu. Jika ganti aku, aku juga pasti penasaran.

Masalah ini, awalnya aku memang tidak ingin bicara jujur pada Isyana. Tapi dia terus mendesak, lalu aku menjelaskan permasalahan ini secara singkat padanya. Saat mengatakan Djoko, Isyana masih termasuk wajar. Dia memberitahuku bahwa tunggu perusahaan sudah stabil, Cantique masuk pasaran, perusahaan akan membayar uang Djoko.

Setelah aku selesai mengatakan masalah Sinarmas, seketika Isyana tercengang. Bagaimana pun dia tidak menyangka, Nogo yang pada waktu itu, ternyata hancur di tangan paman kandungnya.

Melihat Isyana terbengong duduk di atas sofa, dia masih belum sepenuhnya tersadar. Aku juga tidak mengganggunya, menyalakan sebatang rokok dan mulai mengisapnya. Sambil melihat Isyana, perlahan-lahan aku mengatakan: “Isyana, aku sarankan padamu, jangan bahas masalah ini dengan pamanmu. Kamu anggap saja aku tidak pernah mengucapkan kata-kata ini padamu.”

Isyana Mirana mengerti maksudku, dia menganggukkan kepala tanpa bersuara. Minum seteguk teh, Isyana menghela nafas sambil mengatakan: “Terkadang memikirkannya, sungguh menakutkan juga. Di depan keuntungan, tali persaudaraan sangatlah rapuh.”

Sambil bicara Isyana menoleh untuk melihatku, dia bertanya lagi: “Oh iya, Ugie. Kamu mengatakan kalau sekarang perusahaan masih belum stabil, aku tidak bisa menjabat sebagai presdir di perusahaan pada waktu bersamaan. Kamu bantu aku pikirkan, orang seperti apa yang seharusnya dipilih menjadi Presdir dalam perusahaan?”

Melihat Isyana, aku tersenyum tipis, menjawab dengan suara pelan: “Bukankah itu gampang sekali? Kandiidat yang nyata sudah ada di sebelahmu, kenapa tidak terpikir olehmu?”

Seketika Isyana tertegun, dia sambil melihatku, merasa terkejut dan berteriak: “Ugie, jangan-jangan kamu sungguh ingin datang bekerja di perusahaan?”

Aku terdiam! Tidak menyangka Isyana bahkan mengira aku sedang mengatakan diriku sendiri. Merasa tidak berdaya tersenyum sejenak, sambil melihat Isyana, sekali lagi aku mengatakan: “Hmm! Yang aku katakan bukan diriku, melainkan pamanmu, Sinarmas!”

Isyana tertegun, dia berbicara sambil melihatku: “Tapi barusan kamu mengatakan masalah mengenai Nogo.”

Tidak menunggu Isyana selesai bicara, aku langsung menggeleng kepala menghentikannya, berkata: “Isyana, kamu harus ingat, masalah yang sudah berlalu, biarkanlah dia berlalu, kelak lebih baik jangan diungkit lagi. Aku merekomendasikan Sinarmas karena dia sangat akrab dengan segala yang ada di perusahaan. Selain itu, kemampuannya sangat kuat. Meskipun dulu dia pernah melakukan hal-hal yang tidak baik terhadap Nogo, tapi kamu jangan lupa, kita yang telah melepaskannya, tidak meminta pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, sekarang kita memiliki kemampuan untuk mengendalikannya, jika dia tidak patuh, kita bisa menjebloskan dia ke dalam penjara kapan saja. Aku percaya, kamu juga mengerti akan hal ini. Jadi, dia tidak memiliki pilihan selain bekerja untuk perusahaan dengan jujur!”

Ucapanku membuat Isyana merenung. Aku juga tidak mengganggunya, terus mengisap rokok, di dalam hati malah memikirkan hal lain, satu hal yang sudah tahu akan disesali, tetapi tetap harus melakukannya.

Setelah beberapa saat, Isyana baru perlahan mengangguk dan berkata: “Ugie, apa yang kamu katakan benar. Saat ini di dalam perusahaan tidak banyak orang kompeten yang bisa menjadi presdir, yang paling cocok adalah pamanku. Kalau begitu sesuai apa yang kamu katakan, hari ini aku akan mencari waktu untuk bicara dengannya. Aku percaya dia pasti akan setuju.”

Aku tersenyum sambil mengangguk. Pada saat bersamaan, dalam hati semakin kosong. Perasaan seperti ini sangat tidak baik, saking tidak baiknya membuat aku bahkan tidak berani menatap langsung Isyana. Suasana hati Isyana hari ini sangat baik, Isyana tidak menyadari ekspresiku yang tidak normal.

Isyana berdiri lalu berjalan ke meja kerja. Sambil berjalan sambil mengatakan: “Ugie, hari ini ingin makan apa? Aku suruh pembantu pergi membelinya, nanti malam aku akan masak sendiri, apakah berani mencobanya?”

Sambil bicara, Isyana menoleh ke arahku dan tersenyum malu, dia berkata dengan suara pelan: “Kamu masih belum tahu bukan, beberapa waktu lalu, aku selalu belajar memasak dengan tante kecil, sekarang sudah ada sedikit hasil.”

Isyana sambil bicara tersenyum bangga padaku.

Ekspresiku berubah menjadi semakin canggung, Isyana baru saja membalikkan badan. Aku langsung berdiri, menghadap sosok punggungnya meneriakan: “Isyana?”

Suaraku tidak keras, tapi Isyana tetap menoleh. Memandangku dengan wajah serius, dia merasa agak aneh dan bertanya: “Ugie, kamu kenapa?”

Hatiku seperti ditindih oleh sebongkah batu besar. Membuatku hampir tidak bisa bernafas, melihat Isyana, pelan-pelan aku mengatakan: “Isyana, kita putus saja.”

Novel Terkait

Gadis Penghancur Hidupku  Ternyata Jodohku

Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku

Rio Saputra
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Pernikahan Tak Sempurna

Pernikahan Tak Sempurna

Azalea_
Percintaan
3 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
3 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
3 tahun yang lalu