Love And Pain, Me And Her - Bab 169 Memilih Baju

Tepat ketika telpon tersambung, di telpon sebelah sana terdengar suara lemah lembut Riasa. Dia bertanya ke aku, “Ugie, kamu jam berapa pulang kerja, apa kamu setelah pulang kerja langsung pergi makan?”

Perkataan Raisa yang tidak berotak ini, membuatku merasa agak tidak bisa dipahami. Aku balik tanya ke wanita itu, “Makan apa? Aku pulang kerja makan di rumah, jangan bilang Veni mau mentraktir makan lagi?”

Tepat ketika perkataanku keluar, Raisa menjadi terdiam. Beberapa saat kemudian, wanit aitu baru tersenyum berkata, “Bukan Veni, aku hanya asal tanya saja. Baiklah, gak apa-apa.”

Aku merasa agak aneh, tapi tadi baru saja ingin tanya lagi. Raisa sudah mematikan telponnya.

Aku tersenyum pahit menggeleng, ada apa dengan Raisa akhir-akhir ini? Setiap kali menelpon terbata-bata, tidak menunggu aku selesai bicara, dia langsung memutuskan telpon. Dalam hatiku samar-samar mengkhawatirkan dia, kondisinya terlalu tidak benar. Aku diam-diam berpikir nanti kapan-kapan cari Veni tanya, apakah terjadi sesuatu dengan Raisa.

Aku di sini baru meletakkan telpon, Isyana di sana mulai sibuk lagi. Dia menelpon ke Bong Casa, stasiun TV sudah menyetujui, dia masih perlu berdiskusi lagi sebentar dengan Bong. Selesai menelpon, Isyana memintaku untuk menemaninya ke Kimfar. Dia janjian ketemu dengan Bong Casa.

Aku awalnya ingin berbincang mengenai masalah pengunduran diri, tapi melihat Isyana sibuk seperti ini, juga tidak bisa mengajukan lagi. Sepertinya, hanya bisa beberapa hari lagi baru bilang saja.

Perjalanan ke Kimfar juga sangat lancar. Bong sangat puas, dia memberiku jempol besar langsung di hadapan Isyana. Membuatku malah sedikit tidak enak hati. Keluar dari Kimfar, baru naik mobil, ponselku berdering, mengambil keluar dan melihat, aku langsung tersenyum sebentar. Isyana juga kelihatan bahwa aku sangat gembira, dia langsung bertanya, “Siapa yang telpon, kamu gembira seperti ini?”

“Ibuku.“

Berkata, aku menghelakan nafas kecil. Meki di wajahku tersenyum gembira, tapi dalam hati malah agak sedih.

Semenjak setelah putus dengan Raisa, aku semakin jarang menelpon ke rumah. Sebenarnya pemikiran ayah ibuku sangat terbuka, terhadap kehidupan pribadiku tidak pernah ikut campur. Tapi aku tahu, mereka berdua sangat menyukai Raisa. Juga terus memperlakukan Raisa sebagai menantu. Aku dan Raisa putus, sebenarnya juga merupakan suatu pukulan bagi mereka.

Aku mengangkat telpon, dari telpon sebelah sana terdengar suara lemah lembut ibuku, dia bertaya padaku, “Ugie, apa sudah mau pulang kerja? Apa malam ada acara?”

Ibuku sifatnya memang seperti ini, sangat lemah lembut, dia adalah seorang guru. Tapi berbeda dengan guru yang lainnya, dia jarang sekali marah dengan murid. Banyak orang mengira dia tidak bisa menangani anak-anak yang bandel. Tapi malah sebaliknya, anak-anak itu luar bisa menurut dengannya. Aku pernah sekali berbincang dengan seorang muridnya, aku bertanya mengapa mereka menurut sekali dengan perkataan ibuku. Murid ini memberiku jawaban, karena ibuku dengan setulus hati baik padanya, mereka takut ibuku kecewa. Makanya hampir tidak ada murid yang sengaja membuat ibuku marah, semuanya luar biasa hormat padanya.

Suara ibuku membuatku tidak sadar untuk tersenyum kecil, aku langsung menjawab berkata, “Em, malam tidak ada acara, bagaimana denganmu? Juga sudah pulang kerja.”

Ibuku tidak menjawab pertanyaanku, dia tetap dengan suara ringan berkata, “Kalau sudah pulang kerja, datang ke rumah makan IKAN SATU di pinggir sungai. Aku dan ayahmu menunggumu di sini.”

“Ah?”

Aku terkejut dengan mulut terbuka. Kapan mereka datang, bisa-bisanya aku tidak tahu. Aku langsung tanya ke beliau, “Bu, kapan kamu dan ayahku datang, kenapa juga tidak memberitahuku dulu?”

Ibuku tidak menunggu aku selesai berbicara, di sebelah sana langsung terdengar suara ayahku. Dia merampas telpon, langsung berteriak ke aku, “Kamu kok cerewet sekali? Suruh kamu datang, datang saja, kenapa banyak perkataan yang tidak berguna. Sudah, begitu saja.”

Belum sempat aku merespon, tak disangka dia memutuskan telponnya. Perasaanku bercampur melihat telpon yang sudah ditutup itu, ayahku masih saja mudah emosi.

Melihat aku gembira, Isyana juga sangat gembira. Dia mengemudi sambil berkata, “Paman dan bibi lucu juga, datang juga tidak memberitahu kamu dulu? Apa ingin memberi kamu kejutan? Oh ya, mereka dimana? Nanti aku yang antar kamu ke sana saja.”

Aku melihat Isyana. Seketika, dalam otak muncul sebuah gagasan, aku langsung berkata, “Isyana, kamu temani aku sama-sama pergi saja?”

Isyana tertegun. Dia langsung menggeleng, agak grogi melihatku berkata, “Tidak perlu! Kalian satu keluarga berkumpul, aku tidak ikutan meramaikan. Lagian, aku pergi dengan status apa? Bosmu?”

Aku tersenyum, bisa kelihatan, Isyana agak grogi. Tapi semakin dia seperti ini, hatiku malah gembira. Setidaknya bisa membuktikan satu hal, dia sangat peduli dengan penilaian keluargaku terhadap dirinya.

Aku lanjut berkata, “Atasan, teman, bukannya semuanya boleh? Tentu saja, kalau kamu mau hadir dengan status pacar, aku akan lebih gembira lagi.”

Isyana mencibir dan memalingkan pandangan sekilas ke aku, wanita itu juga terus menggeleng, “Tidak, aku lebih baik tidak pegi. Kamu pergi sendiri saja.”

Melihat Isyana grogi seperti ini, dalam hatiku bertambah semangat lagi. Bisa kelihatan, dia sebenarnya juga agak ingin pergi, tapi juga agak sedikit takut. Aku terus membujuknya.

“Isyana, kamu jangan lupa. Saat Bibi Salim memanggilku, aku langsung saja setuju. Sekarang gentian orang tuaku, kamu menghindari seperti ini, bukannya tidak terlalu baik?”

Ekspresi wajah Isyana bertambah lebih tida jelas. Dia bimbang lama sekali, baru menoleh melihatku sebentar, sepertinya sudah berusaha keras memutuskan, “Kalau begitu aku perlu pulang untuk ganti baju, lalu pergi membelikan sedikit hadiah buat paman dan bibi. Kalau pergi seperti ini saja, apa tidak terlalu”

Semakin Isyana grogi, aku semakin ingin mempermainkannya. Aku menggeleng, “Hadiah tidak perlu beli, juga bukannya datang ke rumah. Adalagi kamu seperti ini juga sudah bagus, menantu jelek, cepat lambat juga mau menemui bapak dan ibu mertua.”

“Ugie!”

Isyana menoleh, dengan serius memalingkan pandangan mata ke aku, aku tertawa lepas.

Meski Isyana tidak setuju menjadi pacarku secara formal, tapi hubungan kami, sedang sedikit demi sedikit, perlahan berubah. Terlebih lagi dia setuju untuk pergi denganku menemui orang tuaku, aku tahu, di dalam hati wanita itu, sudah mulai menerimaku.

Aku tetap tidak bisa menang dari Isyana. Kita berdua tidak kembali ke kantor, dia tetap saja pulang ke rumah mengganti baju dulu. Aku menemaninya naik ke atas, dia total sudah mengganti 4-5 setel baju, setiap mengganti satu setel, pasti keluar tanya pendapatku. Aku tentu saja bilang bagus, tapi dia kalau bukan bilang warna baju ini sedikit terlalu menyolok, bilang baju itu agak seksi. Terus menukar baju beberapa waktu, dia baru memilih satu setel rok panjang berwarna ungu muda, ditambah sepasang sepatu hak tinggi berwarna coklat.

Sebenarnya jujur kukatakan, bentuk badan Isyana langsing dan tinggi, kulit putih bersih, bisa dibilang mengenakan baju apa juga bagus. Tapi dia merasa pertemuan kali ini sangat penting sekali, makanya baru memilih terus seperti ini, tidak selesai-selesai.

Novel Terkait

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
3 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Dan Rahasia

Cinta Dan Rahasia

Jesslyn
Kesayangan
5 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu