Love And Pain, Me And Her - Bab 384 Isyana Kembali

Ini mungkin malam yang sudah ditakdirkan untuk sulit tidur. Aku tidak tahu jelas jam berapa aku tidur. Singkatnya, tidurku sangat tidak lelap. Selama tidurku malam ini, aku terus bermimpi. Sosok orang dalam mimpi itu muncul secara acak-acakan. Benar-benar tidak bisa mengidentifikasi siapa orang yang muncul dalam mimpiku.

Keesokan paginya, ketika aku masih dalam mimpi, tiba-tiba ponselku berdering.

Aku mengambil ponselku yang berdering di samping ranjang dengan asal-asalan, lalu meletakkannya di samping telingaku. Lalu, terdengar suara Eddy dari balik telepon itu, “Kak Ugie, sudah bangun belum? Aku sudah mau sampai lantai bawah rumahmu. Turunlah.”

Aku mengusap-usap mataku lalu melihat jam. Ternyata baru jam enam pagi. Eddy ini sudah gila ya, kenapa dia membangunkanku sepagi ini. Aku pun duduk di ranjangku, lalu menguap dan betanya padanya, “Eddy, apa kamu hari ini salam makan obat ya? apa yang bisa dilakukan dengan bangun sepagi ini?”

Begitu ucapanku ini keluar, aku mendengar Eddy langsung membantah ucapanku, “Kak Ugie, aku beritahu kamu ya. Jangan bilang kalau aku belum memperingatimu, jika kamu tidak pergi denganku sekarang, aku jamin, kamu pasti akan menyesal seumur hidupmu. Sudah ya, aku sedang menyetir ini. Ketemu nanti baru bicara lagi.”

Eddy bicara lalu menutup teleponnya.

Walaupun aku sedikit tak berdaya, dan geleng-geleng kepala. Tapi aku tetap bangun dari ranjang dan pergi mandi.

Ketika aku turun dan sudah menunggu di lantai bawah, aku masih tidak melihat mobil sport Eddy. Ketika aku melihat ke kiri dan ke kanan, aku melihat mobil Audi Q7 membunyikan klaksonnya kepadaku. Aku pun menoleh melihatnya, ternyata Eddy yang mengendarai mobil ini.

Begitu membuka pintu dan naik ke dalam mobil, aku hanya bisa tersenyum tak berdaya. Sepagi ini, Eddy bahkan memakai kacamata hitam dan juga memakai topi koboi. Riasannya yang sedikit berbeda ini membuatku yang melihatnya sedikit bingung dan aneh. Akupun bertanya kepadanya, “Eddy, kamu ini mau pergi liburan di luar negeri ya?”

Eddy hanya menyeringai dan tak menjawab pertanyaanku. Dia menginjak gas mobilnya, mobil Audy Q7 itu pun langsung melaju keluar dengan cepat. Bocah satu ini menyetir mobil ini dengan sangat cepat, dia juga tidak memberitahuku mau pergi kemana. Aku memperhatikan jalan di luar jendela, bertanya dengan bingungnya kepadanya, “Eddy, bukannya ini jalan pergi ke bandara ya?”

Eddy melirikku, lalu mengangguk.

“Iya benar sekali, jalan ke bandara!”

Aku awalnya masih bersandar dengan malasnya di punggung tempat dudukku. Tapi begitu ucapan Eddy ini keluar, aku langsung menegakkan dudukku melihat Eddy dan berkata dengan penuh emosi,

“Apa Isyana sudah kembali? Apa kita ini menjemputnya di bandara?”

Eddy menoleh lagi menatapku. Tatapan matanya terlihat sangat terkejut.

Eddy tidak bicara, ini malah membuatku semakin gugup. Aku pun langsung bertanya terus padanya, “Cepat katakan, sebenarnya iya atau tidak?”

Eddy melepaskan kacamata hitamnya, lalu menaruhnya di dasbor mobil. Dia melirikku, lalu menarik sudut bibirnya, berkata, “Kak Ugie, kamu hebat sekali ya! kamu bisa-bisanya menebak dengan benar hal ini!”

Ucapaan Eddy ini membuat jantungku berdegup kencang dan penuh emosi. Di dalam emosi dan semangat ini, masih tersimpan rasa penasaran, aku pun bertanya, “Bagaimana kamu tahu Isyana kembali? Dia bahkan tidak memberitahuku, lalu bagaimana kamu bisa tahu?”

Eddy menarik sudut bibirnya, lalu menunjukkan ekspresi meremehkan. Dia menatapku, berkata dengan tidak senangnya, “Tidak diberitahu olehmu, tidak berarti akau tidak mungkin tahu, Hehe, aku katakan sejujurnya deh. Kak Isyana juga tidak meneleponku. Tapi Bibi Salim menelepon ayahku. Aku diam-diam menguping pembicaraan mereka. Oh iya Kak Ugie, ayahku kemarin memujimu. Dia bilang kamu memiliki visi jangka panjang dan pemikiran yang sangat berhati-hati. Benar-benar salah satu modal untuk mengerjakan hal besar. Tapi, aku tidak peduli seberapa besar hal besar yang kamu bisa kerjakan. Tapi, kamu tetap harus mendulukan restoranku agar bisa terkenal. Aku masih menantikan untuk penambahan franchisee.”

Hatiku sekarang sepenuhnya hanya tenggelam dalam kebahagiaan karena Isyana kembali. Aku sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Eddy. Isyana sudah satu bulan lebih berada di luar negeri. Walaupun satu bulan bukanlah waktu yang lama. Tapi, bagi hatiku satu bulan ini sama seperti sudah melewati satu abad yang panjang.

Begitu tiba di bandara, aku mulai khawatir kalau pintu kedatangan yang kita datangi tidak benar. Tapi Eddy dengan penuh kepercayaan diri mengatakan di area A, “Kak Ugie, percayalah padaku. Pasti pintu kedatangan yang ini, tidak mungkin salah.”

Aku pun mengangguk dengan sedikit ragu. Akupun mulai menunggu disini bersama Eddy.

Kedatangan pennerbangan jam delapan lebih sepuluh menit. Untungnya, tidak ada penundaan dan tiba tepat waktu.

Tapi kami berdua sudah menunggu sepuluh menitan lebih di pintu kedatangan, sama sekali tidak terlihat bayangan Isyana dan Bibi Salim di antara para penumpang pesawat yang keluar. Aku khawatir lalu bertanya kepada Eddy, “Sebenarnya kamu ini yakin tidak sih. Mereka berdua benar-benar akan keluar di pintu kedatangan ini kan?”

Eddy sekarang tidak terlalu fokus. Dia mengeluarkan ponselnya sambil memanyunkan bibir dan berkata, “Aku telepon Kak Isyana saja deh.”

Begitu telepon itu tersambung, Eddy dan Isyana bicara sebentar di telepon lalu telepon pun ditutup. Dia menoleh dan berkata kepadaku, “Kak Ugie, salah. Mereka sudah keluar, ayo cepat.”

Bocah itu bicara sambil berjalan keluar. Aku pun buru-buru mengikuti di belakangnya. Baru saja keluar, aku pun melihat Isyana yang berdesak-desakan di tengah banyak orang. Sedangkan Isyana juga melihatku. Tampak senyuman di wajahnya, kami pun saling memandang satu sama lain.

Aku belum melihatnya selama lebih dari sebulan, Isyana tampak lebih kurus. Tapi, jiwa da energinya masih saja begitu bagus. Di wajah yang putih dan lembut itu, tampak kebahagiaan bertemu kembali setelah sekian lama. Tapi ketika aku belum sempat mendengarnya bicara, kebahagiaan itu tiba-tiba berkurang begitu saja.

Karena di samping Isyana, aku melihat lagi orang yang sangat aku tidak suka dan sangat menjengkelkan, Don Juan! Dia berdiri di samping Isyana dan Bibi Salim. Dia memegang koper Isyana di tangannya. Dia menatapku dengan ekspresi acuh tak acuh.

Terkadang, aku harus mengagumi Don Juan. Pemahamannya mengenai segala situasi Isyana lebih akurat dan lebih siap dari diriku. Jika kali ini bukan Eddy yang memberitahuku, aku sama sekali tidak tahu kalau Isyana kembali.

Berhadapan dengan pemandangan ini, muncul perasaan yang rumit dalam hatiku.

Eddy melihat aku yang hanya bediri dan tak bergerak. Dia diam-diam menarik lenganku. Lalu berkata dengan suara pelan, “Kak Ugie, kamu bodoh ya. Cepat sana maju dan berikan pelukan untuknya.”

Barulah aku melangkahkan satu persatu langkahkku berjalan ke depan Isyana. Aku memikirkan ucapan Eddy tadi, yaitu memberikan Isyana sebuah pelukan. Tapi begitu melihat Isyana, aku malah jadi tidak berani. Aku takut ditolak olehnya.

Mata kami berdua saling memandang. Aku tersenyum bertanya padanya, “Sudah kembali?”

Isyana mengangguk, lalu membalasku dengan senyum dan berkata, “Iya sudah kembali!”

Kata-kata omong kosong, tapi seolah menyimpan kerinduan dalam sebulan ini.

“Apa kamu baik-baik saja?”

Tanya Isyana lagi ketika aku terdiam.

Aku menatap Isyana, lalu mengangguk, “Cukup baik, hanya sedikit, sedikit merindukanmu.”

Di depan banyak orang seperti ini, akhirnya aku mengatgakan kerinduanku kepada Isyana. Ucapanku ini membuatnya tersenyum. Dari senyum yang memperlihatkan gigi putih dan juga bibir merahnya itu, bisa merasakan kepuasan Isyana terhadap jawabanku ini.

Ketika Isyana mau bicara sesuatu, tiba-tiba terdengar suara Don Juan menyela percakapan kami dari belakang. Don Juan tidak melihatku, dan langsung bicara kepada Isyana, “Isyana, ayo naik ke mobil.”

Aku tahu Don Juan sengaja melakukan ini. Aku menatapnya, tapi dia sama sekali tidak menoleh maupun menatapku. Mungkin di matanya, aku hanyalah seperti debu saja. Begitu rendah dan tidak pantas diperhatikan.

Novel Terkait

Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
3 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Innocent Kid

Innocent Kid

Fella
Anak Lucu
4 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu