Love And Pain, Me And Her - Bab 415 Bertengkar Karena Foto Lama

Aku baru saja ingin mengembalikan bingkai foto itu ke posisi semula, tetapi sudah terlambat. Raisa sudah keluar dan dia juga melihat bingkai foto yang berada di tanganku.

Dia tiba-tiba berjalan dengan cepat dan mengambil bingkai foto itu dariku. Melihatku dengan ekspresi cemberut "Ugie, siapa yang mengizinkan kamu untuk menyentuh barang-barangku?".

Raisa tiba-tiba marah, hal ini benar-benar di luar dugaanku.

Aku menatap Raisa dan pada saat yang sama, Raisa juga menatapku. Tetapi ekspresinya sangat marah.

Awalnya aku tidak ingin bertanya, tetapi aku tidak bisa menahan diri, akhirnya aku bertanya "Raisa, foto ini"

Sebelum aku selesai berbicara, Raisa langsung menyela pembicaraanku. Dia menatapku, dengan nada lebih keras, langsung berteriak "Ada apa? Bukankah itu hanya sebuah foto? Mengapa kamu mempunyai begitu banyak pertanyaan?".

Kata-kata Raisa membuatku menjadi canggung. Apakah aku benar-benar memiliki banyak pertanyaan? Tetapi sebelum aku bertanya, Raisa sudah marah.

Aku tahu, pada saat ini seharusnya aku tidak berbicara lagi. Tetapi aku tidak tahan kemudian bertanya padanya lagi "Raisa, mengapa kamu menyimpan foto seperti itu? Buat apa?".

Kemarahan Raisa membuatku menjadi sedikit gegabah. Alasan mengapa aku seperti ini adalah karena di dalam hatiku selalu memiliki sebuah dendam. Aku tidak pernah mengatakan kebencian ini kepada siapa pun, bahkan aku selalu berkata pada diri sendiri, jangan memikirkannya lagi, simpan saja di dalam hati. Tetapi hari ini karena sikap Raisa, kebencian di hatiku melonjak lagi. Kebencian ini terjadi ketika Raisa meninggalkanku dengan tega. Luka yang kejam ini tidak hanya terjadi padaku, tetapi juga bagi orang tuaku.

Aku pernah memikirkan untuk membenci Raisa. Tetapi aku juga merasa sebagai seorang pria harus lapang dada, bagaimanapun setiap orang memiliki hak untuk mengejar kebahagiaan sendiri. Jadi aku berusaha mencoba yang terbaik untuk mengendalikan diri, berpura-pura sudah melupakan masa lalu dan berinteraksi dengannya dengan damai.

Sejak sudah pergi dan tidak cinta lagi, maka semuanya sudah berakhir. Buat apa menyimpan foto yang sudah pudar itu?.

Setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Raisa segera menoleh dan menatapku. Dia berkata dengan acuh tak acuh "Ini merupakan barangku, aku berhak untuk menyimpan atau membuangnya, tidak perlu kamu atur!.

Raisa berteriak padaku.

Aku melihat wajahnya yang memerah, kemudian tertawa.

Kami tidak pernah bertengkar selama lima tahun berpacaran. Bahkan masalah penghianatan dan putus, kami juga berakhir dengan damai. Tapi sekarang, kami bertengkar karena sebuah foto lama.

Sikapnya benar-benar membuatku kesal. Aku mencibir dan berkata "Iya, ini merupakan barangmu. Tapi jangan lupa, di dalamnya masih ada aku!".

Aku kesal dengan Raisa dan aku juga melampiaskan semua ketidaksenangan yang aku miliki selama ini di dalam masalah ini.

Tiba-tiba, aku mendengar sebuah suara "Piang". Bingkai foto itu diangkat tinggi oleh Raisa dan dilemparkan dengan keras ke lantai. Pecahan kaca berserakkan di mana-mana. Pecahan itu seperti cinta kami yang akhirnya gagal.

Raisa menatapku dengan pandangan putus asa.

"Apakah kamu puas kali ini?"

Nada suara Raisa masih dingin.

Tiba-tiba hatiku terasa sakit. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi untuk sementara aku tidak tahu harus mengatakan apa.

Pintu kamar terbuka, Sutan dan Veni menyaksikan adegan ini dengan heran. Sutan segera bertanya "Ugie, apa yang terjadi dengan kalian berdua?".

Aku diam.

Dan Raisa tiba-tiba berbalik untuk melihat mereka berdua dan bertanya dengan dingin "Apakah kalian sudah selesai berbicara? Veni, apakah kamu pergi atau tinggal? Katakan dengan jelas, aku ingin istirahat!".

Raisa telah mengeluarkan kata-kata pengusiran. Ketika aku melihat Raisa, aku tiba-tiba tersenyum pahit. Menggelengkan kepala, berjalan keluar dengan diam. Ketika sampai di depan pintu, terdengar suara Sutan dari belakang "Ugie, tunggu kami berdua."

Sepertinya Sutan telah berhasil membujuk Veni, dia sudah siap membawa Veni pulang.

Tetapi aku tidak berbicara, membuka pintu dengan diam dan pergi dengan tenang.

Larut malam awal musim panas itu cukup sunyi. Di kedua sisi pohon itu terdengar suara serangga.

Aku berjalan sebentar, kemudian mengeluarkan telepon dan langsung menelepon Isyana. Setelah berdering beberapa kali, aku langsung mendengar suara lemah dari Isyana melalui telepon "Ugie, aku baru saja ingin mengirim pesan untukmu, tiba-tiba terdapat panggilan masuk darimu".

Aku tertawa. Kata-kata Isyana yang sekilas membuat perasaan hatiku menjadi jauh lebih baik. Sebelum aku berbicara, Isyana bertanya lagi "Ugie, apakah kamu tidak berada di studio? Aku mendengar suara angin."

Aku tidak menyembunyikan Isyana, langsung menjawab "Aku baru saja turun dari rumah Raisa".

Alasan aku mengatakan ini adalah karena aku ingin melihat reaksi Isyana. Kali ini Isyana cukup normal, dia bertanya padaku "Mengapa kamu pergi ke rumah dia? Apakah kalian, teman sekelas berkumpul lagi?".

"Tidak, aku menemani Sutan untuk menjemput Veni! Mereka bertengkar".

Isyana tiba-tiba tertawa, dia tidak bertanya tentang masalah Sutan dan Veni. Sebaliknya, dia mengejekku dan berkata "Apakah kamu melihat kekasih lamamu kemudian suasana hatimu menjadi kacau, sehingga baru ingat untuk meneleponku".

Aku juga tertawa. Ceramah Robi kepada Isyana terakhir kali tampaknya sudah berhasil. Setidaknya, Isyana tidak begitu emosional lagi, justru dapat mengejekku dengan santai.

Aku memikirkannya dan langsung berkata dengan Isyana "Isyana, alasan aku meneleponmu adalah aku ingin memberitahumu bahwa aku menyukaimu dan perasaan menyukaimu sangat menyenangkan!".

Aku mengatakan dengan jujur. Tanpa Isyana, aku tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk keluar dari bayangan Raisa. Untungnya, Tuhan memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu Isyana dan memulai sebuah hubungan yang baru.

Isyana tertawa, tawanya murni dan nyata, dia berkata dengan lembut "Ugie, berikan waktu kepadaku. Jangan khawatir, suatu hari kita akan hidup bahagia dan kita pasti akan lebih bahagia daripada kamu dan Raisa. Percayalah kepadaku!".

Aku juga tertawa. Isyana benar-benar sedang berubah. Dia berubah untuk memikirkanku dan mulai menantikan masa depan kami dengan serius.

Pertengkaran dengan Raisa berlalu begitu saja. Seperti kejadian ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sutan dan Veni juga sudah berdamai. Dan kami tetap sibuk setiap hari, demi masa depan yang tak terlihat.

Jarak proses tender perusahaan Sutan semakin dekat. Aku juga mulai membuat persiapan akhir. Pagi ini, aku baru saja selesai memilah beberapa materi. Tiba-tiba telepon berdering, setelah melihat merupakan panggilan masuk dari Viali.

Kami belum sempat menelepon sejak dia kembali ke Beijing. Karena aku mengetahui, begitu dia mulai sibuk, hal itu seperti mesin jarum jam, yang sulit untuk dihentikan ketika sudah dimulai.

Aku menjawab telepon, terdengar suara jernih dari Viali melalui telepon "Ugie, aku ingin berbicara tentang sesuatu."

Viali sama seperti sebelumnya, ketika berbicara nada suara menjadi serius seolah-olah sedang melakukan negoisasi.

Novel Terkait

My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
5 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
5 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
5 tahun yang lalu
Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
5 tahun yang lalu