Love And Pain, Me And Her - Bab 470 Sutan Dan Wulandari Sudah Mau Menikah

Melihat ke buket bunga itu, aku bertanya ke Veni, "Veni siapa yang memberikan kamu bunga ini?"

Setelah mendengar kata-kataku, ekspresi Veni tiba-tiba terlihat sangat tidak natural. Tanpa melihat aku dia berkata dengan nada suara sembarang, "Oh, ada satu teman lamaku datang menjengukku tadi"

Aku melihat ke Veni, tetapi dia tidak berani melihatku dan menujukan tatapannya ke arah lain. Dulu Sutan pernah berkata bahwa Veni sama sekali tidak bisa berbohong, waktu dia berbohong, ekspresi dia akan terlihat sangat tidak natural.

Melihat Veni yang agak gugup, adegan di tempat parkir tadi langsung muncul di pikiranku, sehingga aku langsung bertanya, "Tadi Wulandari ada datang ke sini ya?"

Aku mengira bertemu dengan Wulandari di tempat parkir tadi hanya merupakan sebuah kebetulan, melihat ekspresi Veni ketika mendengar pertanyaanku, aku sudah bisa memastikan bahwa bunga itu pasti dari Wulandari.

Veni hanya menundukkan kepalanya dan tidak berbicara.

Aku menghela nafas panjang, duduk di seberang Veni dan berkata dengan suara lembut, "Veni, beri tahu aku, buat apa Wulandari mencari kamu?"

Pada saat itu Veni baru mengangkat kepala dan melihatku dengan sebuah senyuman yang pahit, selanjutnya dia berkata, "Tidak ada apa-apa juga, dia hanya datang memberi tahu aku bahwa dia dan Sutan sudah mau me.. menikah"

Waktu berkata tentang kata menikah, Veni terlihat sedikit tersandung. Aku tahu dia masih merindukan Sutan.

Jawaban Veni membuatku sangat marah, Wulandari ini benar-benar terlalu kelewatan, Veni sudah begitu dan dia bahkan datang ke rumah sakit untuk menunjukkan kebanggaannya.

Seharusnya, Wulandari tidak perlu begitu. Dia sudah bersama dengan Sutan sekarang, buat apa datang menyusahkan Veni lagi? Tiba-tiba aku teringat kemarin waktu aku menelepon Sutan, Wulandari berada di samping Sutan saja. Dia pasti tahu Sutan pernah menelepon ke Veni dan khawatir mereka berdua akan bersama kembali, makanya dia datang ke rumah sakit.

Awalnya aku ingin menelepon ke Sutan dan memerahinya, tetapi kalau aku melakukan hal ini di depan Veni, Veni pasti akan merasa semakin emosional. Setelah berpikir sejenak, aku berusaha bersikap tenang dan melihat ke Veni, "Veni, kita jangan peduli mereka itu mau menikah atau bercerai. Semua masalah ini sudah tidak berhubungan dengan kita"

Veni mengangguk dengan senyuman pahit, mata dia sudah menjadi basah.

Setelah menghibur Veni beberapa saat lagi, aku teringat dengan Robi. Aku melihat ke Veni dan mencoba bertanya, "Veni, dalam beberapa tahun ini, Robi bahkan tidak pernah pacaran. Dia selalu sedang menunggumu, kamu tahu dengan hal ini juga"

Sebelum aku sempat selesai berkata, Veni sudah tersenyum dengan sedih dan menggelengkan kepalanya, "Ugie, aku tahu maksud kamu. Tetapi aku dan Robi itu tidak mungkin"

Jawaban Veni membuatku melamun sejenak. Sesuai dengan pemikiran aku sebelumnya, Veni sudah setuju mau mengikuti Robi ke Amerika, jadi aku mengira Veni sedang mencoba untuk memberi kesempatan kepada Robi. Tidak menyangka dia akan berkata seperti itu.

Melihatku menatapnya dengan bodoh, Veni menghela sebuah nafas panjang sebelum berkata dengan lembut, "Ugie, sebenarnya aku dan Robi itu tidak ditakdirkan. Waktu seharusnya bertahan, Robi memilih untuk menyerah, sementara waktu seharusnya menyerah, dia malah bertahan dengan bodoh"

Aku mengerti maksud Veni, maksud dia adalah dulu waktu Robi sedang mengejarnya, Robi malah memilih untuk menyerah di tengah jalan dan hal ini membuat Sutan sukses mendapatkan Veni. Sementara dalam tahun-tahun ini, Robi seharusnya menyerah dan dia malah memilih untuk mencintai Veni secara diam-diam dan kesusahan.

Veni bertambah lagi, "Ugie, beberapa hari ini di rumah sakit, aku teringat dengan seberapa bahagianya kita waktu kuliah kemarin. Waktu itu kita tidak memiliki hal yang perlu dikhawatirkan, semua orang bersama dengan bahagia dan tidak ada begitu banyak masalah kacau juga. Tetapi mengapa kita semua berubah setelah menginjak ke dalam dunia kerja? Kamu putus dengan Raisa dan aku juga putus dengan Sutan. Perjanjian yang pernah kita buat kemarin ujung-ujungnya tidak bisa memenangkan kenyataaan"

Veni berkata sambil menahan air matanya, selesai berkata, dia tersenyum dan senyuman itu membuat orang merasa sangat sakit hati.

Aku menghela sebuah nafas panjang, pada saat aku baru mau berbicara, pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Robi masuk dengan sebuah kotak makan. Melihat aku juga berada di sini, Robi pun menyapaku dan mulai menuangkan sup ke dalam mangkuk sebelum memberikan kepada Veni dengan hati-hati, "Veni, minumlah selagi panas"

Veni mengambil mangkuknya dan bertanya kepadaku dengan senyuman, "Ugie, kamu belum makan malam juga kan?"

Setelah mendengar kata-kata Veni, Robi segera berkata, "Kamu makan saja, jangan peduli kepada dia. Biarkan dia masak sendiri saja nanti"

Kami bertiga tertawa setelah mendengar canda Robi. Tetapi siapa yang tahu seberapa terpaksanya senyuman kami. Hanya kami yang tahu kesedihan di balik senyuman kami.

Setelah mengobrol sebentar, aku pun bermaksud mau kembali ke studio. Robi mengantarku keluar dan kami berdua turun ke lantai bawah bersama. Di depan gerbang rumah sakit, Robi memberikan aku sebatang rokok dan kami pun mulai merokok bersama. Robi melihatku dan berkata, "Ugie, aku sudah bertanya ke dokter. Besok Veni sudah bisa pulang ke rumah. Aku berpikir seperti ini, besok kami memberes barang-barang kami dulu, lusa baru ke Beijing dan terbang ke Amerika dari sana"

Aku mengangguk. Robi melihatku dengan ekspresi yang agak malu, "Kalau tentang uang?"

Sekali berkata tentang uang, Robi terlihat sangat meragu. Yang dia maksud adalah rumah sakit yang dia telah hubungi itu mungkin membutuhkan biaya operasi, mengerti maksudnya, aku pun berkata, "Untuk masalah uang kalian tidak perlu urus, sebelum kalian berangkat aku akan mengirimnya ke rekening kalian secara langsung"

Robi tertawa dan mengangguk, "Baik, kalau bersama kamu, aku tidak perlu mengatakan kata-kata terima kasih lagi. Tunggu kembali dari Amerika, aku traktir kamu minum bir"

Aku tertawa mendengar kata-kata Robi. Tetapi tidak tahu mengapa, aku merasa sedikit tidak yakin di dalam hati.

Setelah kembali ke studio, waktu sudah hampir jam 8. Karena belum makan malam, aku bermaksud untuk memasak mie untuk mengisi perut. Sebelum aku berjalan ke dapur, ponselku sudah berdering, Isyana meneleponku. Aku mengangkat telepon dan mendengar suara Isyana yang imut berkata, "Ugie, aku merasa capek dan lapar. Aku lembur hari ini dan sampai sekarang aku belum makan, aku merasa kecapekan"

Meskipun melewati telepon, aku tetap bisa membayangkan ekspresi Isyana saat mengatakan semua ini, aku tertawa secara refleks dan berkata, "Kebetulan aku mau masak mie, kalau tidak aku tunggu kamu, kita makan bersama?"

"Boleh!"

Tanpa berpikir, Isyana langsung setuju dan berkata, "Aku akan berangkat sekarang, kamu sudah bisa menyediakan bahannya dulu. Paling bagus kalau kita bisa langsung makan setelah aku sampai"

Sepertinya Isyana itu benar-benar kelaparan. Tetapi suasana hati dia sepertinya sangat bagus, aku menyuruh dia untuk mengemudi dengan hati-hati sebelum mengakhiri telepon dan mulai menyediakan bahan di dapur.

Novel Terkait

Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
4 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
4 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu