Love And Pain, Me And Her - Bab 414 Melihat Bingkai Foto

Aku pikir kritikan Raisa hampir selesai. Aku kemudian melihat Raisa, baru saja ingin mengatakan beberapa kata baik Sutan. Pintu kamar tidur tiba-tiba terbuka. Setelah menoleh, langsung melihat wajah Veni yang pucat dan kesakitan itu berdiri di depan pintu.

Ketika Veni keluar, Raisa langsung berkata "Veni, kamu kembali beristirahat. Masalah di sini tidak ada hubungannya denganmu."

Aku bisa merasakan bahwa Raisa masih marah pada Sutan. Hari ini, dia ingin menghukum Sutan.

Sayangnya, Veni tiba-tiba menggelengkan kepalanya dengan pelan. Terlihat dengan jelas, dia tidak ingin mengikuti pengaturan Raisa dalam masalah ini.

Veni menatap Sutan dan berkata dengan lembut "Sutan, kamu masuk sebentar. Aku ingin mengatakan beberapa kata denganmu".

Raisa mengerutkan kening setelah mendengar kata-kata Veni. Dan Sutan segera berjalan menuju kamar tidur.

Begitu pintu kamar ditutup, ruang tamu menjadi sunyi. Hanya tersisa Raisa dan aku yang saling bertatapan dan tidak tau harus mengatakan apa. Aku masih duduk di sofa dan Raisa juga duduk di sisi sofa yang lumayan jauh dariku. Dia menatapku dan bertanya dengan samar.

"Ugie, bagaimana kabarmu?.

"Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?".

Aku menjawab dengan santai. Dan Raisa tersenyum simpul, dia mengangguk "Aku juga baik-baik saja!".

Ketika melihat Raisa, aku tersenyum masam. Dulu merupakan orang yang paling dekat, tetapi sekarang terlalu sopan seperti orang asing. Terkadang aku selalu mengingatkan diri sendiri bahwa hubungan dengan Raisa sudah berlalu. Cinta kami sebelumnya hanyalah sebuah kesalahpahaman yang sudah berlalu. Tetapi setiap kali aku melihat Raisa, aku tidak sadar selalu memikirkan masa lalu kami.

Lima tahun, lima tahun! Lima tahun ini adalah tahun-tahun masa muda terbaikku. Demikian pula, itu juga merupakan masa kepolosan sejati Raisa. Sayangnya, kami melewatkan begitu saja.

Mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Aku dan Raisa saling berhadapan dengan diam. Tiba-tiba, Raisa bertanya kepadaku dengan suara yang pelan "Ugie, terdapat sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu, bisakah kamu menjawabku dengan jujur?".

Aku menatap Raisa dengan bingung, mengangguk dan berkata "Apa yang ingin kamu tanyakan?".

Raisa menoleh melihat ke arah kamar tidur dan berkata dengan pelan "Apa hubungan diantara Sutan dan Direktur Wu mereka?".

Aku tercengang sejenak, tidak terpikir Raisa akan menanyakan pertanyaan ini kepadaku. Pada saat yang sama, ini juga merupakan masalah yang membuatku sangat bingung. Jika mengatakan sejujurnya, hal itu sama seperti sedang memecah-belah hubungan Sutan dan Veni. Tetapi jika tidak mengatakan sejujurnya, aku merasa sedikit bersalah dengan Veni.

Aku ragu-ragu, tetapi pada akhirnya aku menggelengkan kepala dan berkata "Hubungan apa lagi? Atasan dan bawahan biasa, hanya saja hubungan mereka lebih baik saja."

Seperti yang aku pikirkan, Sutan telah putus dengan Wulandari. Masalah ini biarkan berhenti sampai sini dan berlalu. Setidaknya jika begini, Sutan dan Veni dapat terus bersama lagi.

Ketika aku mengatakan ini, Raisa terus menatapku. Kebiasaan ini tidak berubah. Ketika bertanya sesuatu padaku, dia suka melototiku. Pada saat yang sama, dia ingin menemukan jawaban di ekspresiku.

Ketika Raisa menatapku. Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Raisa tercengang sejenak, kemudian berkata "Siapa sih yang akan datang larut begini?".

Setelah mengatakan, dia bangkit dan berjalan menuju ke arah pintu, menyalakan interkom. Kemudian mendengar terdapat suara seorang pria dari bawah "Raisa, aku Rehan! Sudah larut, apakah telah mengganggumu?".

Kemunculan Rehan yang tiba-tiba membuatku tercengang. Aku melihat punggung Raisa, dapat merasakan dengan jelas bahwa Raisa tampaknya juga terkejut. Gerakannya agak kaku.

Hal yang lebih mengejutkanku dan membuatku bingung adalah Rehan sebagai pacar Raisa, yang segera memasuki aula pernikahan. Mengapa pembicaran kedua orang itu begitu segan? Segan hingga sedikit asing!.

Raisa tanpa sadar langsung batuk ringan, segera bertanya kepada Rehan "Rehan, ada apa ya?".

Nada suara Raisa sepertinya lebih dekat daripada Rehan. Tetapi aku masih merasa sedikit aneh.

Rehan yang berada di bawah tiba-tiba terdiam. Sejenak kemudian, dia bertanya "Raisa, apakah ada tamu di rumah?".

Seluruh ruang tamu sangat sunyi. Kecuali percakapan antara keduanya, tidak ada suara lain lagi. Tetapi Rehan bisa menebak bahwa rumah Raisa sedang kedatangan tamu. Hal ini membuatku merasa menakjubkan.

Terdengar suara "Iya" dari Raisa, dia menjawab dengan lembut "Iya, Veni dan mereka semua berada di sini. Jika kamu tidak memiliki masalah yang mendesak, mari kita bicara di perusahaan besok."

Setelah mengatakan, Raisa tidak menunggu Rehan berbicara. Dia langsung menutup interkom. Kemudian melihat kembali padaku, aku bisa merasakan ekspresi Raisa sedikit aneh.

Raisa duduk kembali di sofa. Kali ini, dia diam. Tidak ada satu pun dari kami yang berbicara, sementara suasana di dalam ruangan menjadi canggung.

Pertanyaan di dalam hatiku semakin banyak. Menatap Raisa, aku bertanya dengan hati-hati "Raisa, apakah kamu dan Rehan baik-baik saja?".

Raisa mengangkat kepalanya dan menatapku. Dia menjawabku dengan suara "Um" terlebih dahulu, kemudian melanjutkan "Sama seperti sebelumnya, lumayan baik!".

Alasan mengapa aku menanyakan pertanyaan ini kepada Raisa sebenarnya adalah sedang mengujinya. Aku ingin melihat bagaimana dia menjawabnya. Tetapi jawabannya jelas asal-asalan. Sebelumnya Raisa pernah memberitahu kepadaku bahwa dia pernah pergi ke Beijing untuk membantu Rehan merawat orang tua nya. Dan dia juga mengatakan bahwa keduanya mungkin akan segera menikah.

Dari segi hubungan kedua orang ini telah mencapai titik pembicaraan tentang pernikahan, tetapi melalui beberapa percakapan antara keduanya tadi, aku sama sekali tidak merasakan aura hangat di antara sepasang kekasih, malahan lebih mirip dengan dua rekan yang saling menghormati, sopan satu sama lain dan segan.

Sementara suasana itu sedikit canggung. Raisa tiba-tiba berdiri, dia mengatakan "Kamu duduk dulu, aku pergi ke kamar mandi dulu".

Setelah mengatakan, Raisa langsung berbalik dan pergi ke kamar mandi.

Aku mematikan puntung rokok dan memikirkan percakapan antara Raisa dan Rehan tadi. Tanpa sadar, mataku tertuju pada bingkai foto rak buku itu lagi. Aku berdiri dan berjalan ke arah rak buku. Kemudian mengambil bingkai foto itu dan membaliknya.

Ketika melihat pemandangan ini, detak jantungku tiba-tiba berdebar sangat cepat. Terdapat sebuah emosi rumit yang tidak bisa dijelaskan, perlahan menyebar di hatiku. Foto itu masih merupakan foto lama, aku agak kaku dan Raisa tersenyum seperti bunga. Latar belakang masih merupakan pintu gerbang kampus universitas yang sering kuingat kembali.

Aku sedikit tercengang! Seingatku ketika membahas tentang foto ini dengan Raisa terakhir kali, dia mengatakan bahwa dia akan menggantinya ketika kembali. Tetapi kenyataannya dia tidak menggantinya dan bingkai foto itu tetap diletakkan di atas rak.

Mengapa Raisa seperti ini? Sebuah hubungan sudah berakhir. Tetapi dia masih menyimpan foto bersama kami berdua. Apakah ini merupakan wujud kerinduan, atau kenangan, ataupun hanya sebuah kebiasaan saja?.

Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku selalu merasa terdapat sesuatu yang janggal.

Ketika aku sedang melihat, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.

Novel Terkait

Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
3 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
4 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
3 tahun yang lalu