Love And Pain, Me And Her - Bab 615 Cinta Bukanlah Memiliki, Cinta Itu Memberi

Tetapi aku tidak berani menunjukkannya. Melihat Raisa, aku tersenyum tipis, segera mengatakan: “Raisa, tidak apa-apa, aku memiliki cara.”

Sambil bicara, aku melepaskan ikatan kalung di leher Raisa. Mengenakan cincin berlian ke kalung, lalu dipakaikan lagi ke leher Raisa. Raisa menundukkan kepala, dia menatap cincin berlian yang ada di kalung, terdiam lama sekali.

Dan aku menggenggam tangan Raisa, berkata dengan suara lembut: “Raisa, besok kita pergi mendaftarkan pernikahan kita, boleh tidak?”

Raisa mengangkat kepala melihatku. Matanya masih berkaca-kaca penuh air mata. Setelah agak lama, Raisa baru sedikit mengangguk, tapi dia segera menambahkan lagi: “Ugie, baik kalau mau pergi mendaftarkan pernikahan. Tapi besok kamu harus mendengarkan semua yang aku katakan.”

Aku tersenyum tipis, perlahan mengangguk.

Sudah lama tidak mengalami insomnia, tapi malam ini, aku berbaring di atas ranjang, bolak-balik malah tidak bisa tertidur. Di depan mataku, terkadang muncul ekspresi putus asa Isyana, terkadang muncul tampang Raisa yang lemah. Aku tahu, semua pilihan yang aku buat hari ini adalah pilihan tanpa jawaban yang benar. Tidak peduli apa yang aku lakukan, hidupku pasti akan meninggalkan penyesalan.

Keesokan paginya, setelah semuanya sudah siap, aku mendorong Raisa turun ke lantai bawah. Menggendong Raisa ke dalam mobil, memasukkan kursi roda ke dalam bagasi. Aku mengendarai mobil, langsung menuju biro catatan sipil. Saat kuliah, kami sudah memindahkan alamat kartu keluarga ke kota. Agar saat menikah dan mendaftarkan pernikahan ke biro catatan sipil tidak perlu pulang ke kampung mengurusnya.

Di dalam mobil, Raisa sangat lemah bersandar di sandaran mobil. Meskipun udara hangat sudah disetel besar sekali, tapi aku tetap memberinya selimut tebal. Raisa sambil melihat di luar jendela, sambil bertanya dengan suara lembut: “Ugie, apakah kamu akan menyesal?”

Menoleh untuk melihat Raisa sejenak. Aku pelan-pelan menggeleng: “Raisa, sama seperti pertama kali bertemu denganmu. Aku tidak pernah menyesalinya.”

Raisa tersenyum tipis, ada suka dan duka dalam senyumannya.

Tiba di kantor catatan sipil, aku mendorong kursi roda, pergi ke area pendaftaran pernikahan dengan Raisa. Di depan ada dua pasang anak muda yang sedang berbaris, mereka melihat tampang Raisa, lalu berinisiatif menyuruh kami yang mendaftar terlebih dulu.

Stafnya sangat ramah, setelah dia melihat kartu keluarga dan KTP kami, lalu mengambil beberapa lembar formulir, menyuruh aku dan Raisa mengisinya. Raisa menerima formulir dan melihatnya sejenak. Dia segera bertanya pada staf, berkata: “Kawan, aku ingin tanya sebentar. Apakah bisa mengambil foto dulu, setelah itu baru mengisi formulir?”

Staf segera tersenyum mengatakan: “Boleh juga, kalau begitu kalian pergi ke sebelah untuk mengambil foto dulu.”

Terhadap permintaan Raisa, aku tidak bisa menolak sedikit pun. Mendorong kursi roda, pergi ke ruangan sebelah bersama Raisa. Staf sangat bertanggung jawab, dia sengaja menyesuaikan lensanya lebih ke atas, agar kursi roda Raisa tidak terpotret.

Setelah kameramen menghitung angka 1,2,3. Aku dan Raisa mengambil foto yang diperlukan dalam pendaftaran. Setelah beberapa saat, foto selesai dicetak. Aku masih belum sempat lihat, Raisa sudah tidak sabar mengambilnya.

Aku berdiri di belakang Raisa, melihat foto di tangannya. Kepala kami berdua sangat dekat, wajah penuh senyuman melihat ke depan. Raisa melihat agak lama, dia baru menyimpan foto itu baik-baik.

Ketika aku mendorong Raisa keluar dari studio. Baru saja sampai di koridor, saat akan kembali ke tempat pendaftaran tadi. Mendadak Raisa mengatakan: “Ugie, tunggu dulu, ada yang ingin aku katakan padamu.”

Aku mendengarnya, bergegas jalan ke depan, setengah berjongkok di samping Raisa, membantu dia merapikan selimut. Melihat Raisa tersenyum tipis padaku, dia berkata dengan suara pelan: “Ugie, kita pulang saja.”

Seketika aku tertegun, bertanya balik pada Raisa: “Pulang? Kita masih belum mendaftarkan pernikahan.”

Melihat Raisa tersenyum, dia mengulurkan tangan, membelai rambutku dengan lembut. Berkata pelan: “Ugie, aku tahu, aku mencintaimu! Apakah kamu masih ingat? Dulu aku pernah katakan padamu, cinta bukanlah memiliki, cinta itu memberi. Aku sudah cukup serakah, di saat-saat terakhir hidupku, ada kamu yang menemani di sisiku, aku sudah sangat puas. Jika aku memaksamu menikah denganku lagi, maka aku benar-benar akan berubah menjadi wanita yang tamak.”

Sambil bicara, Raisa tersenyum sedih. Perlahan dia mengeluarkan foto tadi dari dalam saku, melihat sejenak, lalu mengangkat kepala berkata padaku: “Ugie, aku setuju untuk datang mendaftarkan pernikahan karena aku ingin mengambil selembar foto lagi bersamamu. Foto sebelumnya adalah foto kita di masa kuliah. Dan foto ini adalah tampang kita disaat ini. Aku pasti harus mengingat tampang kita saat ini. Jika benar-benar ada kehidupan yang akan datang, mungkin aku bisa mengikuti ingatan ini untuk menemukanmu lagi. Pada saat itu, kamu baru melamarku, kita baru datang lagi untuk mendaftarkan pernikahan lagi, boleh tidak?”

Nada bicara Raisa sangat lembut. Tapi setiap ucapannya, seperti sebuah palu, memukul hatiku dengan keras. Ini adalah semacam rasa sakit yang samgat menyayat hati!

Awalnya aku ingin menahannya. Tapi air mata tetap keluar dari rongga mata, menggenggam tangan Raisa, aku berkata dengan suara pelan: “Raisa, kita tidak perlu tunggu kehidupan yang akan datang. Kehidupan ini juga kita menikah dan mendaftarkan pernikahan kita. Kamu harus patuh padaku.”

Aku tahu, keinginan terbesar Raisa adalah bisa bersamaku saja. Aku memilih menahan rasa sakit untuk berpisah dengan Isyana, karena berpikir di hidup terakhir Raisa, ingin memenuhi keinginan terbesar dalam hidupnya.

Raisa tetap tersenyum, dia pelan-pelan menggeleng kepala. Mengulurkan tangan, telapak tangan kurus Raisa, menggosok di wajahku. Dia tersenyum sambil berkata padaku: “Ugie, kita sudah sepakat, hari ini dengar kata-kataku, apakah kamu sudah lupa?”

Sambil bicara, Raisa menertawakan diri sendiri. Dia lanjut mengatakan: “Kamu jangan lupa, aku adalah orang yang paling keras kepala. Jika aku tidak setuju maka tidak ada orang yang bisa membujukku. Jalan, kita pulang saja.”

Sambil bicara, Raisa berpegangan pada kursi roda, mundur ke belakang sejenak. Aku segera berdiri, memegang kursi roda Raisa. Diam-diam berjalan ke depan. Memang seperti apa yang dikatakan oleh Raisa. Aku tahu, keras kepalanya dia. Aku mengerti, saat ini aku tidak akan bisa membujuk dia mendaftarkan pernikahan denganku. Mungkin menikah, akan menjadi penyesalan yang tidak bisa kami selesaikan dalam kehidupan kali ini.

Tidak tahu sejak kapan mulainya, di luar turun salju. Keluar dari biro catatan sipil sambil mendorong Raisa, tiba-tiba Raisa berkata padaku: “Ugie, tunggu dulu.”

Aku tidak mengerti apa maksud Raisa, hanya melihat dia mulai melihat sekeliling. Aku tidak tahu, apa yang sedang dilihatnya. Mengikuti tatapannya melihat ke sana, sebuah sosok yang familiar masuk ke dalam mataku.

Melihat di depan, seorang wanita yang mengenakan mantel dan berpostur tubuh tinggi sedang pelan-pelan berjalan ke arah kami. Di saat aku melihatnya, seketika aku langsung tercengang, itu adalah Isyana!

Aku tidak menyangka, ternyata Isyana bisa muncul pada saat ini. Jika tebakanku tidak salah, kemunculan Isyana, pasti karena Raisa menyuruhnya ke sini. Jika tidak, dia tidak mungkin tahu bahwa hari ini kami datang untuk mendaftarkan pernikahan.

Novel Terkait

Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu