Love And Pain, Me And Her - Bab 229 Tidak Pantas Disebut Pria

Veni tersenyum pahit dan menggeleng, “Em, belum pulang. Belakangan ini dia lumayan sibuk”

Saat mengatakan sibuk, Robi terlihat sedikit tidak sabar. Dia lalu mendorong pintu ruang makan, melihat di meja makan, terletak semangkuk mie di atas meja. Mie ini terlihat baru saja selesai dimasak, di atasnya masih terlihat uap panas.

Robi segera berbalik menatap Veni, bertanya padanya, “Veni, kamu hanya makan ini dirumah?”

Ekspresi Veni sedikit canggung. Dengan tidak alami menjelaskan, “Sutan malam ini ada acara makan, dia tidak pulang untuk makan. aku juga tidak lapar, hanya makan sekadar makan saja”

“Sekadar! Sekadar! Kamu sudah seperti ini, sekadar! Veni, kenapa kamu sedikitpun tidak mengasihani dirimu sendiri. Kamu lebih baik kepada orang lain daripada dirimu sendiri”

Robi tiba-tiba panik. Dia berteriak keras kepada Veni. Tapi yang dikatakan Robi memang benar, Veni memang orang seperti ini. Dia bisa memberikan dengan setulus hati kepada teman-temannya. Terhadap Sutan, tidak perlu dikatakan lagi. Dia hanya tidak bisa memperlakukan diri sendiri dengan baik.

Kata-kata Robi, membuat mata Veni memerah. Dia tersenyum pahit, menahan agar air matanya tidak jatuh.

Setelah itu, Robi masuk ke ruang makan. Mengambil mie itu, dan langsung membuangnya ke tong sampah. Dia membuka kulkas, dalamnya sangat berantakkan. Mendengus sambil marah,

“Sutan anak ini, sekarang menjadi semakin tidak manusiawi! Nanti dia pulang, aku akan memukulnya!”

Beberapa saat kemudian, terdengar suara Robi memotong sayur dari dapur. Diantara kami, Robi memang serba bisa, masakan yang dia buat sangat enak. Raisa dulu pernah mengatakan, Robi sepertinya selain tidak bisa melahirkan anak, tidak ada yang dia tidak bisa.

Veni dengan canggung berdiri di ruang tamu, sudut matanya sudah basah. Mungkin tidak ingin membuatku melihat lukanya, Veni pergi ke kamar mandi.

aku menghela nafas panjang, masuk ke dapur. Pisau berada di talenan, membuat suara “tang tang”. Robi tahu aku berada disisinya, tapi dia tidak mengatakan apapun. Hanya cemberut, memotong sayur dengan kuat.

Sebentar kemudian, Robi tiba-tiba melempar pisau ke talenan. Dia berbalik melihatku, wajahnya terlihat kecewa, “Ugie! Kenapa kehidupan berubah menjadi seperti ini”

Sambil berkata, Robi mengepalkan tangannya, dengan keras meninju lemari dapur.

Dalam hatiku, juga merasakan kesedihan.

Benar! Saat itu di sekolah, kita setiap hari tidak ada kerisauan. Saat itu kehidupan untuk kita, adalah pesta yang tidak pernah berakhir. Asalkan kita bersedia, maka kita bisa dengan sesuka hati menghamburkan segala sesuatu yang diberikan. Termasuk cinta! Tapi siapapun tidak menyangka, saat kita benar-benar menghadapi kehidupan. Yang didapatkan oleh setiap orang, semua adalah bekas luka kelelahan.

aku menepuk pundak Robi, tersenyum pahit menghiburnya, “Tidak apa-apa! Semua akan membaik”

Kata-kataku sangat tidak bertenaga, bahkan aku sendiri sedikit tidak percaya.

Robi sangat cepat, tidak lama kemudia, sudah selesai memasak. Dua menu, satu porsi telur orak dengan tomat, satu porsi daging goreng. Dia juga memasak satu pot bubur.

Veni makan di dapur. aku dan Robi diruang tamu, merokok dalam diam.

Jam 7, Sutan belum pulang. Jam 8, dia juga belum pulang.

Saat hampir jam 9, akhirnya terdengar suara membuka pintu dari luar.

Veni seperti orang yang senggang, saat mendengar pintu dibuka, dia langsung mengambil sandal. Lalu mengambil tas dalam tangan Sutan.

Sutan tidak menyangka aku dan Robi ada disini, dia tertegun. Lalu tersenyum terkekeh dan bertanya, “Kapan kalian datang? Kenapa tidak meneleponku?”

Wajah Sutan memerah, seluruh tubuhnya penuh dengan aroma alkohol, bisa dilihat, dia seharusnya minum tidak sedikit.

Robi sama sekali tidak mempedulikannya, melihat saja tidak. Dan Sutan sambil melepas jaket, sambil tertawa padaku dan berkata, “Jika kalian tidak datang hari ini, aku akan pergi mencari kalian. Ada hal penting yang ingin aku umumkan”

Sambil berkata, dia memapah Veni, berjalan ke tengah ruang tamu. Melihat aku dan Robi, tertawa berkata, “Mulai hari ini, aku, Sutan, dengan resmi menjadi Direktur Pemasaran Perusahaan Indoma Food!”

Seharusnya ini adalah hal yang harus diberikan selamat. Tapi melihat wajah senang Sutan, kenapa aku tidak bisa merasa senang.

Robi tertawa dingin, dia mendongak melihat Sutan, menyindir berkata, “Kamu tidak mudah menjadi direktur pemasaran ini. Apakah ini didapat dengan membujuk?”

Sutan juga tidak mempedulikan perkataan Robi, dia tertawa sambil memaki, “Sial! Kamu Robi adalah anak orang kaya, tidak ada hak untuk menyindirku”

Sambil berkata, Sutan menoleh melihat Veni, wajahnya penuh dengan kelembutan, “Veni, apakah kamu senang?”

Veni sedikit tersenyum melihat Sutan, dia mengangguk.

“Gembira apanya! Sutan, apakah kamu masih seorang pria? Keadaan Veni sekarang, kamu malah pergi keluar minum alkohol, membuat dia sendirian dirumah makan mie, apakah kamu masih berani bertanya gembira atau tidak?”

Sutan merasa sedikit canggung, dia melihat Veni dengan perasaan bersalah, berkata dengan suara rendah,”Veni, hari ini baru saja dipromosikan. Tidak mengundang rekan kerja keluar makan tidak enak. Mereka awalnya masih ingin pergi bernyanyi, tapi aku tidak setuju. Pulang terlebih dahulu, maaf, Veni”

Veni masih tersenyum dan menggelengkan kepala. Mungkin dalam hatinya, asalkan Sutan senang, dia sudah merasa puas.

Veni tidak berkata apa-apa, tapi Robi tidak bisa. Dia melanjutkan berkata dengan tidak puas, “Sutan, jika kamu masih ada hati. Kamu temani Veni baik-baik. Jika kamu memperlakukan dia dengan baik, itu akan lebih hebat dari posisi direktur omong kosong itu”

Wajah Sutan sedikit berubah. Dia melihat Robi, berdeham, membalas dengan tidak puas, “Robi, kamu adalah contoh orang yang berdiri berbicara tanpa merasakan sakit di pinggang! Jika aku tidak bekerja keras, siapa yang merawat rumah? Kamu kira sama seperti kamu? Anak orang kaya, mudah mendapatkan pakaian dan makanan. Kamu boleh bertanya pada Ugie, siapa diantara kita yang berani menghabiskan ratusan juta untuk membuka sebuah toko bunga jelek. Hanya kamu anak orang kaya yang berani, karena keluargamu ada uang, kamu bisa menghabiskan sesuka hati. Jika aku ada uang sebanyak itu, aku sudah bisa membayar uang muka. Menikah dengan Veni”

Robi sedikit emosi. Dia melihat Sutan, berkata dengan dingin, “Bukan masalah aku anak orang kaya atau tidak! Tapi seorang pria yang tidak berani menginginkan seorang anak saja, tidak pantas disebut pria!”

Kata-kata Robi sedikit keterlaluan. Kata-kata ini sudah menusuk luka Sutan. Dia menatap Robi, wajahnya memerah, “Robi sialan, katakan sekali lagi!”

Sutan juga menjadi emosi. Melihat gaya kedua orang ini, seperti setiap saat bisa berkelahi.

Novel Terkait

Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
5 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
4 tahun yang lalu
Pria Misteriusku

Pria Misteriusku

Lyly
Romantis
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
4 tahun yang lalu
My Cute Wife

My Cute Wife

Dessy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu