Love And Pain, Me And Her - Bab 118 Membingungkan

Sesampainya di bawah, begitu tertiup angin dingin, juga sudah lebih sadar.

Aku dan Raisa berjalan pelan-pelan. Kami berdua tidak berbicara. Aku mengeluarkan sebatang rokok, sambil berjalan sambil merokok. Sesampainya di depan pintu komplek, aku memberhentikan langkahku. Raisa melihatku tidak berjalan, dia membalikkan kepalanya dengan aneh melihatku.

Aku tersenyum tipis kepada Raisa, lalu menghela nafas dengan pelan. Tapi masih juga menanyainya, "Raisa, kamu dan dia sekarang bagaimana?"

Raisa sepertinya tidak menyangka aku akan menanya pertanyaa ini. Memang benar, setelah kami berdua putus. Aku tidak pernah mencari tau tentang kehidupan pribadinya.

Raisa juga tersenyum sebentar, dia langsung menjawab, "Lumayan baik, semuanya sangat normal"

Jawaban Raisa, berbeda sekali dengan yang Veni katakan. Dalam waktu yang sama, aku tidak tau apakah harus menanyainya lagi. Aku bergumam, tidak mengatakan lebih banyak lagi. Raisa seperti menyadari sesuatu, dia melihatku, langsung bertanya, "Ugie, apakah Veni mengatakan sesuatu kepadamu?"

Sikap Raisa, sudah membuatku bisa yakin. Hal yang diceritakan Veni, pasti tidak palsu. Kalau tidak Raisa tidak akan sensitif seperti ini. Aku mengangguk, melihat Raisa, ingin mendengarnya menjelaskan.

Raisa tersenyum pahit sebentar, dia melihat lampu jalan di kejauhan. Setelahnya lalu bertanya padaku lagi, "Dia menceritakan kepadamu kejadian hari itu ketika kami berbelanja di pusat perbelanjaan?"

Aku mengangguk lagi. Sikap Raisa juga ragu, aku tidak tau dia sedang memikirkan apa. Melihat dia yang ragu-ragu. Aku memutuskan untuk bertanya padanya, kalau hari ini tidak bertanya, takutnya lain kali tidak akan ada kesempatan sebaik ini.

Aku menghela nafas, dengan pelan bertanya padanya, "Raisa! Dulu kamu terus membohongiku, benarkan? Kamu tidak selingkuh, terlebih juga tidak hamil."

Tidak menungguku selesai berbicara, tiba-tiba Raisa tertaa dingin. Dia melihatku, memotong perkataanku.

"Ugie! Aku orang seperti apa, kamu paling jelas. Aku terus menghargai nama baikku, kamu mengira aku demi putus denganmu, membuat kebohongan untuk merendahkan diriku? Aku tidak akan! Dulu semua yang kukatakan padamu semuanya benar!"

Sikap Raisa sangat tidak baik. Sepertinya merasa aku curiga, sepertinya melukainya.

Sedangkan perkataannya, terlebih seperti palu berat, dengan kuat menghantam dadaku, tekanan seperti itu, membuatku hampir tak bisa bernafas. Lukaku yang baru sembuh, terbuka lagi, sakitnya seperti saat luka baru.

Tapi aku masih juga tidak bisa menahan menanyainya, "Kalau begitu kenapa di depan pusat perbelanjaan, Rehan menyuruhmu menjadi pacarnya, kamu tidak mau? Kamu tidak memberitahuku kalau Veni yang berbohong bukan? Apakah Veni orang seperti itu?"

Aku ingin mempertahankan kewarasanku. Tapi aku tidak bisa menahan, nada bicaraku masih juga tinggi.

Raisa malah tertawa, semacam tertawa pahit yang membuatku sedih. Dia melihatku, bertanya balik, "Ugie, apa kamu sungguh ingin tau?"

Tatapan Raisa jelas seperti dulu. Aku menatapanya, dengan pelan mengangguk. Raisa melihatku, dengan pelan berkata, "Kejadian itu sangat sederhana. Sebelumnya aku dan Rehan bertengkar, kami sudah putus. Dia menyesal, mulai mengejarku lagi. Hari itu aku tidak mengiyakannya, sesederhana ini saja"

Aku terdiam melihat Raisa, dia berkata lagi, "Oh iya, sekarang kami sudah berbaikan, Kamu sudah mengerti kan?"

Aku melihat Raisa, dia juga melihatku tanpa ekspresi. Aku ingin mencari celah di kata-katanya, tapi sama sekali tidak mendapatkannya. Perkatannya tidak ada cela, alasannya juga lengkap, membuatku tidak bisa tidak mempercayainya. Begini juga bagus! Aku menahan rasa sakit, menghibur diri sendiri di dalam hati. Setidaknya ada yang menjaga Raisa, aku juga tidak perlu mengkhawatirkannya.

Raisa melihatku tidak berbicara, dia tersenyum meneriakkan namaku, "Ugie! Jangan berpikiran sembarangan lagi. Aku sekarang sangat baik, sungguh! Lebih baik dari yang kamu bayangkan. Sekarang kamu juga baik kan? Pekerjaanmu bagus, Presdir Mirani juga sangat menghargaimu. Kalau kita memang hidup dengan baik, untuk apa memikirkan masa lalu lagi? Kamu harus tau, tidak peduli bagaimana kita memikirkannya, kita juga tidak bisa kembali. Tidak bisa kembali lagi"

Raisa sambil mengatakannya sambil menggeleng. Dua bulir air mata, membuat matanya berkaca-kaca. Dia mengangkat kepalanya sedikit, tidak ingin membiarkan air mata ini jatuh dengan mudah. Beberapa saat, dia menahan air matanya. Baru melihatku lagi, dengan serius berkata.

"Ugie, sebenarnya aku sangat berterimakasih kepadamu! Di umurku baru mengerti cinta, kebetulan kamu di sampingku. Memberiku saat-saat yang sulit kulupakan di hidupku. Aku tau, seumur hidup ini aku tidak akan bisa melupakan saat-saat itu. Tapi suatu hari kita harus dewasa, kita juga mengerti, cinta bukan segalanya bagi kita"

Raisa sambil berbicara, tiba-tiba bertanya, "Ugie, kamu tau apa itu cinta?"

Aku menggeleng pelan. Aku mempunyai keyakinanku terhadap cinta, tapi sekarang aku tidak ingin menjawab pertanyaan ini.

Raisa tersenyum, senyumannya membawa sedikit kesedihan.

"Cinta bukan memiliki, cinta adalah pengorbanan!"

Raisa menyayangkan. Sedangkan hatiku semakin sakit. Aku menghisap rokokku dalam-dalam, lalu dengan kuat menghembuskannya lagi. Seperti ingin semua tekananku ini menghilang mengikuti asap rokok ini, tapi, apakah mungkin?

Melihatku tidak berbicara, Raisa tersenyum berkata, "Ugie, kita harus berjalan kedepan, tidak boleh berbalik ke belakang. Hari-hari di masa depan pasti akan lebih baik, aku juga akan mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku. Sungguh, percaya padaku!"

Begitu Raisa selesai berbicara, dia membalikkan badannya mengarah ke sebrang jalan raya melambaikan tangan. Tiba-tiba, dari sebrang jalan muncul dua garis cahaya. Sebuah mobil Audi, dengan pelan memutar, melaju ke arah kami.

Ini adalah mobil Rehan!

Aku tertawa mendadak! Menertawai diriku terlalu bodoh! Terus memikirkan sebenarnya apa hubungan Raisa dan Rehan. Sedangkan Rehan malah sudah menunggu Raisa dibawah. Seperti tahun itu, aku menunggunya di bawah kamar asrama.

Aku berdiri di posisi awal dengan diam, melihat Raisa naik ke mobil Rehan. Sampai bayangan mobil Audi itu menghilang, aku baru tersadar.

Aku pulang dengan taxi, mandi dengan air dingin. Aku harus membuat diriku sadar. Perkataa Raisa benar, aku tidak boleh tenggelam di masa lalu. Aku harus memikirkan masa depanku.

Setelah selesai mandi, aku tiba-tiba teringat. Isyana harusnya sudah lepas landas. Aku buru-buru mengeluarkan handphone, tidak tau sejak kapan handphoneku diganti menjadi mode diam. Begitu kubuka dan lihat, ada dua pesan. Semuanya adalah pesan yang dikirimkan Isyana.

Yang pertama adalah, "Sudah sampai hotel, lumayan lancar"

Yang kedua hanya ada dua kata, "Sedang sibuk?"

Melihat waktu, rupanya dikirim satu jam yang lalu.

Novel Terkait

Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu