Love And Pain, Me And Her - Bab 74 Jadi Orang Kaya Sangat Enak

Isyana seketika terdiam. Dia terbengong-bengong menatapku dengan wajah sedingin es.

Sedangkan aku terus melihat dua tumpukan uang di atas meja. 40 juta, gajiku selama empat bulan tanpa dikurangi biaya makan dan lain-lain. Enak sekali punya banyak uang! Punya banyak uang bisa tinggal di rumah mewah dan mengendarai mobil mewah, bisa menggunakan uang untuk mempermalukan orang lain sesuka hati, Jika aku punya uang, Raisa pun tidak akan meninggalkan aku!

Aku perlahan mengambil gelas berisikan vodka.

“Ugie!”

Suara Isyana tidak keras, tapi penuh dengan kekecewaan.

Aku berusaha keras untuk memberikan senyuman tipis pada Isyana. Memegang gelas dan perlahan-lahan mendekatkannya ke mulut. Mendongak dan menghabiskan semua isi gelas. Vodka sudah tidak terasa pedas sama sekali, rasanya tidak berbeda dengan air.

Isyana duduk terpaku di tempat, tidak bicara. Sedangkan Don Juan menepuk tangan sambil berkata, “Tuan Ugie, kuat minum!”

Aku mengabaikan sindirannya. Mengambil 40 juta di atas meja, menggunakan kesadaranku yang tersisa dan berusaha tersenyum pada Bibi Salim, "Bibi Salim, selamat ulang tahun. Aku sudah seharusnya pergi."

Bibi Salim tidak mengucapkan sepatah kata pun dari awal hingga akhir. Aku berdiri dengan tidak stabil, beberapa kali hampir jatuh.

Ruangan ini sangat besar, bagaimanapun aku tidak bisa menemukan jalan keluar. Entah kapan, Isyana berjalan ke depan aku dan membawaku keluar.

Lampu jalan di halaman telah menyala, menerangi sekitarnya hingga tampak cerah. Angin yang berhembus membuatku menggigil. Isyana membawaku ke gerbang tanpa bersuara. Lampu kuning memancar ke wajah Isyana, menambahkan keindahan yang samar padanya.

Isyana menatapku, beberapa saat kemudian barulah dia berkata perlahan, "Ugie, aku kecewa! Sangat kecewa!"

Aku tertawa! Napasku yang berbau alkohol membuat Isyana sedikit tidak nyaman. Dia agak memalingkan mukanya.

Aku memandangi Isyana, bertanya balik padanya, "Presdir Mirani, kapan kamu menaruh harapan padaku?"

Tubuh Isyana agak bergetar. Dia menatapku dan berkata dengan dingin, "Jangan panggil aku Presdir Mirani!"

Memang, aku sudah lama tidak memanggilnya Presdir Mirani.

Tapi aku mencibir, bertanya padanya, "Jadi, aku harus memanggilmu apa? Isyana, atau Yana? Hehe, aku tidak pantas, itu bukan panggilan yang pantas disebut olehku! Presdir Mirani! Aku hanya seorang karyawan di perusahaanmu, hanya bawahanmu saja!"

Isyana merapat erat bibirnya, sangat jelas, kata-kataku menstimulasinya.

“Ugie, kenapa kamu bisa menjadi seperti ini?”

Aku tersenyum bodoh. Mengibaskan dua tumpukan uang di tanganku, tumpukan itu agak tebal, sehingga aku tidak bisa menahan semuanya. Beberapa lembar terjauh ke tanah. Aku menatap Isyana, tersenyum bodoh dan berkata dengan mabuk,

"Presdir Mirani, aku memang seperti ini. Aku suka uang! Seberapa enaknya menjadi orang kaya? Dengan uang kamu bisa makan enak, hidup enak, dan menggunakan yang terbaik. Dengan punya uang, kamu bisa meminta orang lain untuk minum, bisa merebut pacar orang lain. Kami tidak punya uang, apa yang bisa kami lakukan? Kami hanya bisa membiarkan orang lain mempermalukan kami, bahkan tidak berani mengutarakan perasaan kepada orang yang dicintai. Benar-benar enakan punya uang, punya uang benar-benar enak.”

Aku seperti pemabuk biasanya. Mulai berceloteh, sampai akhir, aku mulai berteriak dan menjerit.

Aku tidak tahu mengapa aku berteriak! Aku hanya tahu bahwa aku depresi! Jika aku tidak berteriak, aku takut aku akan menggila.

Tiba-tiba, aku mengangkat tangan. Tumpukan tebal uang kertas terlempar tinggi ke udara olehku. Uang-uang itu melayang dan bertebaran di udara. Tidak beda dengan daun yang jatuh.

Mata Isyana memerah, dua tetesan air mata jernih melintasi pipinya. Dia menekan bibirnya dengan erat. Melihatku dengan kecewa!

Semua ini sudah tidak penting! Rekan, kami hanya rekan kerja!

Aku berbalik sambil tersenyum dan berjalan perlahan. Aku tahu, aku sudah tidak bisa berjalan lurus, langkahku tidak stabil, seperti hantu kesepian yang bergelandangan di tengah jalan aspal yang lebar.

Sosok Raisa dan Isyana bergiliran melintasi pikiranku. Aku menyeringai, mengingat kembali masa-masa sekolahku. Masa itu terasa bagus sekali! Pada saat itu, aku hanya mendambakan tumbh dewasa dan menantikan hari esok dengan polos. Aku dengan naif berpikir bahwa setelah memasuki dunia masyarakat, aku akan menuai buah-buah cinta, menunjukkan kemampuanku dalam karir. Tapi apa? Kehidupan ini melukaiku sedemikian rupa.

Entah seberapa jauh aku jalan, aku sudah lelah! Tiba-tiba aku mengangkat kepalaku dan berteriak ke langit, "Raisa!"

Suaraku bergema di udara. Kemudian aku berjongkok di tanah, menangis sedih seperti anak kecil!

Aku benci pria yang menangis. Menurutku pria harus berdiri tegak, berdarah dan berkeringat tanpa air mata. Tapi aku menangis. Ini adalah pertama kalinya aku menangis setelah putus dengan Raisa. Aku tidak tahu apakah alasan aku menangis adalah karena Raisa atau Isyana. Atau hanya karena kemalangan yang diberikan kehidupan.

Aku tidak tahu bagaimana caraku pulang ke rumah. Aku hanya ingat, ketika aku berjalan sampai di sebuah distrik, ada dua garis cahaya mobil memancar dari belakang aku. Siapa itu? Aku tidak mau tahu.

Ketika bangun, aku berbaring di sofa dengan pakaian masih di tubuh. Otak terasa kelam kabut. Aku mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya, duduk di sofa dan melamun sebentar. Semua yang terjadi kemarin masih teringat jelas olehku, tetapi aku sama sekali tidak menyesal. Selama waktu ini, interaksi yang sering dengan Isyana membuat aku terkadang secara diam-diam berpikir, apakah dia juga memiliki perasaan terhadapku, atau bahkan juga menyukai aku. Tetapi, melalui dialognya dengan Don Juan kemarin, aku menemukan, selama ini aku bermimpi yang tidak realistis.

Aku harus memosisikan kembali hubungan aku dengan Isyana! Kami hanya atasan dan bawahan, hanya rekan kerja!

Sekedar merapikan diri dan membawa beberapa baju ganti, aku langsung pergi ke perusahaan. Raisa, Lulu, dan beberapa lainnya telah tiba lebih awal. Ketika naik bus, aku menoleh ke belakang, tidak ada bayangan Isyana di antara orang-orang yang masuk dan keluar dari pintu.

Tiba di villa. Semua orang mulai menyiapkan informasi dengan berbagi tugas. Aku meminta Amori untuk mengambil produk baru yang telah dikembangkan sebagai contoh dan bertanggung jawab atas perencanaan. Lulu bertanggung jawab dalam perbandingan pasar, membandingkan semua produk dari jenis pedagang yang sama. Sedangkan Raisa dan rekannya, Dirga bertanggung jawab atas penyempurnaan produk KIMFAR. Aku ingin memahami pangsa pasar KIMFAR selama beberapa tahun ini, serta kelompok pelanggan utamanya.

Semua orang sibuk dengan pekerjaan yang telah dibagikan. Aku baru saja membaca dokumen sebentar, tiba-tiba segelas susu disodorkan ke depan mataku. Mendongak, ternyata Raisa. Raisa tersenyum ringan padaku, berkata dengan lembut, "Hari ini kamu belum sarapan kan?"

Aku mengambil susu dengan tersenyum masam, susu hangat! Aku meminum seteguk dan bertanya padanya, "Bagaimana kamu bisa tahu?"

Raisa menatapku dengan kepala miring, tersenyum, "Aku mencium bau alkohol dari tubuhmu begitu aku naik mobil. Setelah minum alkohol, kamu paling tidak suka sarapan di hari berikutnya, cepat minum susu. Jika tidak, lambungmu akan terasa tidak enak."

Perhatian Raisa membuat hatiku terasa masam. Namun perhatiannya ini sepertinya sudah terlambat.

Novel Terkait

Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
4 tahun yang lalu

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu