Love And Pain, Me And Her - Bab 393 Masuk Rumah Sakit

Kembali ke perusahaan, aku menyeduh semangkuk mie untukku sendiri. Setelah selesai makan, aku berbaring di atas kasur kecil sambil memikirkan masalah Sutan dan Veni. Hari ini yang paling berkesan padaku adalah tatapan mata Veni yang kecewa.

Bertemanan selama sekian tahun, situasi Veni membuat hatiku merasa tidak nyaman. Aku berpikir sejenak, lalu mengirim sebuah pesan kepada Raisa, “Raisa, akhir-akhir ini jika tidak sibuk, kamu sering-sering temani Veni! Di antara dia dan Sutan, terjadi masalah kecil lagi.”

Raisa membalas pesanku dengan cepat, tetapi balasannya singkat sekali, “Baik, aku tahu! Aku akan hubungi Veni!”

Melihat pesan Raisa yang singkat ini, aku tidak membalasnya. Aku meletakkan ponsel ke samping, dan tertidur pulas.

Pagi hari keesokannya, aku menelepon Eddy. Aku sudah menetapkan langkah pertama dari strategi pemasaran, yaitu mengganti koki, dan menyesuaikan menu. Permintaanku terhadap menu sederhana sekali, tidak perlu betapa enaknya, asalkan tidak terasa tidak enak saja sudah cukup. Tetapi harus memenuhi satu aspek, yaitu harus cantik, memberi perasaan indah kepada orang yang melihatnya.

Permintaan ini tidak sulit bagi Eddy, dia pun setuju. Dia memberitahuku, setelah koki sudah diganti, dia akan segera menghubungiku.

Mendengar nada bicara Eddy yang santai, aku diam-diam tertawa dalam hati, yang sulit ada di belakang sana. Pada saatnya nanti, pusinglah dia.

Setelah menghubungi Eddy, aku duduk di depan meja kerja, dan mulai bekerja. Baru saja aku membuka laptop, ada pesan masuk di ponselku. Aku membukanya, ternyata dari Isyana, isinya adalah, “Ugie, tebak aku di mana?”

Perasaan di antara aku dan Isyana sekali lagi menjadi hangat, hal ini membuatku juga menjadi lebih santai untuk berbicara dengannya. Aku langsung membalas Isyana, “Jangan-jangan kamu di bandara, dan akan terbang ke luar negeri lagi?”

Isyana membalas sebuah emotikon wajah senyum, lalu dia mengirimkan sebuah foto. Aku membukanya, di dalam foto itu adalah sebuah gedung tinggi yang megah, di atasnya ada tulisan yang memancarkan sinar emas, “Djarum Grup.”

Aku segera membalasnya, “Kenapa begitu cepat? Hari ini langsung bekerja ke Grup?”

Tidak lama kemudian, Isyana segera membalas, “Iya, pergi hari ini. Ugie, aku sekali lagi memulai perjalanan karirku, kirimkan aku doa saja! Menerima doa darimu, aku akan masuk ke dalam dan pergi melapor.”

Tanpa ragu, jariku bergerak melayang, aku membalas Isyana, “Semoga di lingkungan kerja kamu yang baru, hatimu senang, dan doamu terkabulkan!”

Aku tidak mendoakan pekerjaan lanjar jaya untuk Isyana, karena aku sudah memiliki perasaan bahwa tujuan Isyana pergi ke Grup, sama sekali bukan untuk bekerja. Sementara apa tujuannya, Isyana tidak memberitahuku.

Setelah mengirimkan pesan ini, aku menambahkan lagi, “Isyana, ingat! Tidak peduli bertemu dengan masalah apapun, jangan panik. Ingat, semuanya ada aku! Rindu kamu!”

Tidak lama setelah pesan dikirimkan, Isyana membalas sebuah emotikon wajah senyum padaku, beserta gestur tangan ‘ok’.

Menatap pada ponsel, aku tersenyum. Mungkin aku dan Isyana pun tidak akan berharap, ada suatu hari di mana Isyana pergi bekerja di Djarum Grup. Mungkin inilah kehidupan, penuh dengan misteri.

Aku menyalakan laptop, dan lanjut bekerja. Baru tidak lama, tiba-tiba ponselku berdering. Aku mengambil dan melihatnya, Lulu menelepon kemari. Aku mengangkatnya, dan mendengar suara Lulu yang sakit dari ujung telepon sebelah sana, “Ugie, hari ini perusahaan tidak ada masalah?”

Barulah aku ingat, hari ini Lulu belum datang untuk bekerja. Mendengar suaranya, aku segera bertanya balik, “Lulu, kamu kenapa? Tidak enak badan?”

Di tempat Lulu sepertinya sedikit berisik, mendengar suaranya, mestinya dia tidak di rumah.

Kemudian, terdengar Lulu berkata dengan lemas, “Ugie, aku di rumah sakit. Aku tidak enak badan, rasanya pusing kepala, hati cemas, dan sedikit sesak napas. Dokter menyuruhku menginap di rumah sakit untuk sementara waktu, dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.”

Mendengarnya, aku pun kaget. Lulu juga berasal dari luar kota, dia selalu menyewa tempat tinggal di sini. Jika dia menginap di rumah sakit, juga tidak ada orang yang merawatnya. Aku segera berkata padanya, “Lulu, masalah studio tidak perlu kamu khawatirkan, badanmu lebih penting. Lulu kamu jangan cemas, aku segera pergi mencarimu.”

Meskipun Lulu berkata tidak perlu, tetapi aku bersikeras untuk pergi. Setelah meletakkan ponsel, aku mengemas dokumen yang ada di atas meja.

Sebenarnya dalam dua hari ini, aku benar-benar lumayan sibuk, karena strategi pemasaran untuk Eddy sudah mulai dijalankan. Selain itu, pertemuan tender dari Indoma Food akan diadakan setengah bulan lagi. Biasanya aku benar-benar tidak punya waktu untuk merawat Lulu. Sementara di sekitarku, orang satu-satunya yang punya waktu adalah Veni, tetapi sekarang masalahnya sendiri sudah tujuh keliling, aku tidak mungkin merepotkannya.

Aku berpikir lagi, dan langsung memikirkan Robi. Toko bunganya itu sudah setengah hidup setengah mati, biasanya sama sekali tidak ada tamu yang datang. Lagi pula masih ada pelayan, Robi di sana juga menjadi pajangan saja. Memikirkan hal ini, aku menelepon Robi. begitu tersambung, terdengar suara Robi yang bermalas-malasan dari ujung telepon sebelah sana, “Ugie, aku beritahu kamu, katakan langsung jika kamu ada masalah. Jika tidak ada masalah, dan hanya ingin mengajariku, kamu jangan katakan saja, awas aku blokir kamu.”

Bocah ini, bahkan mengingat dendam, hanya karena mengajarinya waktu itu.

Aku juga tidak memiliki suasana hati untuk beromong kosong dengannya, aku segera berkata, “Tadi Lulu menelepon aku untuk minta izin, dia masuk rumah sakit! Sekarang aku akan pergi menjenguknya di rumah sakit, jika kamu ingin pergi denganku, segera datang ke studio cari aku, jika kamu tidak ingin pergi, anggap saja aku tidak pernah memberitahumu.”

“Ah? Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa masuk rumah sakit?”

Robi berturut-turut bertanya kaget padaku, “Mana aku tahu? Kamu datang atau tidak, jangan omong kosong!”

Aku berkata dengan kesal. Sebenarnya mengenai masalah Robi dan Lulu, aku benar-benar lumayan marah dengan Robi. Demi sebuah percintaan yang fatamorgana, dia dengan begitu bodohnya menolak gadis yang begitu baik seperti Lulu.

Robi juga tidak menghiraukan sikapku, dia bertanya dengan cemas, “Kamu tunggu aku, aku pergi ke tempatmu sekarang!”

Pada dasarnya Robi adalah orang yang bijaksana, jangankan Lulu, kalaupun adalah seorang teman biasa, dia juga akan pergi menjenguk.

Setelah meletakkan telepon, aku berjalan keluar dari kantor. Setelah berpesan singkat kepada Deren dan Amori, aku pergi ke depan pintu sambil merokok sambil menunggu Robi.

Tidak lama kemudian, Robi sudah sampai dengan taksi. Melihatku di depan pintu, dia bahkan tidak turun dari mobil, melainkan bergegas melambaikan tangan padaku, dan berkata, “Ugie, cepat naik.”

Melihat tampang Robi yang cemas, dalam hati aku ingin tertawa. Kelihatannya dia tetap mengkhawatirkan Lulu.

Di sepanjang jalan, aku tidak berbincang apa-apa dengan Robi. Kami berdua langsung pergi ke bangsal di area rawat inap. Karena datang dengan terburu-buru, bahkan buah dan bunga segar pun tidak kami beli. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, terdengar suara Lulu yang tidak bertenaga dari dalam sana, aku dan Robi membuka pintu dan berjalan masuk.

Novel Terkait

Pejuang Hati

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu

Step by Step

Leks
Karir
3 tahun yang lalu

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu