Hanya Kamu Hidupku - Bab 624 Aku Tahu Kamu Kuat

Di keesokkan harinya, tepat dipukul 10 pagi.

Pani masih berbaring di tempat tidur dengan sedih dan dia merasa sangat hipoksia dan dehidrasi. Berbaring di tempat tidur saja, dia merasa tubuhnya seperti ditahan kaki dan tangan dengan kekerasan sehingga tidak bisa bergerak.

Tidak dikarenakan yang lain.

Awalnya, dia berpikir bahwa dia akan mendapatkan tidur malam yang nyenyak setelah bermain dari semalaman.

Ternyata!

Kenyataan membuktikan, dia sungguh terlalu polos!

Sumi kemarin seperti minum beberapa kilogram obat kuat, dia sungguh bersemangat dari minggu sebelumnya.

Sampai akhirnya, Pani beberapa kali sempat berpikir bahwa dia tidak akan hidup sampai besok dan kemudian dia benar-benar kehilangan kesadaran, sampai sekarang dia bangun masih dalam keadaan mengumpulkan nyawa.

Seusai berbaring di tempat tidur selama hampir setengah jam, Pani mulai menggerakkan jari-jarinya,dengan menahan rasa yang tidak nyaman akhirnya mencoba bangun dari kasur. Karena masih merasa pusing, dia memegang samping tempat tidur untuk turun mengambil air minum di dispenser, setelah minum beberapa gelas air, Pani baru merasa dirinya hidup kembali.

Setelah itu, Pani beranjak pergi ke kamar mandi untuk mandi, ketika berdiri di depan wastafel, tiba-tiba dirinya melihat wajahnya yang ada di cermin dan dia terkejut sekali.

Wajahnya terlihat sangat-sangat pucat, pucat seperti orang yang sedang sakit.

Bila kepucatan wajahnya muncul diwajah lelaki, maka bisa dibilang sangat jelas dikarenakan terlalu banyak kali "mainnya".

Jari rampingnya memegang erat samping wastafel, wajahnya yang mungil terlihat gemetaran, sepasang matanya dikarenakan malu terlihat begitu terang, dia mengertakkan giginya "Sumi, kalau aku mengizinkan dirimu malam ini seenaknya lagi, maka panggil saja namaku menjadi Wilman Pani! Dasar lelaki buaya, lelaki brengsek..."

Selama proses mencuci wajah, Pani terus membuka dan menutup mulutnya, dengan lemah mengutuk lelaki tua tersebut.

……

Pani mengira dia akan demam, pilek ataupun lainnya, tetapi itu sama sekali tidak terjadi. Setelah makan tiga kali, malamnya dia merasa sudah sangat mendingan.

Setelah Lian tertidur pulas dikamar Siera dan Samoa, Pani baru balik ke kamarnya sendiri.

Dia baru saja melangkah masuk, pintu pun belum sempat tertutup.

Pergelangan tangannya itu segera digenggam dan ditarik oleh sebuah telapak tangan pria yang kuat.

Hati Pani bergetar dan bibirnya pun dicium dengan kuat.

Nafas Pani terengah-rengah dan setelah itu, api pun melonjak di sepasang matanya dan seketika itu juga dia mengangkat kakinya, dengan tiba-tiba menginjak kaki pria tersebut.

"Hm"

Pria itu mengerang, tetapi bibirnya masih mengigit tanpa melepaskan Pani, telapak tangannya juga ikut meremas punggungnya dengan kuat dan membawanya kepelukan si pria.

Saking kesalnya mata Pani mengerut, kakinya tetap menginjak.

Sumi mendesis pelan, dia mengerutkan alisnya yang panjang dan perlahan melepaskan bibir Pani, bibir tipisnya merapat dengan tidak senang dan matanya menatap Pani dengan tatapan kusam.

Pani menarik napas dengan cepat, kembali menatapnya dengan mata yang berapi-api "Sumi, apa kau tidak ada habisnya ?!"

Sudah lebih dari satu minggu berturut-turut, apa masih belum cukup!

Sumi memasang wajah cemberut, tampaknya sungguh tidak senang.

Pani benar-benar kesal, dengan tega dia menginjak lebih kuat lagi di kaki suaminya tersebut.

Mata Sumi berkedip cepat dan menatap istrinya dengan sepasang mata yang dalam tanpa mengeluarkan suara.

Pani merapatkan bibir kecilnya "Sumi, jika kamu melakukan ini lagi, aku akan tidur di kamar lain!"

"Jangan pernah berpikir tentang itu!"

Sumi membawa orang itu di pelukannya dan membungkuk untuk memeluknya.

"Sumi!" Pani mengertakkan kakinya dan mundur kebelakang, dengan kesal melotot suaminya "Aku akan mati!"

Sumi mengerutkan alisnya "Kamu jangan sembarangan berbicara, kan ada aku, bagaimana mungkin membiarkanmu mati!?"

"Ada kamu ? Aku sekarang begitu lihat kamu jadi takut ! Kamu, kamu tau tidak sekarang begitu balik ke kamar melihatmu kakiku gemetaran sendiri, kamu, kamu bisa tidak jangan terlalu bersemangat, badan kuat juga tidak boleh tiap hari minta jatah!"

Seusai Pani selesai berbicara, wajahnya pun memerah.

Sumi memandang Pani dan menyipitkan matanya "Apa yang ingin kamu ungkapkan?"

Pani rasanya ingin muntah darah.

Apakah dia mengungkapkannya belum cukup jelas?

Wajah, telinga dan leher Pani semuanya memerah, giginya menggigit bibir bawah karena malu, sepasang matanya yang cantik berkilat karena merasa malu, dia yang berdiri di sana, benar-benar mirip seorang gadis kecil.

Sumi suka melihat istrinya seperti ini, alisnya sedikit diangkat "Katakan dengan jelas, apa ketidakpuasanmu denganku?"

Sudut bibir Pani berkerut, dia diam berdiri di sana, merasa malu untuk mengatakannya untuk kedua kalinya.

Bibir tipis Sumi bergerak sangat pelan hampir tidak terlihat, jari-jari tangannya yang ramping perlahan dimasukkan ke dalam sakunya, dia menatap Pani dan berujar "Aku tidak tahu siapa kemarin yang mengatakan bahwa tidak bisa melepas diri dariku, tetapi ini hanya lewat satu hari saja, dia mulai tidak puas lagi denganku? Apakah semua wanita seperti dirimu yang suka berubah-ubah?“

”Kamu..."

Seluruh wajah Pani benar-benar merah karena malu "Siapa yang tidak bisa lepas darimu? Sumi, kamu jangan keterlaluan ya!"

Sumi menatap wajah Pani dengan diam, matanya semakin dalam, seperti jaring hitam yang menangkap Pani.

Istrinya, kalau malu kok lucu sekali!

Sudut bibir Sumi membentuk sebuah lengkungan, melangkah menghampiri Pani.

Pani menatapnya dengan waspada "Apa yang ingin kamu lakukan?"

“Tidak melakukan apa-apa, aku hanya ingin memberitahumu satu hal.” Sumi menatapnya dengan nakal dan berkata perlahan.

Jantung Pani berdegup dengan sangat kencang.

Biasanya Sumi terlihat sebagai orang yang sangat gentleman dan elegant, namun ketika dia nakal, dia akan terlihat sangat liar, sangat membuat orang suka untuk melihatnya.

Pani tanpa sadar menggaruk celananya sendiri, suaranya menjadi lebih pelan "Apa?"

"Besar."

“……?”

“Payudaramu。”

“……!!”

“Berkatku.”

“……!!!”

“Tidak perlu berterima kasih denganku。”

“……Sumi, hmm.”

Sumi tersenyum dengan nakal,meraih sudut mulutnya dan menciumnya.

“……” Benar-benar nakal!

……

Selama tiga hari berturut-turut, Sumi diam dan tidak meminta jatah lagi, Pani merasa lega dan jam biologisnya akhirnya bisa kembali normal.

Setelah sarapan, Sumi berangkat kerja.

Siera dan Samoa ada janjian dengan teman-teman dan mereka membawa Lian juga. Benar, karena permintaan teman-temannya, Siera dan Samoa hanya bisa menuruti permintaan mereka membawa Lian pergi juga.

Untungnya Pani tidak memberikan ASI dari awal, sejak lahir Lian juga sudah sering dijaga oleh Siera dan Samoa, sehingga dekat sekali dengan kakek neneknya, oleh karena itu juga Pani sama sekali tidak khawatir anaknya akan menangis.

"Kak Pani, sekarang dirumah tinggal kamu sendirian saja, apakah kamu akan bosan?"

Snow hari ini mengikuti Mbok Yun datang lagi. Betul, semenjak semakin akrab dengan Pani, Snow menjadi semakin sering datang main kerumah.

Pani melirik ke arah Snow, tidak mengabaikan cahaya yang berkedip di bawah matanya, lantas mengangkat alisnya dan berkata "Tidak, aku nanti juga akan pergi ."

"...Keluar? Kemana? Buat apa?" Snow seperti anak kecil yang penasaran memandang Pani,

"Aku tidak ingin memberitahumu!" Ujar Pani

Snow,“……”

Pani melirik wajah mungil Snow yang sedikit tidak senang, dirinya tersenyum dengan diam, melangkahi dia dan berjalan naik ke lantai atas..

Snow mengerucutkan mulutnya, ia memiringkan kepalanya dan menatap Pani sambil berkata "Dasar pelit!"

……

Dikamar utama.

Pani berdiri di depan jendela sambil memegang ponselnya, sepasang matanya yang memandang depan mengeluarkan rasa dingin yang luar biasa.

Ber...ber...

Telepon bergetar di telapak tangan.

Pani menyipitkan mata dan melihat ke bawah.

Sebuah pesan teks.

Isi pesan teks adalah nomor telepon.

Pani mengangkat alisnya dan meletakkan jari tengahnya di nomor telepon. Tanpa ragu, dia langsung menelepon.

Sekitar sepuluh detik, akhirnya dijawab.

"Hallo, saya Linsan." Suara pelan dan lembut Linsan terdengar dari telepon.

Rasa dingin di mata Pani menjadi lebih kuat, dia meletakkan telepon ke telinganya "Aku pikir sudah waktunya untuk menjelaskan semua ini."

"... Kamu, Pani?" Linsan kaget.

"Iya." Pani melihat ke luar jendela "Kamu seharusnya sudah lama ingin bertemu denganku."

Suara Linsan menghilang selama beberapa detik dan ketika itu terdengar kembali, ada senyum lembut di suara tersebut "Meski aku tidak tahu apa yang akan kamu katakan padaku. Tapi yang kamu katakan itu benar, aku benar-benar ingin mengajakmu untuk bertemu, tetapi sayangnya akhir-akhir ini aku terlalu sibuk ... ditambah lagi, Sumi beberapa hari yang lalu membantuku menghubungi dokter terkenal untuk perawatanku, jadi aku belum memiliki kesempatan untuk mengajakmu keluar. "

“Iyakah? Bagaimana hasil pengobatannya? Apakah optimis?” Suara Pani terdengar sangat datar.

"Sejujurnya, tidak terlalu bagus."

Kata Linsan dengan sedih.

Pani kalau hanya mendengarkan, dia tidak bisa membedakan Linsan benar-benar sedih, ataupun hanya pura-pura saja.

Namun, kalimat tersebut "Sumi membantuku menghubungi dokter terkenal untuk pengobatanku" benar-benar membuat Pani merasa tidak nyaman.

Pani berbalik badan "Aku ikut sedih mendengarmu mengatakan itu."

Linsan tersenyum pahit.

“Aku hari ini sempat, bagaimana denganmu.” Pani berkata terus terang.

"Kebetulan sekali, aku hari ini juga ada waktu." Ujar Linsan dengan tertawa.

"Kalau begitu aku akan mengirimkan alamat padamu, sampai ketemu nanti" Kata Pani.

“Baik.”

Seusai menelpon, wajah Pani sama sekali tidak berekspresi.

Saat dia hendak meletakkan telepon dan pergi ke ruang baju untuk berganti pakaian, telepon bergetar kembali.

Pani melirik telepon, bulu mata yang lebat dan hitam berkedip cepat, dia meletakkan telepon di telinganya untuk menjawab "Tanjing."

“Pani, kamu menginginkan nomor telepon Linsan untuk?” Ada jejak ketegangan dan kekhawatiran dalam suara Tanjing.

Pani berjalan menuju ruang ganti "Tidak apa-apa, simpan saja, mungkin nanti kedepannya ada keperluan untuk menghubungi dia."

“… Kamu, apa keperluan apa untuk menghubungi Linsan?” Tanjing berkata dengan hati-hati dan tegang.

Pani menunduk tanpa mengeluarkan suara.

Nafas Tanjing terdengar agak cepat dari mikrofon telepon "Pani, aku, aku ..."

Tanjing ingin berbicara namun terhenti, suaranya rumit.

Pani mengerutkan keningnya, matanya menoleh ke dalam ruang baju, mencari pakaian "Tanjing, aku tidak pernah ada niat ingin menjahatkan orang, apalagi menyakiti orang lain. Jadi kamu tidak perlu khawatir, aku meminta nomor telepon Linsan memiliki tujuan tersembunyi, yang tidak baik untuknya. "

"Tidak! Maksudku bukan seperti itu Pani, aku hanya berpikir, aku hanya ..."

“Hanya berpikir apa?” Pani mengeluarkan kemeja sutra putih dan celana jeans berwarna muda, berkata mengerutkan kening sambil berdiri di depan cermin besar.

Meski Pani sekarang tidak dapat melihat Tanjing, namun dia bisa membayangkan kebingungannya saat ini, meskipun dia tidak tahu mengapa dia bisa bingung.

Tidak tahukah? Mungkin saja.

"Tidak apa-apa."

Pada akhirnya, Tanjing hanya berkata dengan pelan.

Pani terdiam sambil memegang telepon, lalu menutup telepon tanpa mengatakan apapun.

Seusai mengganti pakaiannya, mengambil jaket berwarna kaki, membawa tasnya, pergi meninggalkan kamar tidur dan berjalan turun ke bawah.

Novel Terkait

Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
3 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
3 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu