Hanya Kamu Hidupku - Bab 341 Membenci Orang Menyentuhnya

Tidak lama kemudian, terlihat Frans menyakukan kedua tangannya, berjalan masuk dengan santai seperti preman bersama… ... Eldora.

Ellen tertegun.

Kenapa Frans bisa bersama dengan kakaknya?

“Agnes… …”

Ellen menarik napas, mengambil ponsel dan berjalan keluar, “Nenek, kakak sudah sampai.”

Eldera yang berjalan sampai di pintu mendengar perkataan Ellen, alisnya yang tertata apik langsung terangkat.

Ellen menyerahkan ponsel padanya.

Eldora tersenyum lembut pada Ellen, mengambil ponsel dan menempelkannya di telinga, "Nenek, kamu cari aku?"

Ellen menatapnya sambil menghela nafas, sekilas melirik Frans, lalu memandu mereka berdua masuk ke rumah.

“Aku sudah sampai di tempat adik semalam, bukankah aku sudah memberitahumu.” Eldora melangkah ke arah sofa, pinggang selentur ular bergerak mendudukkan diri di sofa.

Ellen mungkin berhalusinasi, dia merasa Eldora mengedipkan mata dengan mesra pada abang keempatnya ketika duduk

Punggung Ellen terasa geli, kening berkedut sambil menoleh ke Frans.

Frans sama sekali tidak terpengaruh, memberi senyuman pada Ellen.

Ellen agak tidak tahu harus berkata apa, bertanya melalui isyarat mata: Kenapa kamu bisa bersama dengan kakakku?

Frans menariknya duduk, tidak bermain kode-kodean dengan Ellen, langsung terang-terangan "Kakakmu ini lebih berkemampuan daripada kamu, belajar darinya."

Apa?

Ellen memandangnya dengan bingung.

Frans tidak melihat dia, mengangkat tangan dan menepuk-nepuk kepala dia, “Sudah, orang sudah kubawa kemari, aku pergi dulu.”

“Sudah mau pergi?” Ellen mengedipkan mata.

Frans berdiri, memelototinya dan berkata, “Untuk apa jika tidak pergi? Aku sudah sarapan, makan siang masih lama, aku tidak seharusnya berada di sini.”

Ellen diam.

Mau pergi ya pergi saja, banyak alasan!

Ellen tentu tahu orang seperti Frans tidak akan tinggal di sini berjam-jam tanpa alasan.

Mendengar kata-katanya, Ellen pun tidak menahannya untuk tetap tinggal.

Namun, ketika Ellen bangkit dan hendak membawa Frans keluar, Eldora buru-buru mengakhiri telepon dengan Nurima, mengambil beberapa langkah ke depan dan merangkul lengan Frans dengan mesra.

Melihat itu, kelopak mata Ellen berdenyut.

Meski mysophobia Frans tidak separah Elthan, tapi juga merupakan pengidap. Dia benar-benar membenci orang menyentuhnya, selain orang yang akrab dengannya… ...

Sesuai dugaan.

Baru saja dirangkul Eldora, dia langsung menarik kembali lengan tanpa memberi muka.

Melihat raut muka Eldora berubah, Ellen maju dan merangkul tangan Eldora yang terangkat canggung di tengah udara, berkata sambil tersenyum pada Frans yang agak muram, "Abang, terima kasih telah mengantar kakakku pulang, lain hari aku akan masak untukmu."

Frans menyipitkan matanya, bibir tipis perlahan melengkung, tetapi tidak mengatakan apa-apa, melangkah keluar.

Merasakan tubuh Eldora hendak berlari ke depan, Ellen segera menarik tangannya dengan erat, berbalik untuk menatap Eldora yang tergesa-gesa sambil memasang senyuman, “Kak, kenapa kamu tidak meneleponku terlebih dahulu sebelum datang, biar aku jemput kamu. "

Saat ini Frans telah keluar dari villa.

Mata Eldora melintas kekesalan, menyemangatkan diri, lalu menatap wajah Ellen yang agak kurusan, mengambil napas beberapa kali, satu tangan menyentuh punggung tangan Ellen yang merangkul lengannya yang satu lagi, “Aku datang ke sini karena mengkhawatirkan kamu, bagaimana mungkin aku masih merepotkan kamu? "

Suara mobil yang melaju terdengar dari luar vila.

Ellan menghela nafas dengan ringan, menggandeng Eldora ke sofa untuk duduk, "Kenapa menjemputmu merepotkanku?"

“Lihatlah dirimu, hanya beberapa bulan setelah meninggalkan Kota Rong, kamu sudah mengurus begitu banyak.” Eldora mengerutkan alis, mengangkat tangan dan meraba wajah Ellen dengan penuh kasihan.

"Lebih baik kurus, terlihat cantik saat berpakaian." Ellen berkedip dan bercanda tawa.

Eldora menggelengkan kepala, "Kamu pada dasarnya memang tidak gemuk, jika mengurus lagi, kamu hanya tersisa kulit dan tulang, menakutkan."

Berhenti sejenak, Eldora memandang Ellen sambil menghela nafas, "Tapi melihat kamu yang sekarang masih bisa bercanda denganku, aku benar-benar lega."

Ellen tersenyum manis, menggenggam erat tangan Eldora.

……

Eldora "khusus" datang untuk mengunjungi Ellen, tentunya tinggal di vila.

Namun, setelah Eldora datang, dia selalu datang pergi tanpa diketahui.

Seringkali menghilang dalam waktu sekejap.

Ellen awalnya agak kaget dan cemas, tetapi lama-kelamaan pun tidak lagi.

……

Mila telah pulang ke Kota Tong selama satu setengah bulan. Setiap kali datang mencari Ellen, dia selalu tampak letih, ratu glamor di layar tersiksa menjadi gadis jomblo dalam kamar rias.

“Ellen, aku benar-benar akan mati disiksa ibuku!”

Mila menarik napas dalam-dalam, bersandar di sandaran sofa, berkata dengan suara serak sambil memijat kening.

Ellen mengedipkan mata, dengan lembut berkata, "Sudah berapa hari kamu tidak istirahat dengan baik?"

"Semenjak pulang, aku belum pernah tidur nyenyak! Dulu aku merasa kecapekan karena kerja, tapi sekarang tidak bekerja malah lebih capek." Mila berkeluh kesah.

Ellen diam sejenak, lalu berkata, "Kak, kamu istirahat di lantai atas saja dulu. Kamu akan kewalahan jika terus-menerus seperti ini?"

“Tidak usah. Sebentar lagi aku harus pergi.”

Mila membuka mata untuk memandang Ellen, "Aku tidak bisa menahan lagi, jadi datang ke tempatmu untuk rileks."

Ellen menunduk, "Aku buatkan kamu teh penyegar."

Mila menatap Ellen untuk beberapa saat, lalu mengulurkan tangan dan menjabat tangannya.

Pada akhirnya, Mila pergi tanpa meminum seteguk teh pun.

Ellen membawanya sampai ke pintu, berdiri di tangga depan villa, kedua mata yang memandang depan tampak kosong.

……

Sekitar pukul 6 sore, Eldora pulang ke villa tepat waktu untuk makan malam bersama Ellen dan yang lainnya. Setelah itu, ia bermain sebentar dengan Nino dan Tino, habis itu keluar lagi.

Meskipun Ellen sudah terbiasa, tapi tetap tidak bisa menahan rasa penasaran dan khawatir.

Eldora selalu pergi sepanjang hari, apa yang dia lakukan?

Pukul 10 lebih, Keyhan, Nino, dan Tino sudah tidur.

Ellen menyiapkan sepiring buah-buahan, kemudian pergi ke ruang belajar.

Ketika Ellen memasuki ruang belajar, William sedang duduk di kursi eksekutif, matanya yang redup menatap laptop dengan serius, cahaya layar laptop yang menyinari wajahnya menambah sifat ketajamannya.

Pandangan William beralih dari laptop ke Ellen, bibir tipis menutup rapat.

Ellen menatapnya, dengan volume kecil, “Apakah aku mengganggumu?”

Mata William menyipit, tangannya yang berkerangka jelas menumpu di meja belajar, kursi eksekutif bergelincir mundur, dua kaki panjang terpisah, menatap Ellen dengan angkuh.

Wajah Ellen memanas, menampan buah-buahan ke arahnya, kemudian meletakkan piring berisi buahan ke atas meja, mendongak wajah kecil untuk menatap pria, “Makan buah dulu baru lanjut kerja.”

William sekilas melirik pahanya, lalu menyipitkan matanya untuk menatap Ellen.

Ellen menggigit bibir, sedikit ragu-ragu, pada akhirnya mengitari meja dan berjalan ke hadapan pria, duduk menyamping di paha pria dan menyandarkan kepalanya dengan lembut pada dada pria yang lebar dan kuat.

William merangkul pinggang Ellen dengan lembut, satu tangannya lagi memegang tangan Ellen, "Setelah masa sibuk ini berlalu, begitu Keyhan, Nino, dan Tino libur, aku akan membawa kalian jalan-jalan."

“Ya.” Ellen mengangguk.

William memeluk erat Ellen, keduanya diam beberapa saat, kemudian William mulai membelai punggung Ellen, mencium dahinya dengan lembut, "Sudah malam, istirahatlah."

Ellen mengangkat kepala dari dadanya, menatap wajahnya yang berkontur bagus, "Bagaimana denganmu? Masih mau begadang sampai larut?"

“Tidak akan terlalu larut.” William mengelus kepala Ellen, berkata.

Ellen mengernyit, tidak tega melihatnya begitu kerja keras.

Tapi dia juga tahu, semua kerjaan yang tertumpuk itu harus diselesaikannya… …

Walau hari ini tidak kerja, besok juga harus kerja.

“Sayang, di mana Asisten Aron?” Ellen merangkul leher pria, berkata padanya, “Aku sudah lama tidak bertemu Asisten Aron, ke mana dia?”

Jika Aron ada di sini, mungkin bisa membantu William berbagi tugas.

Mata William menyipit, “Aron telah bekerja bertahun-tahun di Perusahaan Dilsen, dia telah sibuk bertahun-tahun, mungkin agak capek, dia mengambil cuti beberapa waktu lalu, bertamasya ke luar negeri untuk merilekskan diri."

Dahi Ellen mengerut lebih erat, bergumam, "Asisten Aron benar-benar pintar memilih waktu cuti."

William tersenyum tipis, mencium telinga Ellen, "Pergilah beristirahat."

Ellen memandang William, "Andaikan saja aku bisa membantu kamu. Dengan begitu, kamu tidak harus secapek ini."

William menatapnya dengan mendalam, “Niatmu ini sudah cukup bagiku.”

Ellen melepaskan leher William, telapak tangan putih menangkup wajah pria, menatapnya dengan tidak tega untuk sesaat, kemudian baru menarik kembali tangannya dan bangkit dari kaki pria, meninggalkan ruang belajar dengan enggan.

William memperhatikan Ellen berjalan keluar dari ruang belajar, kehangatan di mata mulai memudar, berubah dingin.

……

Esok hari, ketika Ellen bangun, sampingnya telah kosong.

Dia duduk di ranjang dan melamun sejenak, kemudian turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi untuk mandi, lalu pergi ke ruang ganti untuk berganti pakaian, setelah itu pun meninggalkan kamar tidur.

Ketika menyusuri lorong menuju tangga, dia melihat Hansen sedang duduk di sofa ruang tamu sambil bercanda tawa dengan bocah kecil yang ada di pelukannya.

Ellen terkejut, mempercepat langkah menuju lantai bawah.

Mendengar suara langkah kaki, empat orang di ruang tamu bersama-sama menoleh ke Ellen.

Hati Hansen terasa berat ketika melihat tubuh Hansen yang semakin kurus.

“Kakek, kapan kamu datang.”

Ellen berjalan mendekat, berjongkok di depan Hansen, mengernyit ketika melihat wajah Hansen yang kurusan.

“Baru sampai tidak lama.” Kata Hansen dengan diiringi senyuman.

Ellen merapatkan bibir, meletakkan kedua tangan di lutut Hansen, menatapnya dengan cemas.

Hansen terus tersenyum pada Ellen.

Ellen malah ingin menangis.

……

Setelah sarapan, Suno mengantar ketiga bocah berangkat sekolah.

Ellen membawa Hansen berjalan santai di taman.

"Pemandangan di sini semakin dilihat semakin terasa lebih bagus dari rumah lama. Udara segar. Setelah makan, berjalan dan merasakan tiupan angin di sini, seluruh tubuh terasa jauh lebih segar," kata Hansen perlahan sambil berjalan.

Ellen memandang Hansen dari samping.

Lingkungan di sekitar Coral Pavilion memang sangat bagus, tetapi tetap tidak dapat menyaingi rumah lama.

Pemandangan rumah lama murni alami, sedangkan pemandangan di Coral Pavilion sebagian besar adalah buatan manusia.

Tapi Ellen paham.

Alasan mengapa Hansen berkeluh kesah demikian, hanya karena suasana hatinya telah berubah.

"Kalau kakek suka sini, mending pindah ke sini dan tinggal bersama kami," kata Ellen.

Hansen tidak bicara

Ellen merangkul erat tangan Hansen, menunduk dan diam sejenak, berkata, "Kakek, kamu harus merawat tubuhmu dengan baik."

Hansen mengangguk-angguk, memiringkan kepala untuk melihat Ellen.

Ellen juga mengangkat kepala pada saat ini, menatap Hansen, "Akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang terjadi, pemikiranku terlalu sempit, pandanganku dangkal. Aku tidak begitu perhatian padamu. Aku merasa bersalah padamu."

Hansen menghentikan langkah kaki, menatap Ellen sambil menghela napas panjang.

Novel Terkait

Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Gadis Penghancur Hidupku  Ternyata Jodohku

Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku

Rio Saputra
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu