Hanya Kamu Hidupku - Bab 44 Gadisnya

Ellen yang tidak menyangka akan ditanya balik, “…….”

Senyum di wajah kecil Ellen seketika membatu disana, lalu menatap Sumi dengan pelan, “Paman Sumi, aku itu lagi tanya sama paman, kenapa kamu malah balik bertanya padaku?”

Sumi bukannya tidak melihat ekspresi aneh yang muncul sekilas diwajah Ellen, ia hanya tersenyum tipis, tidak lagi mempersulitnya dan memintanya menjawab.

Dan Ellen juga tidak lagi menanyakan topic ini.

Suasana di dalam mobil kembali ke keadaan tenang yang tadi, hingga mobil tiba didepan Coral Pavilion, tidak ada yang bicara diantara mereka berdua.

“Paman Sumi, terima kasih sudah mengantarkanku pulang.”

Setelah membuka sabuk pengaman, Ellen berkata pada Sumi.

Sumi tersenyum, “Untuk apa sungkan pada Paman Sumi mu ini. Cepat sana masuk.”

Ellen mengangguk, mendorong pintu mobil dan turun, melambaikan tangannya pada Sumi, llau berjalan masuk ke dalam villa.

Ellen baru berjalan sampai depan pintu villa, mendengar suara mobil yang dinyalakan.

Langkah kakunya yang melangkah kedepan pintu terhenti, Ellen menggigit bibirnya, menoleh kearah mobil Sumi yang berjalan menjauh.

Matanya yang jernih perlahan dipenuhi rasa heran.

Entah ini hanya perasaannya saja atau bukan.

Kenapa dia merasa kalau dia seperti tahu sesuatu…….

……

Ellen mengganti sepatunya di teras, lalu membuka jaketnya sambil berjalan kedalam, “Bibi Darmi, aku sudah kembali.”

“Ellen.”

Gerakan Ellen membuka jaket terhenti lalu melihat kearah ruang tamu, seketika ia terkejut, “Kakek buyut?”

Hansen tersenyum, “Akhirnya pulang juga. Cepat kemari.”

Ellen melihat kearah sisi lain sofa, disana ada Louis dan Gerald, membuatnya seketika merasa heran.

Ia berjalan kearah Hansen, duduk disisinya, lalu merangkul lengannya dengan akrab, berkata dengan suara pelan sambil menatapnya, “Kakek buyut, kenapa hari ini bisa datang kemari?”

Oooh… pasti karena kangen padanya.

Kalau begitu…….

Ellen melihat kearah Louis dan Gerald sambil mengetatkan bibirnya.

Tidak mungkin kan mereka kangen padanya juga?

Sikap Gerald pada Ellen, ia selalu berwajah begitu tegas dihadapan Ellen, hanya dengan melihat saja sudah tahu kalau dia orang yang sulit untuk didekati.

Jadi sikap Ellen terhadapan Gerald tidak pernah bisa dekat sejak awal.

Dan Louis karena Vania tidak suka padanya, ditambah karena merasa William lebih sayang pada dia yang hanya anak pungut, sehingga sikapnya pada Ellen ada rasa sentimen yang sulit diucapkan.

Dan rasa sentimen itu karena keluarga kaya raya dan terpandang seperti Keluarga Dilsen ini, setiap gerak gerik mereka pasti akan diperhatikan oleh para media, begitu ada hal yang tidak sesuai, akan langsung menjadi perbincangan.

Kalau sampai ada yang tahu dia sentimen pada Ellen, akan sulit menghindari komentar kalau dirinya tidak berbesar hati, bahkan mungkin sekali akan mendapat label ‘menganiaya’ anak tiri seperti Ellen.

Sehingga sikap Louis pada Ellen, meskipun ia tidak suka, namun didepan orang lain, dia tetap harus berpura-pura.

Merasa Ellen melihat kearahnya, Louis berkata dengan datar, “Beberapa hari lagi adalah hari ulang tahunmu yang ke-18. Sebelumnya William sempat membicarakannya dengan kami, ia ingin mengadakan pesta ulang tahun untukmu. Kali ini kedatangan kami kesini, karena ingin mengetahui nanti acaranya bagaimana, apakah ada yang perlu kami bantu.”

Ternyata begitu.

Ellen mengerti, “Masalah pesta aku tidak tahu. Namun malam ini paman ketiga ada urusan dengan klien, mungkin akan pulang larut.”

Mendengar ucapannya, alis Louis mengkerut semakin erat, bibirnya mengkerut sambil melihat kearah Gerald.

“Kalau begitu, tunggu William pulang, kamu beritahu dia, katakan kalau kami datang mencarinya hari ini.” Gerald berkata.

Ellen mengangguk, lalu melihat Hansen disampingnya, “Kakek buyut, anda dan kakek nenek sudah makan malam belum?”

“Belum.” Hansen berkata.

“Pa, kita makan diluar saja.” Louis bangkit dari sofa dan berkata pada Hansen.

“Nenek….”

Awalnya Ellen tidak ingin menahan mereka untuk makan malam dulu baru pergi.

Namun dia baru membuka mulut, Louis langsung terlihat begitu galak, lalu berpura-pura tidak mendengar panggilannya, dan langsung berjalan keluar menuju pintu keluar villa.

Ucapan Ellen yang ingin menahan mereka malah tertahan di tenggorokannya, ia menutup mulutnya dan tidak bicara lagi.

Ketika Louis berdiri dari sofa Gerald juga ikut bangkit berdiri, melihat Louis yang berjalan keluar, ia memburu Hansen yang tetap duduk di sofa, “Pa, ayo.”

Hansen Dilsen menyipitkan mata, berkata dengan agak kesal, “Kalau mau makan diluar kalian saja yang keluar, aku makan disini.”

Louis yang sudah berjalan sampai depan pintu mendengar ucapan Hansen langsung menghentikan langkahnya, ia menoleh kearah Hansen, berkata dengan tidak berdaya, “Pa, apa yang kamu lakukan?”

“Aku tidak sedang melakukan apapun, hanya tidak ingin sejalan dengan seseorang.” Hansen mendengus.

Orang tertentu…

Bukankah itu sedang menunjuk dirinya dan Gerald!

Louis mengangkat sudut bibirnya, kesal sampai tidak ingin bicara.

Gerald mengangkat sudut matanya sambil berkata, “Pa, didepan anak kecil jangan mengambek seperti anak kecil.”

“Perduli amat aku mau ngambek atau apa, aku adalah ayahmu, atau kamu ayahku? Aku perlu kama ajari!” Hansen memelototi Gerald.

Diomeli Hansen didepan Ellen, Gerald merasa harga dirinya jatuh, ia mengalihkan tatapannya kearah Ellen perlahan, lalu kembali menatap Hansen, memalingkan wajahnya dan pergi.

“Huh!”

Orang sudah dimarahi olehnya sampai pergi masih kurang, Hansen masih mengantar kepergiannya dengan dengusan pula.

Kali ini bahkan Louis juga ikut ditarik pergi oleh Gerald.

Melihat Gerald dan Louis yang pergi dengan wajah kesal, Ellen menghela dalam hati lalu melihat kearah Hansen.

Namun ia malah melihatnya seperti tidak terpengaruh sama sekali, malah terlihat cukup bangga dan senang.

Membuat Ellen ingin tertawa melihatnya.

Dan tiba-tiba ia merasa kasihan pada Gerald juga Louis.

“Tuan besar, nona, makan malam sudah siap, sudah bisa makan.” Darmi berkata, setelah melihat kesekeliling ruang tamu, ia tidak melihat Gerald dan Louis, lalu melihat kearah Ellen dengan bingung, “Dimana Tuan dan Nyonya?”

“… seharusnya sudah pergi.” Ellen melirik Hansen sejenak lalu berkata.

“Sudah jalan ya. Padahal tadi nyonya yang bilang akan makan malam disini.” Darmi bergumam dengan aneh, ia menggeleng, lalu berbalik dan masuk ke dalam dapur.

Setelah Ellen mendengar gumaman Darmi, kalau ingin bilang tidak merasa apapun, itu hal yang tidak mungkin.

Awalnya Louis dan Gerald ingin makan disini.

Namun karena William harus ketemu klien dan pulang malam, sehingga mereka tidak ingin makan dimeja yang sama dengannya, jadi memutuskan untuk pergi tanpa menunggu makan malam dulu.

“Ellen, kakek buyut sudah hidup sampai usia seperti ini, kakek mengerti aturan ini.”

Tangannya tiba-tiba digenggam oleh Hansen.

Mata Ellen berkedip, melihat Hansen sambil berkata dengan pelan, “Aturan apa?”

“Usia manusia pendek hanya beberapa puluh tahun, jangan merasa tidak enak pada diri sendiri. Dengarkan kakek, segala sesuatu pikirkanlah kearah yang simple saja, suka lah pada orang yang suka pada diri sendiri, kalau orang yang tidak suka padamu, kamu juga jangan menyukainya. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, jalani hidup yang kamu mau. Orang yang tahu cara hidup adalah orang yang tidak perduli pada pandangan orang lain, asalkan dirimu senang, itulah yang terpenting.”

Hansen menepuk ringan telapak tangan Ellen, senyumnya terasa begitu hangat.

Membuat Ellen terkejut.

……

Setelah makan malam, Ellen menemani Hansen berjalan-jalan di taman villa sampai jam 9.

Lalu mereka berdua ke ruang tamu untuk menonton TV.

Sudah jam 10 lewat, William tetap belum pulang juga.

Sebenarnya Ellen tahu Hansen tidak mengatakan pulang ke rumah utama setelah makan malam karena ia ingin menunggu William.

Ia ingin bertemu dengannya dulu baru pulang.

Hanya saja dia sudah menunggu begitu lama, namun William tetap belum pulang.

Usia Hansen sudah tua, waktu istirahat orang tua juga jadi lebih cepat, sehingga setelah menunggu sampai jam 10.30, Hansen sudah terlihat tidak kuat menunggu, ia menyuruh supir untuk mengantarkannya pulang ke rumah utama.

Setelah Hansen pergi, Ellen tidak naik keatas untuk kembali ke kamarnya, melainkan duduk bersila di atas sofa, memegang remote TV mengganti channel dari satu channel ke channel lainnya.

Mungkin karena acara malam ini terlalu membosankan.

Mata Ellen berada di layar TV nmaun pikirannya malah tidak berada disana.

Dia sedang memikirkan apa yang Hansen ucapkan padanya.

Dia bilang, dia hanya perlu menyukai orang yang suka padanya, orang yang tidak suka padanya, dai tidak perlu bersusah payah baik pada mereka, karena mereka tetap tidak akan menyukai kebaikannya.

Dia bilang, usia manusia pendek, jadilah diri sendiri, yang penting diri sendiri senang, tidak perlu memperdulikan pandangan orang lain.

Namun, ucapan yang pendek ini terlihat simple.

Namun kalau benar-benar ingin melakukannya, mana mungkin semudah itu.

……

Karena siang terlalu lama membuatnya tidak bisa tidur malam ini.

Untugnya besok akhir pecan sehingga tidak perlu berangkat sekolah.

Kalau tidak, Ellen sungguh tidak tahu harus melakukan apa untuk membuat dirinya tertidur.

Sudah subuh.

William tetap belum pulang juga.

Ellen juga sudah merubah posisinya menjadi posisi meringkuk sambil menonton TV diatas sofa.

Hanya saja dia juga tidak tahu apa penyebabnya.

Dulu dia sangat suka menonton TV, namun sekarang tiba-tiba menjadi tidak suka.

Jadi Ellen terus mengganti channel TVnya.

Namun sejak awal sampai akhir, sama sekali tidak ada yang ia tonton.

Hampir jam 1 subuh.

Tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah luar villa.

Ellen langsung terduduk di sofa, tubuhnya menjadi tegak, menjulurkan kepalanya untuk melihat kearah depan.

Tidak lama kemudian, diluar kembali tenang.

Kurang lebih setelah satu menit keheningan, terdengar suara langkah yang berat semakin mendekat.

Tanpa sadar Ellen menggenggam erat remote ditangannya.

Sudah begini larut, namun kedua matanya tetap begitu segar, menatap pintu masuk dengan matanya yang begitu bening dan cerah.

Sebuah postur tubuh yang tinggi tegap muncul di depan teras villa.

Ellen perlahan menarik nafas, menurunkan kakinya yang panjang, berdiri dari sofa.

Dan seiring dirinya yang berdiri, pria yang sedang berdiri didepan teras pun melihatnya.

Mata yang dingin dan dalam itu agak tercengang, lalu berjalan kearah Ellen setelah selesai menggganti speatunya.

Ellen mengamatinya dengan tenang.

Ekspresi wajah William seperti biasa, langkahnya juga begitu tegap, tidak terlihat seperti orang yang mabuk.

Setelah mendapat kesimpulan ini, diam-diam Ellen menghembuskan nafas perlahan.

Namun hafasnya baru terhembus setengah, bau alkohol yang begitu kuat langsung tercium olehnya.

Alis Ellen langsung mengkerut, melihat pria yang berjalan kehadapannya dengan tegak.

Mata hitam William menunduk lemah, menatap gadis yang hanya setinggi dadanya, itu adalah gadisnya.

Jari yang terasa agak dingin mendarat diatas alis Ellen.

Kedua mata Ellen mengkerut, refleks melangkah mundur.

Dan ketika ujung kakinya baru bergerak, pinggangnya sudah ditarik oleh tenaga yang begitu kuat, membuatnya tidak bisa bergerak, tidak bisa melangkah mundur lagi.

Novel Terkait

Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu