Hanya Kamu Hidupku - Bab 295 Sungguh Sudah Ada

Di dekat Grup Perusahaan Dilsen, sebuah restoran China yang lingkungannya klasik dan elegan.

Di ruang pribadi konsep artistik klasik.

Hansen mengenakan kardigan rajutan warna abu-abu muda, duduk berhadapan dengan William.

William duduk tegak, hidangan sudah di sajikan di atas meja makan selama sepuluh menit, tapi cucu dan kakek yang duduk berhadapan, siapapun tidak menyentuh alat makan.

Suasana yang kaku ini berlangsung selama dua atau tiga menit lagi, Hansen berkata, “Makan.”

William melihat Hansen.

Hansen meliriknya, mengatupkan bibirnya sejenak, lalu mengatakan, “Sejak awal tahun sampai sekarang sudah dua atau tiga bulan, masih sibuk?”

William tidak melanjutkan pembicaraan, masih tetap melihat Hansen.

“......” Kedua mata Hansen berkedip beberapa kali, lebih baik tidak bertele-tele lagi, sambil mengerutkan alis berkata, “Sebentar lagi kamu sudah berumur 34, jika ada pasangan yang cocok, maka langsung menikah saja.”

Pasangan yang cocok?

Hampir tidak terlihat William mengangkat alis kanannya, “Eng.”

Tidak tahu apakah karena Hansen tidak menyangka dia akan menjawabnya, atau terkejut karena suara “eng”nya, membelalakkan mata, “Sungguh sudah ada?”

Kelopak mata William terkulai, “Karena kamu sudah mengatakannya, tentu saja sebagai cucu harus menyetujuinya.”

Hansen, “......”

Sebenarnya ada atau tidak ada?

“Hidangan sudah hampir dingin.” William mengangkat mata melihat Hansen.

“......” Dalam hati Hansen ada beban pikiran, akan aneh kalau dia bisa makan!

Jika diganti empat tahun yang lalu, dari awal sudah mulai berteriak!

Tapi sekarang sudah berbeda, siapa yang menyuruhnya ada kesalahan!

Teriakan ini, juga diteriakkan dengan rendah diri!

Hansen menarik sudut matanya, melirik ke William, ekspresi sangat tertekan, juga ada sedikit rasa tersiksa.

William mengambil cangkir teh di samping tangannya dan diletakkan ke bibir mencicipinya.

“......kamu juga sudah tidak muda lagi, masalah pernikahanmu, harus diperhatikan.” Hansen berkata.

“Eng.”

Hasen Dilsen menatapnya, “Jika sungguh bertemu gadis yang baik, bawa untuk kakek lihat. Kamu tenang saja, bagaimanapun kakek tidak akan mempersulit gadis itu.”

“Baik.”

“......” Hansen melihat William, tidak bisa berkata apa-apa.

Juga tidak bisa langsung mengatakan kemarin sore dia melihatnya bersama seorang wanita pergi meninggalkan Perusahaan Dilsen, lebih tidak boleh mengatakan, paras wanita itu sangat mirip dengan Ellen.

“Ellen” kata-kata ini, tidak peduli itu sebuah gabungan kalimat, atau kata yang dipisahkan, bagi William dan Hansen, adalah sebuah larangan! Tidak berani menyebutkannya dengan mudah.

Makan bersama, makan dengan tenang dan membosankan.

Sebenarnya dua orang tidak terlalu memakannya!

Meninggalkan restoran, William secara pribadi mengantar Hansen masuk ke mobil.

Hansen duduk ke dalam mobil, melihat William akan mengulurkan tangan menutup pintu mobil, bergegas menggunakan lengan menahan pintu mobil.

William seketika berhenti, sambil melihatnya.

Mimik wajah Hansen agak malu, mengangkat mata melihatnya, bibir bergerak beberapa kali, baru mengeluarkan suara, “Aku, tidak berharap kamu bisa memaafkanku si tua ini. Tapi aku, sampai akhirnya tetap mengharapkan kamu bisa baik.”

Mata hitam William yang tenang bergetar sejenak.

“Beberapa tahun ini kamu melewatinya dengan tidak baik. Aku selalu berharap suatu hari bisa muncul seseorang, yang bisa membuat hari-harimu dilewati dengan lebih santai.....”

Sudut mata Hansen sedikit terangkat, terdiam sejenak, lalu menarik kembali lengannya, dan duduk ke dalam mobil, menundukkan kepala, tidak mengatakan apa-apa lagi.

William menatapnya dalam-dalam, diam tanpa bersuara menutup pintu mobil.

Dalam beberapa detik, di hadapannya mobil langsung, berkendara keluar.

William mengulurkan satu tangan dan diletakkan dalam saku celana, tangan satunya lagi memegang erat mantel yang ada di tangan, menatap mobil yang berkendara menghilang dari pandangan, lalu menyipitkan mata hitamnya, berbalik dan berjalan ke arah Grup Perusahaan Dilsen.

......

Di mobil.

Sobri sangat tidak tega dari kaca spion melihat orang tua yang duduk di kursi belakang, terus menundukkan kepala dan merasa depresi, berkata dengan suara pelan, “Tuan besar, selanjutnya kita mau pergi kemana? Apakah pulang?

Sobri selesai bertanya, Hansen lama sekali tidak bersuara.

“......tuan besar, ada beberapa kata yang sudah Sobri tahan lama sekali, jika hari ini tidak mengatakannya tidak akan merasa senang.” Sobri mengerutkan alis, memutuskan untuk menghentikan mobil di bahu jalan, dari kaca spion terus menatap Hansen.

Hansen mengangkat mata yang merah dan kering melihat Sobri, “Ada apa katakan saja.”

“Kamu dan tuan muda ketiga adalah cucu dan kakek kandung, ada masalah apa yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka? Kamu dan tuan muda ketiga mengira siapapun dari kalian tidak mengatakannya, apa masalah sudah tidak ada lagi? Apakah beban di hati masing-masing akan memudar seiring berjalannya waktu? Tidak bisa tuan besar.”

Sobri berbicara sampai di sini, lalu tidak tahan untuk menghela nafas, dengan suara rendah berkata, “Apalagi masalah ini memang tidak ada hubungannya denganmu, nona keempat yang......”

“ Sobri !” Suara Hansen langsung meninggi, menghentikan perkataan Sobri dengan serius.

Sobri yang selalu mematuhi perintah kali ini malah tidak berhenti karena ini, sepasang mata terlihat marah sambil menatap Hansen lanjut mengatakan, “Tuan besar, berapa lama lagi kamu akan membantu nona keempat menyembunyikannya? Membantu memikul kesalahan demi dirinya? Jika mengatakan sesuatu yang tidak sopan. Tuan besar sekarang kamu sudah cukup berumur, kamu masih punya berapa banyak waktu lagi? Apakah kamu berencana menghabiskan sisa hidupmu dengan menyalahkan diri sediri setiap hari dan merasa menyesal terhadap tuan muda ketiga? Kamu rindu dengan tuan muda ketiga hanya bisa diam-diam datang melihatnya, bahkan tidak berani mengatakan di depan tuan muda ketiga bahwa kamu merindukannya, ingin bertemu dengannya! Dan setiap kali saat kamu menghadapi tuan muda ketiga, juga sangat berhati-hati. Kediaman tua itu memang ada putramu dan cucu perempuanmu, tapi siapa dari mereka yang pernah mengurusmu, peduli denganmu? Apa perbedaannya ada mereka dengan tidak ada mereka? Kesepianmu, kesedihan dan siksaanmu, siapa yang tahu? Aku sungguh tidak sanggup melihatnya lagi......”

“Kamu terlalu banyak bicara!” Hansen mengerutkan kening dan menyela pembicaraan Sobri, membelalakkan mata menatapnya, “Kelak jika aku mendengar kata-kata ini lagi, maka kemasi barang-barangmu dan pergi saja!”

Sobri, “......”

Hansen marah, lalu menatap Sobri sejenak lagi, “Sudahlah, menunjukkan wajah yang penuh ketidakadilan buat siapa? Jalankan mobil!”

“.....pergi kemana?” Sobri bertanya dengan nada diserang hingga merasa sedih.

Hansen mengatupkan bibir, “Pergi ke alun-alun taman.”

“Oh.”

Sobri mengendarai mobil ke arah alun-alun taman.

Kedua tangan Hansen memegang tongkat, setelah beberapa saat, baru mengangkat mata yang agak merah melihat Sobri, dengan suara rendah berkata, “Karena aku sudah tua, hanya bisa hidup beberapa tahun lagi, jadi baru berani memikul kesalahan yang bukan aku lakukan! Vania berbeda, dia baru berumur 24. Keadaan saat itu, jika William tahu Vania yang......aku tidak bersedia melihat pemandangan saudara kandung saling menyerang. Jadi Sobri, kelak jangan mengungkit masalah ini lagi.”

Sobri dari kaca spion melihat mata Hansen yang memerah, seketika tenggorokan menjadi kaku.

......

Alun-alun taman.

Sobri mengantar Hansen sampai di alun-alun taman, Hansen berpesan agar dia jam lima menjemputnya, Sobri lalu mengendarai mobil meninggalkan alun-alun taman.

Masih belum banyak orang di alun-alun taman pada jam satu atau dua siang. Hansen duduk di kursi panjang salah satu sisi alun-alun taman, melihat ke arah kiri dan kanan, kemudian langsung menundukkan pandangan, mulai menjadi tenang dan hening.

Hansen duduk dengan sedih dan kecewa, suasana hati semakin rumit dan berat.

Memikirkan wanita yang memiliki paras wajah mirip Ellen di tempat parkir bawah tanah Grup Perusahaan Dilsen kemarin sore.

Teringat hari-hari yang dilewati bersama Ellen empat tahun yang lalu.

Kecuali pernah marah padanya, saat mendengar dia mengatakan bersedia bersama William Disen, dan menyukai William.

Dalam ingatan, setiap waktu yang mereka habiskan bersama, semuanya penuh kehangatan dan keharmonisan.

Ellen yang pengertian, patuh, dan tampang centil saat menggandeng lengannya untuk bermanja, setiap kali melihat dia berlari ke sana untuk memeluknya, dan dia berpura-pura memarahinya tidak ada sopan santun, gambaran saat dia tetap menempel untuk memeluknya.....bagai gambaran yang dari awal sudah direkam dalam benak, bolak-balik terus disiarkan dalam benaknya.

Hansen semalaman tidak tidur, banyak sekali yang dipikirkan.

Jika pada akhirnya William benar-benar mencari seorang wanita yang mirip Ellen untuk dijadikan istri, dia harus bagaimana?

Jawabannya adalah, terima!

Karena bukan hanya William saja yang perlu mendapatkan harapan dan dihibur, dia juga membutuhkannya.

Jika karena wanita ini, bisa membuat William keluar dari bayangan gelapnya, walaupun menggunakan cara membohongi diri sendiri, maka dia, punya alasan apa menentangnya?

Tidak tahu duduk berapa lama seperti ini.

Sebuah cahaya kuning mendadak muncul di hadapan Hansen.

Kelopak mata Hansen berkedut, mengangkat kepala.

Melihat seorang wanita yang memakai penutup kepala bunga matahari, dan memakai mantel bulu panjang berwarna putih merah muda berdiri di hadapannya.

Dan di tangannya, juga memegang sebuah balon berbentuk bunga matahari.

Hansen tertegun, kebingungan melihat wanita itu.

Pada saat ini wanita itu membungkuk, dengan lembut memegang tangannya yang sudah tua dan keriput, tali balon yang terikat di tangan diletakkan ke tangannya, lalu menggenggam tangannya, menyuruhnya pegang tali itu erat-erat.

Hansen, “.....”

Wanita itu memegang tangannya dalam waktu yang agak lama, dan kemudian perlahan berjongkok di depannya, mengangkat tangan satunya lagi, lalu membukanya.

Jari-jari yang ramping diletakkan ke telapak tangannya, bagaikan bulu yang meluncur lembut.

Sepasang mata Hansen terasa panas dan memerah, menatap wajahnya yang tertutup penutup kepala bunga matahari.

Ketika jari-jarinya berhenti meluncur di telapak tangannya, Hansen menggerakkan bibirnya, berkata dengan suara serak, “Apa yang kamu tulis?”

Sebenarnya Hansen tahu apa yang ditulisnya.

Sangat sederhana, tetapi kebetulan sangat berharga, kata yang tulus--”Senang”.

Wanita itu tidak berbicara, mengulurkan tangan satu lagi, menggenggam jari-jari Hansen, erat-erat menggenggam dalam telapak tangannya, sama seperti, menggenggam rasa “Senang” yang bisa didapatkan banyak orang dengan mudah.

“Gadis kecil, apa kita saling kenal?” Hansen terharu dan menatapnya.

Wanita itu tidak menggangguk juga tidak menggeleng, mengangkat balon bunga matahari itu menghadap Hansen, mengulurkan kedua tangan dan diletakkan di dua sisi sudut mulut lalu bergeser ke atas.

Hansen secara tidak sadar mengikuti dia menekuk kedua sudut mulutnya, “Terima kasih.”

Wanita baru pelan-pelan menggeleng, tidak mengatakan apapun, berdiri, dan duduk di sebelah Hansen.

Di dalam mata Hansen muncul kabut tipis, melihat penutup kepala bunga matahari wanita itu, lalu melihat balon bunga matahari yang ada ditangannya, kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Setelah itu, Hansen berbicara banyak dengan wanita itu, rasanya seperti akhirnya bisa menemukan seseorang yang bisa diajak bicara.

Wanita itu dari awal sampai akhir tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Anehnya lagi, Hansen tidak berkecil hati, juga tidak karena masalah ini mengurangi sedikitpun antusias bersantai dengannya.

Karena wanita itu memakai penutup bunga matahari yang menarik di wajah, dan di tangan Hansen memegang balon bunga matahari yang tidak sesuai dengan penampilan dan usianya.

Dua orang duduk di kursi panjang, penuh daya tarik yang kuat.

Tapi mereka berdua sama sekali tidak peduli.

Meskipun wanita tidak berbicara, tapi dalam semua proses dia sangat sabar, terkadang akan memegang tangan Hansen menulis dengan tangan untuk menyatakannya.

Pokoknya, pembicaraan sepihak ini, hingga berakhir sangat menyenangkan.

Hingga sampai jam 16.30, wanita itu mendadak mengulurkan tangan meraih tangan Hansen, dalam telapak tangannya menulis: aku sudah mau pergi. Lain kali bertemu lagi.

Suasana hati Hansen yang senang menjadi kecewa, rasa kecewa yang kuat muncul dalam hatinya, “Nak, apakah kita masih akan bertemu lagi?”

Wanita terdiam, menundukkan kepala, saat mau menulis di telapak tangannya.

Suara lembut wanita tiba-tiba terdengar dari depan, “Kakek Dilsen.”

Ujung jari wanita terdiam, mengangkat mata melihat ke sana.

Tapi ketika melihat wanita di depan yang berjalan ke sini, ujung alis yang berada di bawah penutup kepala bunga matahari, sedikit mulai mengerut.

Novel Terkait

Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
3 tahun yang lalu
Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
3 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
3 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu
Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu
Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
3 tahun yang lalu