Hanya Kamu Hidupku - Bab 416 Hanya Merindukanmu, Ingin Datang Melihatmu

Kelopak mata Riki yang ditutup sampai hampir tidak terlihat, beberapa saat, dia berkata, "Pertama kali aku melamarnya, sekitar tiga bulan yang lalu."

Tiga bulan yang lalu?

"Jadi tiga bulan yang lalu kalian sudah mulai membahas masalah pernikahan?" Ellen kehilangan akal.

Sudah tiga bulan.

Bukan tiga hari, juga bukan tiga puluh hari ….

Dan setiap satu dua hari dia akan melakukan panggilan video bersama Pani Wilman

Tetapi begitu lama, dia bahkan tidak mengatakan satu kata pun tentang masalah pernikahannya!

"Jangan salah paham." Riki memandang Ellen, "Aku memang melamarnya tiga bulan yang lalu, tapi dia sama sekali tidak menjawab ingin menikah denganku."

Mata Ellen berkedip, menatap wajah Riki yang cerah.

Riki tersenyum, "Dalam tiga bulan ini aku telah melamar Pani dengan serius tidak kurang dari tiga puluh kali, ditambah dengan godaan yang tidak serius, juga ada ratusan kali. Dan Pani benar-benar menyetujui untuk menikah denganku, baru beberapa hari yang lalu. Jadi tadi saya katakan, dia mungkin tidak tahu bagaimana caranya untuk memberi tahumu tentang hal ini, dan tidak bermaksud untuk menyembunyikan darimu. Lagi pula di dalam hati Pani, teman wanita sepertimu ini jauh lebih penting daripada diriku."

Perkataan Riki ini, tidak hanya ada sedikit kepahitan, juga ada sedikit ketidakberdayaan.

Meskipun Riki berkata begitu, tetapi dalam hati Ellen masih terasa sangat berat.

Melirik sekilas waktu yang ada di sudut kanan bawah komputer, Ellen mengerutkan bibirnya dan berkata, "Mengapa hari ini Pani begitu cepat tertidur? Ini masih belum jam sembilan."

Bulu mata Riki terkulai, menyandarkan kepala dan melihat Pani yang berbaring di atas tempat tidur.

Ellen berpikir dia hanya melihat sekilas saja, tidak ingin dia meliriknya dengan kedua mata, lirikannya itu membutuhkan waktu yang lama baru akan ditarik.

Wajah Ellen yang mengedut beberapa kali, menarik nafas dengan lembut dan berkata, " Tuan Wijaya , bisakah aku bertanya padamu satu hal?"

"Terserah." Riki langsung mengangkat satu lengan dan menahan di kepalanya, meskipun sedang menjawab pertanyaan Ellen, tetapi kedua bola matanya terus fokus menatap ke arah Pani.

Ellen hanya bisa melihat sisi wajahnya yang tampan, dan lengkungan sudut bibirnya yang terangkat.

Dari panggilan video, Ellen tidak bisa melihat Pani.

Melihat Riki terus menatap Pani, Ellen pun ikut menatap ke arah itu, menghela nafas di dalam hatinya, berkata, "Kamu sudah berapa lama bersama Pani?"

Setelah Ellen bertanya, sekitar beberapa waktu kemudian baru mendengar suara Riki , "Aku sudah mengenal Pani selama empat tahun, dan tinggal bersamanya di bawah atap yang sama hampir satu tahun."

Ellen menatapnya.

"Menurutku, aku berkencan dengan Pani sejak aku bertemu dengannya." Riki tertawa kecil.

"…."

Bisakah dia mengerti sebagai, mereka langsung melewati proses pacaran, dan langsung menikah ….

"Kamu adalah sahabat terbaik Pani, juga termasuk sahabatku. Aku sangat senang bisa berkenalan denganmu, dan kuharap aku akan memberikan kesan yang baik padamu hari ini." Riki menoleh, dan tersenyum memandang Ellen.

Berkomentar dengan tenang.

Orang seperti Riki ini, benar-benar sangat sulit untuk dibenci.

Mengobrol bersamanya, selain khawatir kadang-kadang tanpa sengaja dibuatnya berdebar, kebanyakan lebih terasa nyaman.

Tidak seperti beberapa dari ketiga pamannya, tanpa sadar mereka selalu membuat orang untuk berjaga jarak.

Ellen pun melirik ke arah Pani lagi, diam-diam menghembuskan nafas, memandang Riki dan berkata, " Tuan Wijaya , aku pikir kamu pasti banyak membantu Pani dalam empat tahun terakhir ini, terima kasih."

Terdiam sejenak, Ellen dengan terpaksa tersenyum padanya, "Besok setelah Pani bangun, mohon untuk memberi tahunya, aku ada mencarinya, dan jika ada waktu, telepon aku kembali. Kalau begitu, aku tidak menganggu Tuan Wijaya . Sampai jumpa."

"Menjaga Pani adalah keinginanku sendiri, jadi …." Riki mengangkat bahunya.

"…." Ellen terkejut, dan segera menunjukkan senyum tak berdaya.

Riki menghadap lensa lalu dengan santai melambai pada Ellen, dan diikuti layar panggilan video yang berkedip dan keluar.

Ellen menatap layar percakapan di WeChat, hatinya seperti disumbat rapat oleh sesuatu, terasa pengap dan berat.

Malam ini, William kembali ke kamar tidur utama, Ellen masih duduk di samping tempat tidur sama seperti ketika dia datang tadi malam.

Selain kekhawatiran yang terlukis di wajahnya, ditambah dengan selapis kesedihan dan depresi.

William berjalan mendekat, duduk di tepi tempat tidur, menatap Ellen selama beberapa detik, dengan cara memeluk Ellen dengan lengannya dan mendudukkan Ellen di pangkuannya.

Ellen menatapnya, lalu menyandarkan kepala ke tubuhnya, dan mendesah tanpa sadar.

"Marah padaku, marah sampai tidak bisa tidur?" kata William yang menatapnya dengan tatapan sinar mata yang lembut.

Ellen mengangguk dan kemudian tidak bisa menahan tawa.

Jari William yang menunjuk dagu Ellen, tatapan yang dalam tertuju kepadanya, "Aku minta maaf, bisakah?"

Ellen juga menatapnya.

"Aku berjanji kelak tanpa persetujuanmu, aku tidak akan memberi tahu orang lain mengenai hal yang hanya kamu katakan padaku saja, termasuk Sumi Nulu dan yang lain." Kata William dengan lembut.

Ellen mengangkat alisnya, "Kamu tidak takut Paman Nulu mereka akan menganggapmu lebih mementingkan pacar daripada teman?"

"Pacar?" William meremas dagu Ellen, "Apakah yang kamu katakan itu dirimu?"

Ellen menatapnya dan tersenyum, meskipun senyuman itu sangat tulus, tidak sulit untuk melihat keberanian.

Bola mata William yang hitam menyipit, "Paman Nulu mu dan yang lain akan mengerti."

Ellen menyembunyikan bulu matanya yang lebat, "Paman Nulu pergi ke 俞市, apakah ada kabar kalau mereka kembali?"

William menunduk dan melihatnya, "Tidak. Kenapa?"

Ellen mengambil tangan yang ada di dagunya, membungkus dengan kedua tangan, dan menggelengkan kepala.

William terus menatapnya, "Ada apa?"

Ellen menutup mata, "Tidak apa-apa."

William memandangnya sebentar, lalu memeluknya, meletakkannya dengan hati-hati di tempat tidur, dan menutupinya dengan selimut tipis.

Mencondongkan tubuh dan bersandar di sisi lehernya, dan menatapnya lagi selama beberapa menit, berkata, "Aku pergi mandi. Tidurlah."

Ellen menutup mata, memiringkan kepalanya ke sisi bantal, "Ya."

Mata William semakin mendalam, menundukkan kepala dan mencium lehernya beberapa kali, bangkit dan pergi ke kamar mandi.

"Ugh …."

Saat pintu kamar mandi ditutup.

Suara desahan pun keluar dari sudut mulut Ellen.

Pani akan menikah dengan Riki , bagaimana dengan Paman Nulu?

Sebelumnya Ellen hanya mengkhawatirkan Pani Wilman.

Tapi sekarang, entah kenapa dia merasa Sumi Nulu lebih memprihatinkan.

Ugh.

Ellen tak bisa menahan lalu menghela nafas lagi.

Ketika bangun keesokan paginya, Ellen terus menunggu telepon dari Pani.

Tetapi menunggu sampai siang, Pani sama sekali tidak meneleponnya.

Ellen takut menganggunya bekerja, dan menahan diri untuk tidak meneleponnya.

Berencana di waktu istirahat pada siang hari, jika Pani masih belum meneleponnya, dia tidak akan menunggu lagi, langsung meneleponnya saja.

Kemudian, pada siang hari, Ellen belum sempat menelepon Pani.

Panggilan dari Vima malah berdering dahulu.

Ellen tidak sengaja menghindarinya.

Karena menurutnya, semakin dia sengaja menghindar, semakin membuktikan dia masih berharap terhadap Vima.

Dan kenyataannya.

Hatinya telah menyerah pada Vima sejak empat tahun yang lalu!

Setelah Ellen menjawab, sebaliknya Vima malah tidak berbicara dalam waktu yang lama, mungkin tidak menyangka Ellen bisa mengangkat teleponnya begitu cepat.

"… Ellen."

Cukup lama.

Suara gelisah Vima masuk ke telinga Ellen melalui mikrofon ponsel.

Ellen duduk di atas sofa, melihat Darmi keluar masuk ruang makan sambil membawa sayur, tidak berbicara.

"Ellen, Ibu sekarang berada di luar Vila Coral Pavilion." Suara Vima sangat pelan.

Ellen mengerutkan kening, menoleh dan melirik ke arah pintu vila.

"Aku mengatakan kepada satpam bahwa aku adalah Ibumu, tetapi mereka tidak percaya, tidak membiarkanku masuk. Kamu, bisakah kamu berbicara dengan mereka?" nada suara Vima, bisa dikatakan sangat pelan.

Ellen menarik pandangannya, "Ada perlu apa?"

"Tidak ada. Hanya merindukanmu, ingin datang melihatmu." kata Vima.

"Aku baik-baik saja. Tidak ada yang bisa dilihat." kata Ellen dengan tenang.

"Ellen, jangan begitu. Kamu biarkan mereka membuka pintu dahulu, biarkan Ibu masuk, Ibu berbicara langsung denganmu ya?"

" Nyonya Rinoa , jika ada hal yang ingin kamu katakan, silahkan katakan di telepon."

Ketika Ellen mengatakan ini, William membuka pintu ruang membaca, dan keluar dari dalam.

Mendengar " Nyonya Rinoa " dua kata ini.

William berhenti sebentar di depan pintu ruang membaca, dan kemudian berjalan ke pagar tangga, berdiri diam, melihat ke Ellen.

Ellen mendengar suara di lantai atas, mengangkat kepala dan melihat seorang pria tinggi yang berdiri di lantai dua, dengan pelan menggigit bibirnya.

"Ibu hanya ingin bertemu denganmu. Ellen, anggap saja Ibu memohon denganmu ya? biarkan Ibu masuk, ya?" Vima memohon.

Ellen mengerutkan kening dalam-dalam.

"Ellen, Ibu harus bertemu denganmu hari ini, kalau tidak Ibu tidak akan pergi!" tiba-tiba Vima berkata dengan nada teguh.

"Kamu mengancamku?" suara Ellen sedikit dingin.

"… Aku hanya ingin bertemu dengan putriku saja, aku hanya ingin bertemu denganmu Ellen." kata Vima dengan suara serak.

Wajah Ellen yang putih samar-samar ditutupi dengan amarah, " Nyonya Rinoa ...."

"Nyonya, mohon maaf atas perbuatanku yang tadi, sekarang, Anda bisa masuk."

Begitu suara Ellen keluar, lalu dia mendengar suara satpam yang terdengar dari dalam ponsel.

Ellen tertegun, mengerutkan alisnya dan menatap ke lantai dua.

William menurunkan ponsel dari telinganya, memasukkannya ke saku celana, dan berjalan dengan pelan menuju tangga.

Nada sibuk terdengar dari dalam ponsel, mengingatkan Ellen, jika Vima telah menutup telepon.

Ellen menggigit bibir dan menurunkan ponselnya, menggenggamnya di telapak tangan, dengan wajah tegang menatap William.

William turun ke bawah, tidak berkata apa-apa dengan Ellen, dan memerintahkan Darmi untuk membuat teh.

Sinar cahaya mata Ellen sedikit berubah, ekspresi wajahnya semakin buruk.

William berdiri di bagian arah masuk daerah sofa, dengan tatapan mendalam menatap Ellen, dan berkata dengan lembut, "Kalau memang benar-benar tidak ingin bertemu, naiklah ke atas dan bersembunyi."

"Ini rumahku, mengapa aku harus bersembunyi?"

Ellen menatap William, tidak bisa menyembunyikan kemarahan di suara kecilnya itu.

William diam-diam mengerucutkan bibirnya.

Ellen memelototi William dengan sekuat tenaga, lalu menundukkan kepala, dan tidak menatapnya dengan marah.

Tidak lama kemudian.

Terdengar suara mobil melaju dari luar vila.

William menyipitkan matanya, mengalihkan pandangan dari Ellen ke arah pintu vila.

Bulu mata Ellen yang terkulai melirik pelan, dan dengan perlahan mengangkat kelopak matanya, melihat ke arah pintu.

Pada saat ini.

Darmi berlari keluar dari dapur dengan terburu-buru, dan pergi menyambut ke luar vila.

Melihat Darmi telah berjalan keluar vila, William menatap Ellen kembali, melangkah ke depan teras.

Ellen melihatnya, bergumam beberapa kata dengan suara kecil.

Terhadap apa yang digumamkannya, tidak ada orang yang tahu, selain dirinya sendiri.

Segera.

Vima dan Darmi berjalan masuk ke dalam vila.

Vima melihat William yang berdiri di depan teras, wajahnya menegang, dan kedua kakinya sedikit tertahan di teras.

Novel Terkait

Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
4 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
4 tahun yang lalu
Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Jasmine
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu