Hanya Kamu Hidupku - Bab 220 Permata

Ellen tiba-tiba merasakan rasa hangat dan kekuatan, rasa itu membuat nafasnya menjadi tenang.

Mata hitam dan besar yang bagaikan krystal itu bergetar, dia menggunakan sekuat tenaga untuk menarik keluar tangannya dari genggaman tangan dia.

Hanya saja dia merasakan dengan jelas kalau dia tidak begitu menggunakan tenaga, karena dia tidak merasakan tangannya sakit, namun tidak peduli seberapa keras usaha Ellen dia masih tidak bisa melepaskan tangannya dari genggaman tangan dia.

Ellen hanya bisa menggigit bibirnya, karena dia keberatan dengan keberadaan orang itu, dia harus tahan.

Tiga orang berjalan bersamaan ke loket, dan melihat Samir masih berada di tengah kerumunan, sangat hebat, dalam waktu singkat wartawan dari berbagai media sudah tiba.

William tidak biasa tampil di depan media, tapi karena masalah ini, kebanyakan orang sudah tau tentang dia, jadi jelas tidak nyaman untuknya pergi membeli tiket.

Dia sedikit menghimpitkan matanya, William melihat Ellen yang wajahnya penuh dengan ketidak senangan, dia dengan cepat mengedipkan mata dan menunjukkan pandangan lembut, William pelan-pelan melonggarkan tangannya, kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celana, dan menekan sebuah nomor.

Ellen tidak begitu memperhatikan lagi, dia tidak mendengar dengan seksama apa yang William katakan, kurang lebih mengatakan sesuatu tentang mengantarkan tiket.

Setelah selesai menelepon, William memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, dan menggenggam tangan Ellen lagi.

Ellen sedikit bergetar, dia menggigit bibir bawahnya, dia dengan pandangan kesal menatap William.

William menghimpitkan kedua matanya lagi, pandangannya sangat dingin, dan seperti pisau yang sangat tajam.

Ellen terkejut, dia hanya bisa menundukkan kepalanya.

Melihat ini, William menaikkan alisnya, kemudian dia menyolek telapak tangan Ellen dengan jarinya.

Sedikit geli, sedikit kebas.....

Ellen membuka sedikit mulutnya untuk menghela nafas, hatinya seperti digumpal oleh sesuatu, dia melirik ke arah tangannya yang digenggam oleh tangan besar William.

Setelah kurang lebih sepuluh menit saat William selesai menelepon, seorang pria yang mengenakan pakaian kerja keluar dari dalam museum dengan tergesa-gesa, dia melihat ke kiri dan kanan, baru melihat William yang berdiri jauh dari kerumunan orang-orang.

Pria itu ragu sesaat, kemudian dia berlari ke arah ini.

"Permisi, apakah kamu adalah tuan Dilsen?" Pria ini dengan sopan melihat William, dan bertanya.

"Hm."

William menganggukkan kepalanya.

"Selamat siang, tuan Dilsen, tolong ikut aku." Kata pria itu sambil membungkukkan badannya dan sebelah tangannya berada di bagian perut.

William menutup rapat mulutnya, dia menggenggam tangan Ellen, kemudian melepaskannya, dia menurunkan Tino yang berada di atas bahunya, dan menggendongnya dengan erat, lalu dia menjulurkan tangannya lagi untuk menggenggam tangan Ellen, namun malah tidak terggenggam.

William mengerutkan alisnya, dia dengan tatapan dingin menatap Ellen.

Ellen mengelus alisnya, dia berjalan mendekati tangannya yang satu lagi dan meletakkannya di punggungnya, dia berpura-pura tidak merasakan tatapan tajam Wiliam yang tertuju padanya.

Mata William terlihat sangat serius, namun dia tidak perhitungan pada Ellen, dia menggendong Tino , dan mengikuti karyawan tersebut berjalan menjauhi kerumunan orang-orang, mereka masuk lewat pintu sebelah.

Ellen terdiam untuk beberapa detik, namun karena Tino berada di tangannya, dia hanya patuh dan ikut masuk.

......

Tujuan utama mereka datang ke museum adalah untuk menemani Tino , jadi mereka tidak pergi ke ruang pameran lainnya, mereka langsung pergi ke ruang pameran anak.

Mereka berada di dalam ruang pameran anak sudah hampir dua jam, William dan Ellen juga membawa Tino ke laboratrium museum, mengunjungi pameran multi fungsi dan dan daerah pameran lainnya, saat menjelang siang, khawatir "dua" anak ini kelaparan, William membawa Ellen dan Tino keluar dari museum, bersiap-siap membawa kedua orang ini pergi makan.

Saat mereka keluar dari museum, orang-orang yang mengerumuni Samir akhirnya menghilang.

Suara berisik yang ada di depan museum juga berubah menjadi sunyi senyap.

Ellen melihat Tino dan melihat William yang menggendongnya, matanya sedikit bergetar, dia mengatakan pada Tino , "sayang, kita sudah harus pulang."

Tino sangat patuh, dia melihat ke arah William, matanya menunjukkan kalau dia sedikit tidak rela untuk berpisah, "Paman, aku mau pulang dengan Mama. Turunkan aku."

Tatapan mata William berubah, dia dengan lembut melihat Tino , "Sekarang masih siang, lebih baik kita makan bersama?"

Mata Tino dan William saling bertemu, seperti ada suara berderak yang muncul karena kobaran api kecil, dia sedikit memutar bola matanya, Tino menolehkan kepalanya ke arah Ellen, dia dengan jelas mengatakan, "Ma, paman sudah menolongku siang ini, bolehkah kita menraktirnya makan?"

Ellen, "....." dia ingin berkata dengan keras, bahwa itu sudah seharusnya! Tidak perlu menraktirnya makan sebagai rasa terima kasih!

Ellen menarik nafas, dan melihat ke arah Tino , "sayang, sebenarnya banyak cara untuk mengungkapkan rasa terima kasih, tidak harus dengan cara makan. Kamu dan paman...."

Baik, "Paman" satu kata ini, dia merasa aneh setiap kali mengatakannya!

Lagipula dia sudah terbiasa memanggilnya "Paman ketiga"!

Sekarang putranya juga memanggilnya "Paman", bagaimana pun kedengarannya tidak benar!

Bibir Ellen berhenti berbicara, beberapa detik kemudian, dia melanjutkan, "Kamu dengan tulus mengucapkan terima kasih pada paman juga sudah cukup."

"Tapi paman sudah lapar." Kata Tino .

"....Paman tidak mengatakan dia lapar....."

"Hm, sekarang aku sangat lapar."

Ellen, "....."

Tino mengedipkan mata besarnya, dia memberikan tatapan yang mempunyai makna kepada William, dia berkata pada Ellen, "Mama, sekarang paman sudah bilang, dia lapar. Kita traktir paman dulu, setelah itu kita baru pulang?"

Takut Ellen terus menolak, dia menambahkan, "Mama, kamu sering bilang pada kami, harus mengerti rasa berterima kasih. Paman sudah menolongku, dengan kita menraktirnya makan, itu adalah sebuah rasa terima kasih. Lagian, tadi paman juga membawa kita kelililng museum."

Ellen sudah mengerti.

Jika dia masih menolak untuk menraktir makan, itu sama saja menampar mulut sendiri, orang yang tidak melakukan apa yang dia ucapkan.

Sebagai orang tua, jika tidak bisa menjadi contoh yang baik di depan anak-anaknya, seberapa besar prinsip yang diajarkan nantinya, anak-anak kita juga tidak akan percaya lagi.

Ellen mengerutkan alisnya, melihat ke arah William yang menatapnya dengan tatapan "Jangan membuat masalah", dan melihat ke arah Tino yang wajahnya penuh dengan harapan, dia menghela nafas, "Baiklah."

Ye~~

Tino bersorak gembira dalam hati, dia menatap William kedua matanya yang bersinar, sulit untuk menyembunyikan kegembiraannya.

William menatap wajah Tino yang berubah menjadi pink karena rasa bahagianya, lubuk hatinya terasa sangat nyaman, dia menaikkan ujung bibirnya, senyumannya itu terlihat dengan sangat jelas.

......

Di sebuah restoran kelas atas di kota Rong, ruangan pribadi.

Ellen pergi mengambil makanan yang disukai oleh Tino , dia melihat William yang berdiri di depan jendela, jas hitam yang dia kenakan sudah dilepas olehnya, dan menggantungnya di belakang sandaran kursi, dia sedang membuka kancing lengannya.

Matanya bertemu bertemu dengan mata William yang serius, Ellen dengan cepat pergi dari sana, dan duudk di samping Tino .

William terus menatap Ellen, sembari menggulung lengan kemejanya ke atas, dan menunjukkan dua lengan kurus dan bertenaganya itu.

Gawat, William berjalan lurus dan duduk di sebelah Ellen.

Saat dia mendekat, nafasnya yang sangat familiar itu langsung masuk ke dalam pori-pori Ellen.

Ellen tidak bisa menahan diri dan mulai gemetaran, garpu yang dia pegang juga ikut gemetar.

Tino makan dengan penuh tata krama, seperti seorang putra bangsawan, saat Tino melihat tangan Ellen yang gemetaran, dia tertegun, dia mendongkakan kepalanya dan melihat Ellen dengan mata besar hitamnya itu, "Ma, apakah kamu dingin?"

Mendengar itu, Ellen langsung menggenggam dengan erat garpu yang ada di tangannya, dan menenangkan hatinya, dia melihat Tino dan menggelengkan kepalanya, "Tidak dingin, kamu cepat makan."

Tino melihat tangan Ellen sebentar, melihat Mamanya sudah tidak gemetar lagi, dia melanjutkan makannya.

Dan saat ini, seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk ke dalam.

Ellen melihat ke arahnya, dia melihat pelayan itu datang dan mengantarkan sepiring udang ke hadapan William.

Ellen tertegun, dia menatap William.

"Selamat makan." Pelayan keluar, setelah mengatakan itu.

William tau bahwa Ellen sedang melihatnya, namun dia tidak melihat ke arahnya.

Dia mengambil sarung tangan sekali pakai dari atas meja, dia memakainya, lalu dia mulai mengupas satu persatu udang tadi.

Tangannya sangat mahir dalam mengupas udang, sangat cepat, seperti seorang ahli.

Tidak lama, William sudah mengupas satu piring udang, dia dengan santai melepaskan sarung tangannya, dan memberikan sepiring udang itu kepada Ellen.

Dia tidak mengatakan apapun, bahkan, dia tidak melihat Ellen.

Perlakuannya ini, seperti sudah sering dilakukan olehnya.

Melihat udang di piring itu, tenggorokan Ellen seperti tersumbat, matanya juga terasa kering.

"Paman juga tau jika Mama suka makan udang?" Tino melirik ke arah udang itu, mata besarnya yang bersinar itu melihat ke arah William sembari bertanya.

Saat William mendengar Tino bertanya, dan dia baru melihat ke arah Ellen.

Ellen terus melihat ke bawah, dia tidak bisa melihat mata Ellen, namun dia bisa melihat dengan jelas alisnya yang terus bergerak.

Dia baru saja melepaskan sarung tangan sekali pakai itu dan mengepalkan tangannya, jakun William naik turun, dan mengatakan dengan lembut, "Aku tidak hanya tau bahwa Mama mu menyukai udang, aku juga mengetahui banyak hal mengenai Mama mu."

"Kalau begitu apakah paman dan Mama ku adalah teman yang sangat sangat baik?" Kata Tino , setelah dia berpikir-pikir.

Pandangan mata William yang serius itu terus melihat ke arah Ellen, suaranya sangat kecil, "Permata."

Permata?

Tino tidak mengerti dan melihat ke arah William, dia tidak mengerti apa makna satu kata itu.

Ellen tertegun dan dia berdiri dari kursinya, "Aku akan pergi memesan beberapa makanan lagi."

Setelah mengatakan itu, dia menggeser kursinya, kemudian berjalan keluar dari ruangan itu.

William mengepalkan tangannya di atas meja, kepalan tangannya sangat erat, sepasang mata yang hitam, seperti tidak ada batasan.

......

Setelah Samir menelepon William lebih dari lima puluh kali, William akhirnya mengangkat telepon darinya, dan mengatakan padanya, keberadaan mereka sekarang.

Setelah dia selesai menelepon, tidak sampai dua puluh menit, Samir datang dengan tergesa-gesa.

Saat Tino bertemu dengannya, dia langsung was-was, tangan kecil dan gemuknya itu menggenggam tangan Ellen, dan dia terus mengerutkan alisnya sembari menatap Samir.

Ternyata, saat mengantri membeli tiket masuk museum tadi, kejadian tarik menarik antara Samir dan Ellen, membuat anak ini salah paham.

Saat Samir masuk ke dalam ruangan tersebut, Tino melihatnya dengan tatapan yang penuh dengan kebencian, bahkan dia tidak berkedip sekalipun.

Anak kecil ini adalah anak Ellen, kalau begitu dia juga adalah darah daging dari orang itu....

Sangat hebat!

Kata ini, sangat tepat untuk menggambarkan saat Samir melihat Tino , menggambarkan semua perasaan yang dia rasakan.

Rasanya kepalan tangan anak ini semakin erat, Ellen melihat ke arah Samir yang juga sedang menatap Tino , bibir merah mudanya, menjelaskan pada Tino , "sayang, jangan gugup. Dia bukan orang jahat, dia juga teman mama. Dia tidak akan menyakiti kita."

Lagi-lagi seorang teman?

Tino mengedipkan matanya, dia mengangkat kepalanya dan melihat Ellen, "Dia juga teman mu?"

Ellen baru saja ingin menganggukkan kepalanya.

Samir tiba-tiba berkata, dan nada bicaranya juga cukup serius, "Anak kecil, menurut perbedaan usia kita, kamu seharusnya memanggilku kakek!"

Ellen, Tino , "....."

Kakek?!

Wajah tampan William terlihat serius, dia dengan dingin menatap Samir, dan tersenyum, "Kalau begitu aku harus bagaimana memanggil anda?"

"Kamu?"

Samir, "....."

Novel Terkait

My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu