Hanya Kamu Hidupku - Bab 314 Ini Rumah Ayahku

Baru saja tiba di luar pintu, langsung terdengar suara Hansen yang lembut dari belakang, “Ellen, mengapa kamu percaya panggilan telepon itu bukan diangkat olehku?”

Ellen berhenti, memutar kepala menatap Hansen, dengan tatapan jernih, “Tidak lama sebelumnya aku membaca sebuah buku, dalam buku tertulis ‘Terkadang sesuatu tidak bisa hanya dilihat dengan mata, harus menggunakan hati.’ Hatiku memberitahuku bahwa kakek yang paling menyayangiku, pasti sangat panik ketika mengetahui diriku dalam bahaya.”

Mata Hansen menjadi panas, menatap Ellen dan tidak dapat mengatakan apapun.

Ellen menarik nafas, mengedipkan mata tersenyum berkata padanya, “Kakek, kita bertemu lagi besok, akqn ada kejutan loh.”

“...... Apa?” Hansen tertegun dan berkata.

Ellen mengangkat alisnya dengan penuh misterius, dan tidak mengatakan apapun lagi, membuka pintu kamar dan keluar.

Hansen melihat pintu kamar tertutup, matanya memerah kemudian dia mengalihkan pandangannya, menundukkan kepala dan perlahan-lahan tersenyum.

……

Berhubungan dengan usia, Hansen sudah terbiasa bangun pagi, dia bangun jam lima setengah pagi, pelan-pelan mengemas dirinya, baru saja lewat jam enam, dia langsung pergi senam pagi di taman bunga dalam Vila.

Setelah Hansen turun ke lantai bawah, Ellen juga keluar dari dalam kamar, langsung menuju kamar anak-anak.

……

Sekitar jam tujuh lebih, Hansen selesai senam Tai Chi, dia melakukan beberapa gerakan aerobik, kemudian jalan santai dengan meletakkan kedua tangan di belakang punggung.

Sudut mulutnya terangkat sebuah lengkungan, suasana hatinya terlihat sangat baik.

Dong……..

Pada saat ini, tiba-tiba terdengar suara “dong” dari depan.

Hansen tertegun, dan segera melihat ke sana.

Dia melihat sebuah bola kaki berguling menuju ke arahnya.

Ketika bola itu mendekatinya, Hansen tanpa berpikir langsung mengangkat kaki menghentikan bola itu.

Ketika berhasil menghentikan bola itu, Hansen lumayan senang, mengangkat alis dan melihat ke depan.

Pada saat ini, ada sebuah “bola berdaging” berguling ke arahnya.

Hansen membuka lebar matanya dan tertegun melihatnya.

Duang.

“Bola berdaging” itu langsung menabrak ke tubuh Hansen, kedua cakar kecil yang berdaging memeluk paha Hansen.

Hansen menjadi bingung.

Menundukkan kepala melihat bola berdaging yang memeluk kakinya, dia benar-benar sangat bingung.

Bola berdaging mengangkat wajahnya yang gendut dan putih, menatap Hansen dengan sepasang mata yang jernih dan besar, sudut mulutnya terangkat dan berkata dengan lembut, “kakek tua, kebetulan sekali.”

Ketika bola berdaging ini mengangkat wajahnya, Hansen baru melihat jelas wajahnya.

Matanya tiba-tiba membesar, “Kamu, bukankah kamu adalah........”

“Kakek tua, apakah kastanya yang aku berikan sudah habis?” Tino menunjukkan giginya yang putih, dan bertanya.

“....... ya kamu, kamu si bocah kecil ini.” Hansen sangat senang, merasa terkejut dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dia menyentuh lembut pada wajah Tino, dan berkata dengan nada suara yang semangat dan sedikit bergetar, “Bocah kecil, kamu.... mengapa kamu berada di sini?”

“Kakek tua, aku juga ingin bertanya padamu, mengapa kamu berada di rumahku?”

Tino bertanya dengan serius.

Hansen terkejut, “.......rumahmu?”

“Ya, ini adalah rumahku.” Ketika mengatakan kata-kata ini, Tino selalu memeluk paha Hansen, dan tidak melepaskannya.

Hansen mengerutkan kening, melihat bocah kecil selalu mengangkat kepalanya, dia takut lehernya pegal, dia menurunkan tangan dari bahunya, memegang lengannya dengan lembut, nada suaranya penuh curiga, “Bocah kecil, apakah kamu salah? Ini adalah rumah cucuku.”

Tino memutarkan bola matanya yang hitam, dan berkata: “Tidak salah, ini adalah rumah papaku, kami sekeluarga empat orang tinggal bersama, salah, sekarang lima orang tinggal bersama.”

“?” Hansen semakin bingung, menatap penampilan Tino yang tegas, mungkin dia sendiri pun menyangka dirinya salah jalan.

“Kakak.”

Pada saat ini, sebuah suara yang terdengar malas dari depan.

Hansen mengedipkan matanya, dan memandang ke sana bersama Tino.

Ketika melihat anak kecil yang berdiri di depan yang tidak jauh darinya, memasukkan kedua cakar ke dalam saku bajunya, yang berpenampilan persis dengan bocah kecil yang sedang memeluk kakinya, Hansen membuka lebar matanya, dia segera menundukkan matanya melihat Tino di depannya.

Melihat Tino benar-benar persis dengan bocah kecil di depannya itu, Hansen menarik nafas, wajahnya bergetar tak tertahankan.

“Kakek tua, terakhir kali aku pernah memberitahumu, aku memiliki seorang adik laki-laki, inilah adikku. Kami kembar loh.” Tino melengkungkan matanya, menatap Hansen dengan lembut dan berkata.

“.......Aku, aku bisa melihatnya.” Hansen tiba-tiba mulai merasa gugup, nada suaranya menjadi serak, dan nafasnya mulai terengah-engah.

“Hihi.” Tino tersenyum padanya.

Nino datang, mengangkat wajahnya menatap Hansen, dan membuka lebar matanya menilai Hansen.

Hansen semakin gugup, punggungnya tiba-tiba menjadi tegak, wajahnya menjadi canggung, dan saling memandang dengan Nino.

Nino menatap fokus pada Hansen selama belasan detik, dan tiba-tiba membuka lebar mulutnya mulai tertawa.

Hansen, “.......” Jantungnya hampir berhenti dipandang olehnya

Melihatnya tertawa, Hansen menelan ludah.

Matanya melihat ke sekeliling, dan bergumam sendiri, “Apa mungkin aku benar-benar salah jalan......”

“Hehe.”

Kedua bocah kecil mendengar kata-kata Hansen, keduanya saling memandang, menutup mulutnya dan tersenyum.

Hansen mendengar, wajahnya bergetar, malu-malu menundukkan kepalanya, menatap kedua bocah kecil yang tersenyum padanya, Hansen merasa segan, dan tidak tahu apa yang seharusnya dia lakukan.

Dia ingin pergi, tetapi kedua kakinya dipeluk oleh Tino.

Dan dirinya..... juga tidak terlalu ingin pergi!

Dan kedua bocah kecil malah tidak ingin mengatakannya, hanya tersenyum menatap Hansen.

Tidak lama kemudian, wajah Hansen mulai memerah, terlihat lucu dan sedikit kasihan.

Ellen yang bersembunyi di tempat gelap tidak menahannya, dia menggertakkan gigi: Dua bocah kecil ini benar-benar terlalu jahat!

Jadi, Ellen keluar dan berdeham, berkata: “Sayang-sayangku, Nenek Darmi sudah menyiapkan sarapan, cepat membawa kakek buyut masuk dan kita kembali sarapan bersama.”

Hansen mendengar perkataan ini, dia langsung mengangkat kepala menatap Ellen.

Ellen berdiri di sana, ketika Hansen terkejut dan menatapnya, dia langsung tersenyum memandangnya.

Jantung Hansen yang tadinya berdebar kencang, sekarang menjadi semakin kencang, otaknya tiba-tiba dikelilingi sekumpulan lebah, tidak berhenti berdengung, membuatnya tidak dapat berpikir sama sekali.

“Oke ma.”

“mama aku tahu.”

Tino dan Nino sama-sama berkata.

Kelopak mata Hansen melipat ke atas, debaran jantung terlalu kencang, membuat seluruh tubuhnya seolah-olah melayang, tubuhnya tiba-tiba terbaring ke arah belakang.

“Kakek buyut.”

“Kakek!”

Ellen dan si kembar terkejut melihat situasi ini.

Ellen segera bergegas ke sana.

Tino dan Nino sama sekali tidak dapat menahan tubuh Hansen.

Seluruh tubuh Hansen tak terhindar terbaring telentang ke lantai.

“Kakek buyut......”

Tino dan Nino berjongkok di samping Hansen dengan wajah pucat, menatap Hansen yang terbaring di lantai, mereka terkejut dan tidak dapat mengatakan apapun.

Ellen bergegas datang, memegang lengan Hansen, mengeluarkan tenaga mengangkatnya bangkit dan duduk, mengulurkan tangan menyentuh bagian dadanya, kemudian menekan bagian philtrum, nada suaranya bergetar tak tertahankan.

Dia tiba-tiba sangat menyesal.

Mengapa dia tidak membawa Tino dan Nino ke depannya saja?

Mengapa harus membuat kejutan?

Baguslah sekarang, tidak ada kejutan apapun, malah menjadi kaget.

Otak Ellen penuh penyesalan.

“Kakek buyut, kakek buyut, kamu jangan menakutkan aku......” Ellen hampir menangis.

Kakek buyut sudah begitu tua, bagaimana mungkin dia sanggup menahan “kejutan” besar seperti ini!

Memiliki reaksi seperti sekarang, dia seharusnya sudah terpikir!

Sebenarnya.

Meskipun Ellen membawa Tino dan Nino ke depan Hansen, reaksi Hansen juga tidak mungkin bisa tenang, kejutan ini pasti akan terjadi!

“Kakek buyut, kamu bertahan dulu, aku akan pergi menghubungi ambulans.”

Ellen berkata, lalu menatap Tino dan Nino, “Sayang, kalian jagakan Kakek buyut, mama pergi menelepon.”

Tino dan Nino mengangguk dengan kuat, mengulurkan tangan memegang tangan Hansen dan menatapnya dengan tatapan penuh khawatir.

Ellen tidak berani menunggu, dia segera bangkit.

Namun tidak menunggunya berdiri, sebuah tangan tiba-tiba menariknya.

……

Ruang tamu Vila.

Ellen merasa bersalah, menatap Hansen yang duduk di sofa, “Kakek, apa benar kamu tidak perlu pergi ke rumah sakit?”

Hansen menggelengkan kepalanya, wajahnya terlihat lemah, namun ketika melihat Tino dan Nino, tatapannya menjadi semangat.

Hatinya tersentuh dengan suatu perasaan yang kuat, perasaan senang dan terharu, saling menabrak dengan kuat.

Dalam emosional seperti ini, Hansen hanya merasa matanya pedih, tenggorokannya serak, hatinya juga....... menyakitkan.

Air matanya berlinang, Hansen menutup rapat bibirnya, mengulurkan tangannya yang bergetar pada Tino dan Nino, suaranya terdengar serak, “Ayo ke sini.”

Tino dan Nino menatap Ellen.

Ellen mengangguk.

Tino dan Nino berjalan ke depan Hansen.

Hansen duduk tegak, mengulurkan tangan memegang tangan kedua bocah kecil, menggenggam erat di tangannya, dan menatap mereka dengan matanya yang memerah, “Apakah Kakek buyut telah mengejutkan kalian?”

Tino dan Nino saling memandang, dan mengangguk bersama.

Hansen merasa bersalah dan mengerutkan kening, “Maaf......”

“Kakek buyut, aku dan adik mengkhawatirkanmu, jadi sedikit terkejut. Aku dan adik berharap kakek buyut selalu sehat, jangan seperti hari ini lagi. Karena aku dan adik pasti akan terkejut lagi.” Tino berkata.

“Ya.” Nino menyetujui perkataan Tino, penampilannya terlihat sangat serius.

Hansen sangat terharu, cairan hangat tanpa sadar mengalir keluar dari mata, “Oke, Kakek buyut akan memperbanyak latihan di masa depan, dan pasti akan memperkuat tubuh menjadi lebih sehat.”

“Hehe.” Tino tersenyum, mengulurkan tangannya yang gendut menyentuh wajah Hansen.

Mata Hansen dipenuhi air mata, menatap Tino lalu melihat Nino, matanya mengalir keluar.

Mulai sejak empat tahun yang lalu setelah Ellen mengalami kecelakaan.

Hansen tidak berani berpikir suatu hari nanti akan ada kebahagiaan seperti ini mengelilingi dirinya!

Hansen terlalu senang, sehingga air matanya tidak berhenti mengalir keluar.

Dia mengulurkan tangan memeluk kedua bocah kecil ke dalam pelukannya, bibirnya bergetar, dan tidak berhenti mencium alis dan wajah kedua bocah kecil, dia tidak dapat menyembunyikan rasa kesenangannya.

Meskipun Tino dan Nino sangat tidak terbiasa dengan “ciuman gila-gilaan” seperti ini, namun ketika ciuman Hansen dengan air mata yang jatuh di alis dan wajah mereka, kedua bocah kecil tidak menunjukkan ekspresi menjijikkan di wajah mereka, mereka malah mengulurkan lengannya memeluk Hansen, dan menepuk punggungnya bagaikan orang dewasa.

Ellen yang duduk di sofa sebelah, melihat adegan yang penuh kehangatan ini, air matanya berlinang.

Novel Terkait

Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Hello! My 100 Days Wife

Hello! My 100 Days Wife

Gwen
Pernikahan
3 tahun yang lalu
The Serpent King Affection

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
4 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
3 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
3 tahun yang lalu
Someday Unexpected Love

Someday Unexpected Love

Alexander
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu