Hanya Kamu Hidupku - Bab 202 Sangat Jelas Itu Adalah Suara Ellen

Di ruang tamu, hanya sisa Vania dan Rosa.

Setelah mendengar suara mobil yang melaju keluar rumah, Rosa menyipitkan matanya, lalu mengulurkan tangan dan memegang tangan Vania yang ada di sampingnya, "Vania, jangan sedih, meskipun paman dan bibi sudah bercerai, tetapi mereka masih merupakan orang tuamu, mereka tetap paling menyayangimu. "

Vania mendengar perkataan ini, menatap Rosa, tidak ada sedikit pun kesedihan di wajahnya, dan berkata, "Kak Rosa, tahukah kamu mengapa ibuku tiba-tiba begitu bersikeras untuk bercerai dengan papaku?"

Rosa dengan cepat melirik jam di dinding ruang tamu, tersenyum lembut, dan suaranya membawa sedikit ketidakpedulian, "Kenapa?"

"Karena ..."

"Tunggu sebentar, Vania, perutku tiba-tiba sakit, aku pergi ke kamar mandi dulu."

Saat Vania berbicara, Rosa tiba-tiba memegang perutnya dengan ekspresi sengsara, dan mengerang.

Vania sedikit tidak sabar ketika Rosa memotong pembicaraannya, tetapi dia melihat bahwa Rosa terlihat sangat tidak nyaman, sehingga dia berkata, "Silakan, aku akan memberitahumu setelah kamu kembali."

"Ya."

Rosa mengerutkan alisnya, berkata ‘ya’ dengan lemah, kemudian dia bangkit, memegang perutnya, dan berjalan cepat menuju kamar mandi di ruang tamu.

Vania melihat Rosa memasuki kamar mandi dan menutup pintu, dia menghembuskan napas dengan depresi.

...

Di dalam kamar mandi.

Rosa duduk di toilet, mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, dan dengan cepat mengirim pesan teks.

Ketika melihat pesan teks itu berhasil dikirim, wajah Rosa sedikit cemas, dan matanya menatap layar ponsel.

Sekitar tiga puluh detik, ada sebuah pesan masuk: semuanya berjalan dengan baik.

Rosa melihatnya dan menghembuskan napas lega.

Segera setelah itu, ada kilatan kejam melintas di matanya, dia memegang ponsel selama beberapa detik, kemudian menyimpan ponsel ke dalam sakunya.

Sekitar satu menit setelah Rosa menerima pesan teks itu, telepon di ruang tamu tiba-tiba berdering.

Rosa sedikit mengangkat alisnya, perlahan berdiri, berjalan ke sisi pintu kamar mandi, dan mendengarkan gerakan di luar.

"Halo."

Itu adalah suara Vania.

Mata Rosa langsung cerah, ada kilatan kejam melintas di matanya, dan sudut mulutnya terangkat tinggi.

Di ruang tamu.

Vania mengerutkan kening dan duduk di sofa dengan malas, dia memegang telepon rumah di tangannya, menjawab dengan bosan.

Tidak tahu apa yang dikatakan seberang telepon itu.

Vania tiba-tiba melompat dari sofa, wajahnya menjadi pucat, dia tanpa sadar merendahkan suaranya, "Apa?"

"Ellen sekarang ada di tangan kami, Jika kamu ingin kami melepaskannya, segera menyiapkan uang 4 miliar sebagai tebusan dan datang untuk menebusnya, jika kamu berani melapor ke polisi, aku akan segera membunuhnya!"

Suara yang terdengar di telinga Vania melalui mikrofon adalah suara loli.

Vania adalah seorang penyiar di internet, dia tidak mungkin tidak tahu bahwa orang ini menggunakan pengubah suara.

Vania meremas telepon tersebut, wajahnya pucat, suaranya bergetar tidak terkendali, "Siapa, siapakah kalian?"

"Penjahat" mungkin merasa bahwa pertanyaan Vania terlalu bodoh, dia tidak menjawabnya.

Mulut Vania bergetar, dia mengangkat bahunya, menoleh ke atas dengan gemetar, "Ellen, apakah Ellen benar-benar ada di tanganmu?"

Setelah dua detik.

Suara teriakan terdengar dari telepon.

Vania ketakutan sampai berkeringat, dan dia hampir tidak bisa memegang telepon dengan stabil.

"Apakah kamu sudah percaya sekarang?"

Penjahat itu berkata dengan ganas.

"..." Tubuh Vania menggigil, karena suara teriakan tadi benar-benar merupakan suara Ellen.

"Aku akan memberimu waktu setengah jam untuk menyiapkan uang tebusan, dan aku akan meneleponmu lagi dalam setengah jam dan memberitahumu tempat transaksi, kamu membawa uangnya datang, kita menyerahkan uang dan orang pada waktu yang sama!"

Setelah penjahat itu selesai berbicara, dia menutup telepon.

Tangan Vania bergetar, dia melemparkan telepon dan berlari menuju lantai dua.

Suara naik tangga terdengar di telinga Rosa melalui pintu kamar mandi.

Rosa mengepalkan tangannya, dia menyipitkan matanya: Vania, kamu tidak akan mengecewakanku, benar?

Dan benar sesuai dugaannya

Vania berlari setengah jalan, tiba-tiba berhenti, dia berbalik, membuka matanya lebar-lebar dan menatap langsung ke telepon di lantai bawah.

Hanya dalam puluhan detik, Vania banyak berpikir dalam benaknya.

Kemudian, Vania mengangkat tangannya yang gemetar untuk menyentuh wajahnya, lalu berbalik dan menuruni tangga langkah demi langkah.

...

Rosa keluar dari toilet sekitar tujuh atau delapan menit setelah Vania menjawab telepon.

"Tidak tahu apa yang telah aku makan tadi malam, benar-benar sakit sekali."

Rosa mengelus perutnya sambil berjalan menuju Vania yang duduk di sofa.

Vania sedang duduk di sofa dengan tercengang sekarang, dia sepertinya kehilangan rohnya, wajahnya pucat, dan bibirnya bergetar tanpa sadar.

Rosa mendatanginya dan duduk, dia tampaknya tidak menyadari kelainan Vania, dan berkata pada dirinya sendiri, "Sekarang umurku sudah tua, aku harus lebih memperhatikan apa yang kumakan, begitu aku sedikit tidak mengendalikannya, tubuhku langsung tidak nyaman. "

Vania menarik napas dalam-dalam, dan menatap Rosa dengan linglung.

Tidak ada cahaya di mata Vania, pandangannya jatuh pada Rosa, tetapi dia seperti orang buta, seolah-olah dia tidak melihat Rosa.

Rosa mengambil cangkir teh di atas meja, dengan cepat melirik ke tangan Vania yang bergetar, dia segera tersenyum, lalu memegang cangkir teh dan meminum teh.

"Vania, kita sebagai anak, apa yang bisa kita berikan kepada orang tua kita adalah membuat orang tua kita bahagia, sekarang bibi dan paman sudah tidak bahagia untuk bersama, jika mereka berpisah dan akan lebih baik untuk satu sama lain, maka kita yang sebagai anak tidak perlu terlalu banyak berpikir, asalkan mereka bahagia saja. "

Rosa berbicara sambil meletakkan cangkir teh kembali ke atas meja kopi.

Setelah Rosa mengatakannya, Vania masih tidak menjawabnya.

Rosa baru dengan terkejut melihat Vania, dia melihat wajah Vania pucat, dan mata Vania yang menatapnya begitu lebar sehingga sedikit menakutkan orang.

Rosa tercengang, dia tiba-tiba meraih tangan Vania.

Tangan Vania bergetar dan membuka matanya lebar-lebar.

Rosa terkejut dan berkata, "Vania, ada apa denganmu? Wajahmu sangat pucat, dan tanganmu masih bergetar, apakah kamu tidak nyaman?"

"..." Vania menggigit bibirnya dan menggelengkan kepalanya.

Rosa menatapnya dengan khawatir, "Kamu tidak terlihat baik-baik saja, ayo, Kak Rosa bawa kamu ke rumah sakit."

"Tidak, aku tidak mau pergi."

Vania melepaskan tangan Rosa dengan penuh semangat.

Dia meletakkan satu tangannya di bibirnya dan tanpa sadar menggigit punggung tangannya.

Rosa menatapnya dengan curiga, lalu berkata dengan ragu-ragu, "Vania, ada apa denganmu?"

Bola mata Vania bergerak dengan cepat, dan seluruh badannya menegang sampai ke tingkat tertentu, "Kak Rosa, apakah kamu tahu? Alasan mengapa orang tuaku bercerai juga karena Ellen. Aku sangat membencinya, jika tidak ada dia, keluarga kami akan sangat baik, kakak ketigaku tidak akan begitu acuh tak acuh terhadapku, dan kakekku tidak akan selalu memarahi dan menyalahkanku, kakak pertama dan keduaku juga akan sangat baik padaku, karena akulah yang paling kecil, aku adalah adik mereka yang paling kecil, dan ibuku, jika bukan karena Ellen, ibuku tidak akan berubah begitu cepat, dan juga tidak akan bersikeras untuk bercerai dengan papaku. "

Vania tidak tahu karena dia terlalu bingung atau merasa bersalah, kata-katanya tidak jelas dan setiap kata yang diucapkannya gemetar.

Paman dan bibi bercerai karena Ellen?

Rosa menyipitkan matanya dan memandang Vania, "Vania, Bibi bersikeras untuk bercerai dengan Paman, apa hubungannya dengan Ellen?"

"Karena papaku yang membawa mobil dan membunuh papa Ellen!"

Vania tiba-tiba berbalik, menatap Rosa dengan matanya yang merah.

Apa? !!

Rosa menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Maksudmu, paman telah membunuh papa Ellen?"

"Ya, ya. Ellen masih belum tahu, dia masih tidak tahu ... Kak Rosa, aku tiba-tiba agak lelah, aku, aku ingin naik ke atas dan beristirahat."

Vania tiba-tiba berkata begitu.

Rosa merasa detak jantungnya cepat, dan pipinya sedikit menegang karena terlalu semangat.

Vania tidak menunggu Rosa untuk menjawab, dia langsung bangkit dari sofa dan berjalan ke atas dengan langkah kaki yang kacau.

Rosa mengepalkan tinjunya dengan erat, dia menatap Vania masuk ke kamarnya sendiri, lalu dia duduk di ruang tamu selama dua menit, kemudian meraih tas di sofa dan dengan cepat meninggalkan rumah Keluarga Dilsen.

Setelah Rosa pergi.

Vania berada di kamarnya selama sepuluh menit, kemudian dia bergegas turun untuk berada di samping telepon.

Sambil menunggu telepon dari penjahat, Vania terus menggigit punggung tangannya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, telepon rumah tiba-tiba berdering.

Vania terkejut, dia menatap telepon tersebut dengan ketakutan.

Telepon berdering beberapa kali berturut-turut, Lina yang berada di luar mendengar telepon berdering dan bergegas ke ruang tamu.

Vania melihat Lina memasuki ruangan, dia menggigit bibirnya, mengangkat telepon dan menjawabnya.

Lina berhenti sejenak dan menatap Vania dengan aneh.

Dia tadi kira tidak ada seorang pun di ruang tamu.

Melihat Lina berdiri di sana dan tidak mau pergi, Vania berpura-pura tenang menutupi mikrofon telepon, lalu berkata kepadanya, "Bibi Liu, aku saja yang menjawab telepon, kamu pergi sibuk saja." (***Lina Liu***)

Lina menatap wajah Vania yang pucat tidak normal, dan bibirnya yang bergetar ketika berbicara dengannya, dia mengerutkan alisnya dengan curiga.

"Baik, Nona."

Setelah Lina pikir-pikir, dia berkata begitu.

Setelah selesai berbicara, Lina berbalik dan pergi, tetapi karena keraguan di dalam hatinya, dia tidak pergi jauh, tetapi berdiri di dekat pintu.

Setelah melihat Lina pergi, Vania baru melepaskan mikrofon dan berkata, "Ellen hanyalah putri angkat dari keluarga Dilsen kami, mengapa kamu bisa berpikir bahwa dia akan bernilai 4 miliar? Aku beritahu kalian, kalian tidak perlu mengancamku dengan ganas, aku tidak takut pada kalian, kami tidak akan memberimu uang, jika kalian mau membunuhnya, maka silahkan saja! Lagi pula, Ellen hanyalah orang yang tidak penting bagi keluarga Dilsen kami, mati ya mati saja.”

Vania mengucapkan perkataan ini dengan wajah pucat, dia bahkan tidak memberi pihak lain kesempatan untuk berbicara, dan langsung menutup telepon.

Dan, setelah telepon ditutup, Vania langsung mencabut kabel telepon.

Lina yang berdiri di dekat pintu, "..." Ketakutan sampai tercengang!

Masalah ini penting, dan Lina tidak berani menunda, setelah dia sadar kembali, dia buru-buru berlari masuk ke ruang tamu.

"Argh."

Vania Melihat Lina tiba-tiba berlari masuk ke ruang tamu.

Vania yang memang sudah ketakutan dan merasa bersalah, berteriak dengan terkejut.

Lina mengabaikannya, dia bergegas menuju lantai dua, dan wajahnya menegang sampai bergetar.

Ketika melihat Lina berlari ke atas, hati Vania sangat cemas, dia berdiri dari sofa, menatap Lina dengan marah, "Bibi Liu, apa yang sedang kamu lakukan?"

Lina mengabaikannya, dia langsung berjalan ke pintu ruang kerja, tanpa mengetuk pintu, membuka pintu dan masuk.

Vania "..."

Novel Terkait

Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Perjalanan Selingkuh

Perjalanan Selingkuh

Linda
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
3 tahun yang lalu