Hanya Kamu Hidupku - Bab 227 Paman Ketiga, Aku Sangat Rindu Padamu.

“Siapa yang adil padaku? Awalnya aku memiliki sebuah keluarga yang bahagia, Gerald yang menghancurkannya!” Ellen mengepalkan tangannya dan menatap William dengan tatapan penuh kebencian, dan berkata dengan sedih, “Kepada siapakah, aku meminta keadilan?”

“Jadi, kamu ingin menyerah padaku?” William memegang erat bahunya, dan berkata dengan marah.

Pandangan Ellen tertegun, suaranya yang serak perlahan-lahan berkata, “Aku berterimakasih padamu, terima kasih telah mengadopsiku, meskipun kamu melakukan ini hanya untuk menebus kesalahan papamu. Tetapi kita tidak semuanya sama, kita telah ditakdirkan tidak akan bisa bersama.”

“Ellen, apakah kamu harus menjatuhkan semua kesalahan ini padaku? Aku hanya mencintaimu, apa salahku?” Kekuatan William hampir saja menghancurkan tulang bahu Ellen.

Ellen menahan hingga tubuhnya bergetar, matanya memerah, “Kamu tidak salah, aku juga tidak salah. Tetapi kita berdua tidak bisa bersama.”

William memejamkan matanya, wajahnya yang suram sangat tegang.

Ellen merasa sakit hati, mengangkat tangannya ingin melepaskan tangan William yang sedang memegang di bahunya, dan akan turun dari pahanya.

Namun begitu tubuhnya bergerak, pinggulnya langsung ditahan olehnya.

Tubuh Ellen tertegun, kemudian wajahnya memerah dan menatapnya.

“Kalau aku bilang, dia sudah mendapat hukuman, apakah kamu masih akan bersikeras dengan pilihanmu saat ini?” William menatapnya dengan tatapan ganas.

Tatapan Ellen menjadi tegang, “Apa maksudnya?”

“Kanker.” Suara yang dikeluarkan William agak keras, dan matanya semakin memerah.

Kanker!

Ellen kaget, “Kanker? Kanker apa?”

“Penyakit Uremia!” Tangan William yang memegang lengan Ellen menjadi erat, “Empat tahun yang lalu, tidak lama setelah kamu mengalami kecelakaan kemudian, dia langsung menyadari dirinya menderita uremia, stadium terakhir.”

Uremia, stadium terakhir?

Ellen hanya pernah mendengar, namun dia tidak tahu tentang uremia, tetapi kalau sudah memastikan terdiagnosis kanker, seharusnya sudah sangat serius.

Ellen tidak menyangka, Gerald yang terlihat begitu kuat dan dingin, bisa menderita...... kanker.

“Dia melakukan transplantasi ginjal tiga tahun yang lalu, tetapi hanya bertahan selama dua tahun, ginjal yang baru diganti menunjukkan penolakan yang kuat dan tidak berfungsi, saat ini, dia hanya bisa mengandalkan hemodialisis untuk mempertahankan hidupnya.” William menatap Ellen, “Jadi sekarang, dia juga telah mendapat hukuman yang seharusnya dia dapatkan.”

Ellen sangat kaget, sehingga tidak tahu apa yang seharusnya dia katakan.

Seluruh tubuhnya menjadi kaku.

William memandang Ellen sejenak, begitu kemerahan di matanya agak menghilang, tangan yang memegang kedua lengan Ellen mengarah ke bawah, menggandeng tangan Ellen, suaranya kembali dingin seperti sebelumnya, “Ellen, kita telah menyia-nyiakan waktu selama empat tahun, apakah kamu ingin terus-menerus seperti ini?”

Ellen menatap William, kedua matanya terlihat rumit.

Awalnya dia menyangka setelah mengetahui Gerald mendapat hukuman, dia seharusnya akan merasa senang.

Tetapi tidak tahu mengapa, dia sama sekali tidak merasa senang, bahkan semakin keberatan.

“Aku tidak pernah berubah, dan juga tidak pernah mundur.” William memegang erat tangan Ellen, dan berkata dengan yakin.

Ellen menatap matanya yang mendalam, hatinya seolah-olah terjerat oleh benang sutra, sangat kencang dan kacau.

William menatap mata Ellen yang ragu-ragu, hatinya merasa sakit, dia melepaskan tangannya, tiba-tiba merangkul lehernya, mencium bibirnya, dan berkata dengan suara tertekan dan mendalam, “Aku sudah pernah bilang, aku tidak akan melepaskanmu!”

Kesemutan di bibir membuat hati Ellen semakin panik, tanpa sadar dia mengulurkan tangannya memegang bahunya dan ingin mendorongnya menjauh, tetapi begitu telapak tangannya menyentuh tulang bahunya yang tegang, kekuatan di telapak tangannya seolah-olah menghilang.

Meskipun tubuh Ellen di pelukannya masih kaku, tetapi dia tidak menolaknya, ini membuat tubuh William yang penuh keganasan dan kesuraman banyak berkurang, dan gerakan menciumnya juga perlahan-lahan menjadi lebih lembut.

Ketika berciuman, mereka berdua tidak memejamkan matanya, mereka saling memandang.

Ellen tiba-tiba memejamkan matanya, wajahnya juga memerah.

Bulu matanya yang panjang terpejam dan sedikit bergetar.

Nafas William menjadi berat, dia merasa penampilannya seperti ini sangat mempesona.

Kemudian Ellen digendong olehnya, sosok tubuhnya berganti arah, dan menekannya ke sofa yang lembut.

Ciumannya juga menjadi mesra.

Ellen memegang erat bahunya, alisnya juga berkerut, tetapi tetap tidak melakukan tindakan menolak.

Tatapan William sangat mendalam, napasnya menghembus di wajah Ellen, ada api di bagian perutnya sedang membakar dengan gila. Telapak tangannya yang besar menggosok dua kali di pinggang Ellen, dia tidak sabar dan ingin naik ke atas.

Dring......

Suara pintu dibuka masuk dari luar, bagaikan percikan air dingin pada dua orang yang sedang berbaring di sofa.

Ellen panik, langsung membuka matanya, dan ingin segera bangkit.

William menekannya, wajahnya yang dingin dan gelap bagaikan badai, memutar kepala dan memarahi seseorang yang berdiri di pintu, “Pergi keluar!”

Samir yang dengan tidak mudah memberanikan diri kembali ke kamar suite, merasa malu dari kepala hingga ujung kaki.

Dasar!

Bagaimana mungkin dia tahu akan bertemu dengan adegan seperti ini!

Lagipula, kalau bukan lupa membawa dompet dan kunci mobil, dia juga tidak akan kembali.

“......Itu, selesai mengambil barang, aku langsung pergi.” Samir berkata, satu tangannya berpura-pura menutup mata, kedua kakinya melangkah cepat ke arah sofa, langsung mengambil dompet dan kunci mobil di atas meja, bergegas keluar bagaikan angin.

Prang.......

Pintu ditutup.

William memutar kepala merasa tidak senang, matanya menatap wajah Ellen yang merah, dan berkata dengan suara serak, “Lanjutkan.”

Selesai berkata, dia menundukkan kepala ingin menciumnya.

Namun.

Kali ini, William gagal mencium bibir Ellen sesuai keinginan.

William mengerutkan kening, melihat telapak tangan yang menghalang di bibir Ellen, mengangkat matanya menatap Ellen dengan dingin.

Bola mata Ellen yang hitam berputar ke kanan dan kiri, lalu berkata, “Selesai melakukan wawancara, aku seharusnya pergi.”

Setelah mendengar perkataan ini, wajah William benar-benar menjadi suram, bibirnya yang tipis menegang, menggenggam tangan Ellen yang menghalang di bibirnya, lalu menciumnya.

Ellen menarik nafas, matanya yang besar menyipit, berbaring di sofa, dia sangat tenang dan menatap pria yang menciumnya dengan penuh nafsu.

Isi pesan teks yang dia terima, tiba-tiba muncul di pikirannya.

Dulu setelah mengetahui dia mati meledak di pom bensin, apakah dia benar-benar sangat menderita?

Tadi dia bilang dia tidak pernah berubah, dan juga tidak pernah mundur.....

Seberapa dalam perasaan yang diperlukan untuk mencapai ini?

Bulu mata Ellen berkedip, dia tiba-tiba melepaskan diri dari tangannya, dan merangkul lehernya ketika William akan menariknya.

Seluruh tubuh William tertegun, matanya yang mendalam bagaikan dipenuhi gelombang pasang membanjiri permukaan matanya. Aliran emosi yang kuat ini, membuat tangan William yang berada di pinggang Ellen bergetar tanpa sadar.

Bibirnya mundur dari bibir Ellen.

Dan pada saat yang sama, Ellen juga merentangkan tangannya, memeluk lehernya.

Dada William berdebar, bibirnya tertutup rapat, lalu menggendong Ellen, dan berjalan menuju ke kamar tidur.

……

Di ranjang kamar tidur, seluruh tubuh Ellen dipeluk dalam pelukan William, dia tidak dapat bergerak sama sekali.

Dia mencium dari telinga, lalu wajah, setiap ciuman yang dia tinggalkan membuat wajah Ellen semakin memerah.

Ellen sangat kesal, tidak peduli ke sebelah mana pun dia menghindar, William tetap menciumnya.

Ellen benar-benar tidak ada cara lain lagi, dia hanya dapat menempelkan wajahnya ke dadanya, membiarkannya melanjutkan.

“Ellen.” William berbisik di telinganya dengan nada suara rendah, nada suaranya sangat seksi dan lembut.

Sudut mulut Ellen terangkat, membuka lebar matanya, “Ya?”

“Ellen.” William mencium di pipinya dan memanggilnya lagi.

Bulu mata Ellen berkedip, perlahan-lahan mundur dari pelukannya, kedua matanya yang jernih menatapnya dengan tatapan curiga.

William menundukkan dahinya, menempel pada dahinya, lalu menatap mata Ellen yang bersinar terang, “Ellen.”

Sudut mata Ellen tiba-tiba merasa hangat, lalu berdeham, “Ya.”

William mengangkat sudut bibirnya, kemudian mencium di bibirnya, dan memanggil dengan nada serak, “Ellen.”

Ellen menatapnya, mengulurkan tangan memeluk lehernya, dia menaikkan tubuhnya agak ke atas, saling berhadapan dengannya, lalu menarik rambutnya yang pendek di belakang lehernya, menundukkan mata menatap bibirnya yang tipis, lalu mengambil inisiatif menciumnya, “Paman ketiga.”

Dua kata yang penuh kasih sayang keluar dari bibirnya.

William memeluknya dengan erat, keduanya bagaikan kembar siam yang tidak dapat dipisahkan, kedua matanya yang hitam memandangnya dengan sedikit ketidakpastian, “Kamu tidak akan menyerah lagi, kan?”

Ellen menarik nafas, memejamkan bulu matanya yang panjang, dan berbisik, “Beberapa tahun ini, aku sengaja tidak membaca beritamu, ketika menonton TV, kalau melihat beritamu, aku akan segera mengganti saluran, aku takut tidak bisa mengendalikan diriku dan merindukanmu, aku khawatir tidak bisa melupakanmu selamanya. Ketika aku tahu, pada saat itu, kamu bukan tidak peduli padaku, hatiku benar-benar sangat bahagia, itu bagaikan binatang buas yang selalu tinggal di hatiku, akhirnya keluar dari tubuhku. Dia tidak lagi memakan hatiku dan membuatku menderita.”

“Tetapi ketika aku tahu itu hanyalah kesalahpahaman, seekor binatang buas masuk lagi, aku masih belum sepenuhnya menghilangkan rasa sakit itu. Karena kesalahpahaman itu, kita menderita selama empat tahun dan menyia-nyiakan waktu selama empat tahun. Ketika memikirkan ini, aku merasa sangat kesakitan, tetapi yang lebih menyakitkan lagi, jelas semua ini hanyalah kesalahpahaman, kamu begitu peduli padaku, dan aku juga...... tetapi hatiku masih belum bisa melepaskan dendamku pada ayahmu, membuat kita berpisah dan menderita, tidak bisa bersama.”

“Paman, bisakah kamu mengerti?” Ellen menatap William dengan sedih, dan menatapnya dengan matanya yang merah, air matanya berlinang.

William menyentuh wajahnya, dia belum dapat memastikan maksud dari perkataannya.

Apakah dia sudah berjanji atau bersikeras masih menolaknya?

Hati William menahan siksaan, dia hanya terus menyentuh wajahnya, tidak berkata.

Ellen mengedipkan matanya, air matanya menetes keluar, menatap William dan mengatakan sebuah kalimat yang selalu ingin didengar William, “Paman ketiga, aku sangat merindukanmu.”

“……”

Novel Terkait

Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu
Gadis Penghancur Hidupku  Ternyata Jodohku

Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku

Rio Saputra
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Cutie Mom

Cutie Mom

Alexia
CEO
5 tahun yang lalu