Hanya Kamu Hidupku - Bab 362 Kamu Jadi Jahat

Omong-omong sampai sini, Ellen dengan tenang menatap Vima, “Akui saja, kamu sudah tidak mencintai ayahku lagi.”

Vima menangis, dan menggelengkan kepalanya dengan gelisah.

Ellen menatap wajah Vima yang sedang nangis, hatinya juga terasa tidak enak.

Ellen sudah lama mengetahui semua ini, tetapi tidak pernah berpikir bahwa suatu hari akan mengungkapkannya di depan Vima.

Sekarang dalam hati Vima, Pluto dan Venus barulah orang yang terpenting dalam hidupnya, sedangkan Ellen dan ayahnya sudah menjadi masa lalu.

Apakah itu karena perasaan bersalah Vima terhadap Rainar dan Ellen, atau karena aspek moral yang mengikat, sepanjang ini dia enggan mengakui Pluto dan Venus adalah orang yang terpenting baginya saat ini……

Ellen telah menerima hasil ini, tetapi tidak berarti, bahwa dirinya tidak lagi berperasaan terhadap hal tersebut.

Ellen tiba-tiba merasa lelah.

“Aku pergi dulu.” Ellen berkata kepada Vima.

“Ellen.” Vima merasa gelisah.

Ellen menatap sejenak gelang di atas meja.

Setelah Ellen menyerahkan kepada Vima sampai saat ini, Vima hanya melirik sejenak, dan tidak menyentuhnya sama sekali.

Ellen mengerutkan keningnya, kemudian menatap gelang itu dan tiba-tiba berkata, "Apakah kamu menginginkan gelang itu? Jika kamu tidak menginginkannya, berikan kepadaku saja."

Dalam hati Vima sudah tidak ada Rainar lagi.

Gelang yang neneknya berikan kepada menantu keluarga Nie, sekarang diserahkan kepada Vima, tiba-tiba Ellen merasa ini merupakan tindakan yang tidak perlu.

Vima sedikit bingung, dengan langsung dia menuju ke meja itu, untuk mengambil gelang, lalu dia memegang tangan Ellen, dan meletakkan gelang itu pada telapak tangan Ellen.

Ellen menatap gelang di telapak tangannya, dan tiba-tiba tersenyum.

Kemudian mengeratkan jari-jarinya, dan mempererat genggaman gelang pada telapak tangannya, Ellen tetap saja tidak menatap Vima, dan mengulurkan tangannya dengan kuat, lalu melangkah dengan cepat menuju pintu keluar.

“Ellen……”

Hati Vima terasa berat, dia berjalan beberapa langkah menuju pintu, tiba-tiba langkahnya terhenti, kemudian memegang dadanya, dan menatap pintu sambil menangis.

……

Dalam mobil menuju Coral Pavilion.

Suno menatap Ellen yang duduk di kursi belakang N kali dari kaca spion.

Setelah Ellen masuk ke dalam mobil, dia memegang sebuah gelang dan melihatnya tanpa henti, Suno mengintipnya dari tadi, tetapi tidak menemukan keunikan gelang tersebut.

“Pak Suno, jika kamu masih seperti ini, aku tidak berani naik mobil kamu lagi.” Ellen tiba-tiba berkata.

Suno, “……”

Ellen mengerakkan bibirnya, lalu memegang gelang sambil mengangkat kepalanya, dari belakang melihat Suno, “Sekarang ada tiga nyawa di mobil anda, kamu harus mengemudi dengan hati-hati.”

Ketika Ellen mengangkat kepalanya, Suno melihat matanya yang merah, dan mengedipkan matanya dengan cepat, Suno berkata, “Nona kecil, aku yang membawa mobil, kamu tenang saja, aman!”

Ellen tersenyum.

Pada saat ini.

Ponsel yang ada di dalam tasnya tiba-tiba bergetar.

Ellen menunduk untuk membuka tasnya, kemudian mengeluarkan ponselnya, melihat nama peneleponnya, mata Ellen menjadi terang, lalu mengangkatnya, dan meletakkan di telinganya, “Kak.”

“Ya. Lagi buat apa?” Dorvo berkata dengan biasa.

“Apa yang dapat aku lakukan? Aku sekarang ada seorang yang mempunyai banyak waktu luang.” Ellen berkata dengan wajahnya yang memerah.

“Kamu sekarang sedang hamil, pantas mempunyai waktu luang, tidak perlu merasa malu.” Dorvo berkata dengan perhatian dan cermat.

Ellen menaikkan bibirnya, “Kak, kenapa kamu tiba-tiba menelepon aku hari ini?”

“Masih ada setengah jam, kamu siap-siap dulu.” Dorvo berkata.

“?” Ellen bingung.

“Aku datang bersama nenek, sekarang mobil sudah masuk ke dalam kota.” Dorvon berkata.

whaaaaat?

Ellen membelalakkan matanya, “Kak, kamu tidak membohongi aku kan?”

“Haha.”

Suara senyuman Nurima.

Ellen semakin membelalakkan matanya, menunjukkan detak jantungnya yang semakin cepat, dan bergumam, “Nenek.”

“Ellen, sejak kapan kamu pernah mendengar kakakmu membuat lelucon?” Suara Nurima sedikit lemah, tetapi sangat gembira.

Mata Ellen mulai berair, “Nenek, kamu dan kakak benar-benar datang?”

“Nenek khawatir kamu, juga kangen sama kamu dengan Tino dan Nino. Kebetulan kakakmu selesai sibuk, jadi aku meminta kakakmu untuk membawa aku untuk mengunjungimu.” Nurima berkata.

“Kalau begitu aku sekarang akan pulang dan menyuruh Bibi Darmi menyiapkan kamar untuk kamu dan kakak. Nenek……” Ellen sangat gembira, dan hampir menangis, “Kemarin ketika aku menelepon anda, kamu masih berada di rumah,dan juga tidak mengatakan akan datang. kamu seharusnya memberi tahu aku.”

“Keputusan mendadak tadi siang. Ingin memberi kejutan kepada kamu. Tetapi nenek seperti aku tidak sabar, ketika tiba di kota Tong dengan tidak sabar aku meminta kakakmu untuk meneleponmu. Awalnya ingin langsung menuju tempatmu, dan muncul tiba-tiba untuk mengejutkanmu.” Nurima tersenyum.

“Nenek, kamu jadi jahat.” Ellen tersenyum.

Nurima tersenyum dengan malu, “Sepanjang jalan ini terasa tidak nyaman, ketika sekarang aku berpikir segera dapat bertemu dengan Ellen, aku langsung merasa agak nyaman, sedikit pun tidak merasa tidak enak.”

Ellen menghisap hidungnya, merasa bersalah dan berkata, “Aku yang tidak baik, kamu sudah berusia, masih membiarkan kamu datang jauh-jauh untuk mengunjungiku. Seharusnya aku yang pergi mengunjungi kamu di sana.”

“Kamu sekarang sedang hamil, bagaimana aku bisa tidak khawatir? Kalau kamu bolak-balik, aku akan mengomelmu.” Nurima berkata.

Ellen tersenyum lagi, “Nenek, Tino dan Nino kalau tahu kamu datang, pasti akan sangat senang.”

“Heihei.” Nurima merasa senang.

Dengan tidak sadar, Ellen dan Nurima tidak mengakhiri panggilan mereka sepanjang jalan.

Sono akan memarkirkan mobil di depan villa, dan beberapa unit mobil masuk dari belakang.

Ellen mendengarnya, dan segera membuka pintu untuk turun dari mobil.

Pada saat ini, sosok Dorvo yang kekar juga turun dari mobil yang berada di tengah itu.

Ellen sangat senang, tidak menyangka dirinya dan mereka akan tiba bersamaan.

Ellen melepaskan ponselnya, dan bergegas melangkah menuju Dorvo, dengan suara yang jernih, “Kak.”

Dorvo melihat Ellen berjalan dengan cepat, dan mengerutkan keningnya, “Lambat dikit.”

Ellen perlahan-lahan melambatkan langkahnya, ke depan, ketika menghadapi Dorvo tidak seperti di kota Rong dengan sedikit gelisah, dan memeluknya, “Kak, aku kangen kamu.”

Dorvo membeku, dengan mata terkejutnya, dan menundukkan kepalanya untuk melihat Ellen yang berada di dalam pelukannya.

Ellen memeluk dengan erat.

Dorvo menggerakkan sudut bibirnya, dengan tidak ada pilihan lain, dia mengulurkan tangannya untuk memeluk Ellen, dan berkata dengan lembut, “Sudah, Nenek masih di dalam mobil.”

“Ah, iya.”

Ellen tergesa-gesa untuk melepaskan pelukan dengan Dorvo, dan berbalik menuju dalam mobil.

Ketika pintu mobil dibuka, tampaklah sebuah tangan terulur, “Ellen.”

“Nenek.” Ellen memegang tangan Nurima, dan tertawa dengan sangat senang.

Nurima perlahan-lahan turun dari mobil.

Ellen memeluk Nurima, “Nenek.”

“Aiyo.” Nurima mengulurkan tangannya dan menepuk pundak Ellen, lalu menatap Dorvo yang berada di samping dengan senyum, “Aku masih mengira kamu hanya nampak kakakmu saja.”

Ellen tersenyum, dan memeluk erat Nurima.

Nurima membiarkan Ellen memeluknya, dan juga tertawa hingga mulut ternganga.

Dorvo melihat Ellen dan Nurima sudah berpelukan hampir lima menit, dan masih belum berniat untuk menyudahi pelukan mereka, dirinya terdiam.

Pada saat ini, sosok dengan postur tinggi dan kekar muncul di samping Dorvo.

Dorvo menyipitkan mata pada orang di sebelahnya, dan tidak mengatakan apa-apa.

Ellen memeluk Nurima sejenak lagi, baru melepaskan Nurima, lalu menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumah, ketika matanya melirik ke arah Dorvo, Ellen melihat sosok pria di samping Dorvo, “Samsu Ming?”

Ellen kaget!

Kenapa pria itu ikut datang juga?

Ellen menarik nafas, dan pergi ke hadapan Dorvo.

Dorvo tidak berekspresi.

Ellen benar-benar!

Samsu mengenakan pakaian kasual, sweater hitam ditambah dengan setelan kasual dengan warna yang sama, celana kasual sembilan poin, dan sepatu kets putih.

Tidak dapat disangkal, di mana pun orang-orang seperti Samsu ditempatkan, tidak akan ada yang mempertanyakan mengenai ketampanannya.

Pakaiannya yang kasual, mengungkapkan kepribadiannya yang luar biasa.

Samsu tidak berkata apa pun dari tadi, dan hanya menatap Ellen dengan matanya yang penuh asmara.

Melihat ekspresi Ellen dari kaget menjadi tidak bisa berkata apa-apa hingga kusut dan tertekan, sampai sekarang sudah agak tenang, kemudian baru mengangkat sudut bibirnya, lalu maju beberapa langkah ke hadapan Ellen, kemudian matanya tertuju pada Ellen, “Ketika kamu tiba-tiba meninggalkan kota Rong, sedikit pertanda pun tidak ada, karena itu, aku merasa kehilangan sesuatu sangat lama.”

Mata Ellen berkedut.

“Aku selalu ingin bertemu dengan kamu. Jadi kali ini mengetahui kakakmu akan mengunjungimu ke kota Tong, aku ikut datang. Tambah aku, kamu tidak keberatan kan?” Samsu berkata.

Akan, sangat keberatan!

Tetapi kondisi seperti sekarang ini, bagaimana dia dapat mengusirnya? Bagaimanapun pria itu juga datang dari jauh-jauh, sebelumnya di kota Rong juga sangat perhatian terhadap Nino dan Tino, lagi pula pria itu datang barengan dengan Dorvo dan Nurima……

Apabila mengusirnya, bukannya tidak memberi muka terhadap Dorvo dan Nurima?

Ellen cemas, dan perlahan-lahan menyipitkan matanya ke Dorvo.

Dorvo menggerakkan alisnya.

Ellen menarik nafas, dan menatap Samsu sambil berkata, “Orang yang datang adalah tamu, bagaimana aku akan keberatan?”

Samsu menatap Ellen, perlahan-lahan mengerakkan bibirnya, “Kalau begitu aku menjadi tenang.”

Ellen membuka matanya, dan berkata, "Ayo masuk."

……

Ellen membawa mereka bertiga masuk ke dalam villa, dan duduk di atas sofa ruang tamu tidak sampai lima menit, William pun pulang.

Sepertinya mengetahui Nurima dan Dorvo akan datang, jadi sengaja pulang lebih awal.

Sebenarnya, William sudah mengetahui terlebih dahulu bahwa Nurima dan Dorvo akan datang, makanya, mobil Dorvo dan Nurima, bisa masuk ke dalam villa dengan lancar.

Hanya saja William sama dengan Ellen, tidak mengetahui bahwa Samsu ikut datang juga.

Melihat Samsu di ruang tamu, mata dingin William perlahan-lahan menjadi tajam.

“Su……kamu sudah pulang.”

Awalnya Ellen ingin memanggil “Suamiku”, tetapi ketika hendak memanggilnya, matanya melirik ke arah Nurima dan Dorvo, sedikit malu, dan segera berhenti, dan berkata.

William menatap Ellen, dan menjawab “Um”.

Ellen bergumam, dan menggerakkan tenggerokannya dengan hati-hati.

“Nenek.” William menatap Nurima dengan hormat.

“Iya.” Nurima menjawab dengan tersenyum, “Kamu ini ya, bukannya aku sudah memberi tahu? Pekerjaanmu sibuk jadi tidak perlu sengaja pulang lebih awal.”

William hanya menganggukkan kepalanya.

Lalu melirik sejenak ke Dorvo, dan tidak berkata apa pun, kemudian melirik ke arah Samsu.

“Presdir Dilsen anggap saja aku adalah keluarga Ellen.” Samsu berkata dengan tersenyum sambil menatap William.

Ellen terdiam.

Wajah William tidak berekspresi, lalu berjalan ke samping Ellen dan duduk di sebelahnya, dia menundukkan kepalanya, matanya menatap Ellen, dengan suara yang lembut, “Mengapa kamu tidak memberi tahu aku sebelumnya, keluarga kita dan keluarga Ming adalah saudara.”

Keluarga Nie dan Dilsen sekarang sudah sekeluarga, William otomatis menjadi anggota dari keluarga Nie, dengan menyebut”Keluarga kita”, tidak ada masalah!

Ellen mengerutkan keningnya, dan tersenyum.

Novel Terkait

Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
4 tahun yang lalu
Get Back To You

Get Back To You

Lexy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
3 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu