Hanya Kamu Hidupku - Bab 145 Hati-Hati Aku Tidak Membiarkanmu Pergi

Vima, “.......” Dia menatap Venus dengan tatapan rumit dan asing.

Pihak sekolah mengadakan pemeriksaan kesehatan seluruh murid SMA kelas 3, Pani segera menelepon Ellen dan bertanya padanya apa yang harus dilakukan.

Ellen bilang dia tidak mendapat pemberitahuan dari wali kelas, dia berpikir mungkin seseorang telah mengaturnya, jadi dia memberitahu Pani seperti ini.

Pani mendengar dan merasa lega.

Setelah selesai bertelepon dengan Pani, Ellen mengambil ponsel dan tertegun sejenak, lalu pergi ke ruang studi.

Di saat membuka pintu ruang studi, dia melihat William duduk di kursi dan sedang bertelepon.

Melihat kepala kecil yang masuk melalui celah pintu, sudut mulut William terangkat, dan melambaikan tangan padanya.

Ellen mengeluarkan lidahnya, dan pelan-pelan masuk ke dalam, lalu menutup pintu ruang studi.

Ellen tidak mengganggunya, dia duduk di sofa dengan tenang dan menunggunya.

Mungkin karena melihat Ellen masuk, tidak lama kemudian William langsung mengakhiri pembicaraan.

Ponsel hitam berputar di ujung jarinya dan dia meletakkannya di atas meja.

Sosok tubuhnya yang besar tinggi berdiri dari belakang meja, berjalan mengitari meja ke arah Ellen yang sedang menatap padanya.

“Belum mau tidur?”

William duduk di sebelah Ellen, mengulurkan tangan dan memeluknya, mencium rambutnya, dan menatapnya dengan tatapan lembut, lalu bertanya.

Ellen meletakkan tangan di dadanya, jari-jarinya yang putih memainkan kancing di kemejanya, “Pani baru saja meneleponku, katanya besok ada pemeriksaan kesehatan di sekolah.”

"Yah. Kamu tidak harus pergi." William berkata.

Ellen mengedipkan bulu matanya yang panjang, dia mengangkat matanya yang bersinar menatap William, dan tersenyum berkata, “Apakah kamu sudah mengaturnya?”

William menundukkan matanya mencium di bibirnya, "Ya."

Ellen mengangkat tangannya merangkul di lehernya, dan mencium sudut bibirnya dengan kuat, lalu berkata, "Terima kasih, paman."

William tersenyum, senyumannya terlihat seksi dan mempesona, dia mencubit dagunya dan berkata, “Pergi tidurlah.”

“Apakah kamu masih sibuk?” Ellen mengangguk dan berkata.

“Sebentar lagi, kamu tidur dulu.” William mengelus kepalanya, memeluknya dan berjalan menuju pintu studi.

Ellen dibawa olehnya.

Tiba di pintu, ketika William membuka pintu, Ellen tiba-tiba memutar kepala dan menaikkan tumit kakinya, kedua tangan menarik baju di bagian dadanya, menundukkan bulu matanya dengan lembut, dan mencium bibir William, lalu berkata dengan lembut, "Paman ketiga, selamat malam."

Hati William hampir meleleh, dia menatap wajah Ellen yang cantik dan polos dengan tatapan mendalam, “Kalau begitu terus, hati-hati aku tidak akan membiarkanmu pergi.”

Ellen mengedipkan matanya padanya, dan berkata dengan percaya diri, “Kamu tidak akan melakukannya. Sekarang, dia adalah bos terbesar.”

Ellen menyentuh perutnya sendiri.

William tersenyum, menyentuh hidungnya, dan pura-pura serius, “Cepat pergi!”

“Aku tahu.” Ellen mengerutkan hidungnya, “Paman, kamu jangan terlalu malam, dan kurangi minum kopi.”

William hanya tersenyum tidak berkata.

Ellen menghela nafas dalam hati, pria ini sudah hampir menjadikan kopi sebagai minuman utama setiap harinya.

Berdiri di pintu ruang studi, melihat Ellen berjalan kembali ke kamarnya, William barulah tersenyum lembut, masuk ke dalam ruang studi, dan menutup pintunya.

.........

Pada akhir pekan, ketika Ellen bangun jam 10 pagi, William sudah pergi ke perusahaan.

Ellen turun ke lantai bawah, duduk dan makan sarapan di meja makan, sambil melihat perlengkapan bayi secara online melalui ponselnya.

Ya, ini menjadi hobi terbesarnya akhir-akhir ini selain belajar.

Melihat pakaian bayi yang lucu di toko online, hati Ellen seolah-olah direndam air hangat, terasa hangat dan segar.

Kadang-kadang tidak menahan diri tersenyum sendiri ketika melihat pakaian-pakaian itu, dan membayangkan anak mereka mengenakan pakaian-pakaian yang imut itu.

Darmi berjalan melewati ruang makan, melihat Ellen menatap pada ponsel dan tersenyum sendiri, dia merasa lucu dan tersenyum, “Nona, kalau kamu terus memainkan ponselmu sambil makan, aku akan memberitahu Tuan.”

"Jangan." Ellen segera meletakkan ponselnya dan menatap Darmi dengan tatapan memohon, “Bibi Darmi, jangan beritahu Paman ketiga, dia memang melarangku menggunakan ponsel, kalau dia tahu aku menggunakan ponsel di saat makan, ponselku pasti akan disita, dan pasti akan memperlihatkan wajah suram padaku.”

“Ya. Bagus kalau kamu tahu. Cepatlah makan” Darmi tersenyum berkata.

Karena dia merasa kalau William tahu diam-diam Ellen melakukan seperti ini, apa yang dia katakan tadi pasti akan terwujud satu per satu.

Ellen memberikan sebuah gerakan "OK" padanya.

Darmi hendak berjalan menuju ruang tamu, tetapi baru mengambil dua langkah, dia langsung berbalik.

Dan kebetulan melihat cakar Ellen ingin menyentuh ponsel.

"Uhuk." Darmi mengerutkan kening, dan batuk mengingatkannya.

Wajah Ellen terasa panas, dia menarik tangannya dengan malu dan tersenyum, Hehe, aku menyangka kamu sudah pergi."

Darmi menggelengkan kepalanya, “Nona, sekarang kamu adalah ibu hamil, ponsel memiliki radiasi yang kuat, kamu tidak boleh terlalu sering memainkannya, tahukah?”

Darmi teringat ini, makanya kembali untuk memberitahu Ellen.

"Aku tahu Bibi Darmi." Ellen berkata dengan patuh.

Ellen juga sangat mengendalikan diri, bagi seorang gadis yang kecanduan internet, sejak dia hamil, ponsel di tangannya setiap hari tidak lebih dari satu jam, karena takut radiasi akan melukai kecambah kecil di perutnya.

Setelah mendengar ini, Darmi baru pergi dengan tenang.

Melihat Darmi pergi, Ellen melirik dengan enggan pada piyama bayi berbulu yang muncul di layar ponselnya, kemudian diam-diam dia mengulurkan jari tangannya, mendorong ponsel menjauh dari depannya, dan fokus pada sarapannya.

Setelah menghabiskan bubur di mangkuk, Ellen menyentuh perutnya dengan puas, menyeka mulutnya, bangkit dan mengambil ponselnya, berjalan ke luar dari ruang makan.

Namun sebelum keluar dari ruang makan, ponselnya langsung bergetar.

Ellen tertegun, berhenti melangkah dan melihat ponselnya.

Ketika melihat nama penelepon yang berkedip di layar ponsel, wajah Ellen yang putih menjadi kaku, membuka lebar matanya menatap layar ponsel.

Ini........ Vima Wen!

Sudah seminggu sejak terakhir dia mengirimkan pesan padanya.

Dan dalam minggu ini, Ellen selalu menunggu balasannya dari perasaan cemas, hingga sengaja tidak memikirkannya, dia telah mengalami penderitaan dan kekecewaan sekali demi sekali.

Jadi sekarang melihat panggilan telepon dari Vima, Ellen sedikit tidak berani percaya.

Hingga ponsel kembali tenang di telapak tangannya, Ellen langsung panik, wajahnya menjadi tegang, mengambil telepon dan ingin segera menelepon kembali.

Sebelum jarinya menyentuh layar ponsel, ponselnya berdering lagi di telapak tangannya.

Ellen menatap pada kata “Bibi Wen” yang berkedip di layar ponselnya, dia menggigit bibir bawahnya, tanpa merasa ragu, langsung menjawab panggilan telepon, dan meletakkannya di telinga.

Begitu ponsel menempel di telinganya, Ellen tanpa sadar menahan nafasnya.

“Ellen.” Vima memanggil dengan hati-hati.

Ellen memegang erat ponselnya, mencoba menenangkan dirinya, “Ada apa?”

"...... Maaf," Vima berkata.

Mata Ellen berlinang, tetapi suara yang dia keluarkan agak serak, “Maaf karena apa?”

“Ellen, bisakah kamu keluar? Aku ingin memberitahumu secara langsung. Bisakah?” Vima berkata dengan nada suara memohon.

Ellen menundukkan bulu matanya yang panjang, dan mengedipkan matanya.

“Ellen, ibu memohon padamu.” Suara Vima terdengar sedih.

"....... Oke." Akhirnya hasratnya hendak mendapatkan cinta dari ibunya tidak tertahan lagi, dan dia juga ingin tahu kebenaran dari kecelakaan mobil pada saat itu.

"Oke, kalau begitu kita bertemu di Lanyuan, oke?"

"Ya."

Selesai berkata, tidak menunggu Vima berkata, Ellen langsung menutup telepon.

Setelah berdiri beberapa detik di ruang makan, Ellen memegang erat ponselnya, kemudian berjalan keluar dari ruang makan dengan cepat, dan berjalan ke atas melalui ruang tamu.

Darmi sedang membersihkan ruang tamu, dan ketika melihat Ellen bergegas ke atas, matanya muncul kebingungan.

Tidak sampai lima belas menit, Ellen sudah berpakaian rapi turun dari lantai atas.

Darmi tertegun, menatap pada Ellen, "Nona, kamu?"

Ellen menggantung tas di bahunya, tangannya memegang tali tas, dan berkata pada Darmi, "Bibi Darmi, aku akan keluar sebentar."

Selesai berkata, Ellen berjalan menuju ke luar.

Darmi meletakkan kain lapnya dan mengikutinya.

Melihat Ellen berdiri di pintu masuk dan sedang mengganti sepatu, Darmi bertanya, “Nona, apakah ada sesuatu yang terjadi?”

“Ya.” Ellen mengenakan sepatu putih, memutar kepala menatap Darmi, kemudian berjalan keluar.

Darmi segera mengikutinya keluar.

Melihat dia naik mobil, tidak lama kemudian Suno bergegas datang dari belakang villa dan juga masuk ke mobil.

Darmi menarik napas dan melangkah cepat menuruni tangga, memandang Ellen di dalam mobil dengan khawatir, “Nona, hati-hati.”

Ellen mengangguk pada Darmi.

Kemudian Suno mengendarai mobil, berbalik dan menuju ke arah pintu villa.

Darmi mengerutkan kening, melihat mobil Jeep menghilang di depan matanya, dia menggenggam erat tangannya, berbalik, dan kembali ke villa, tiba di ruang tamu, dia mengambil telepon rumah, dan memutar nomor telepon William.

.......

Ketika Ellen tiba di Lan Yuan, Vima sudah tiba dan sedang berdiri di pintu.

Melihat Ellen keluar dari mobil, Vima langsung menyambutnya dengan gugup, “Ellen.”

Ellen meliriknya, menjilat bibir, memutar kepala dan melambai tangan pada Suno, lalu masuk bersama Vima.

Suno melihat Ellen masuk bersama Vima, kemudian dia siap-siap akan pergi.

Namun ponselnya berdering saat ini.

Suno tertegun, dan tidak terburu-buru pergi, dia mengeluarkan ponsel dari tasnya.

Ketika melihat nama penelepon yang muncul di layar ponsel, Suno segera duduk tegak dan menjawab telepon, "Tuan."

“Di mana Ellen?” Terdengar suara William dari dalam telepon.

“Nona baru saja masuk ke kafe bersama seorang wanita, kafe Lanyuan.” Suno berkata.

William berhenti sejenak, kemudian langsung memutuskan panggilan telepon.

William mendengar suara Tuk Tuk dari ponselnya, dan sudut mulutnya bergetar.

Hatinya berbisik, apakah Tuan terlalu ketat pada Nona?

Dan, mengapa setiap kali dia mengantar Nona keluar, dia selalu tahu?

........

Di dalam Kafe, Vima membuka sebuah kamar pribadi, memesan dua cangkir teh susu dan beberapa makanan ringan.

Ketika pelayan mengantarkan teh susu dan makanan masuk ke dalam, Ellen dan Bima belum mulai bicara.

Ellen memutar kepalanya ke jendela, sementara Vima menatap Ellen dengan matanya yang memerah.

Setelah pelayan mengantarkan teh susu dan makanan ringan, lalu keluar, Vima baru mulai berkata dengan suaranya yang serak.

Novel Terkait

Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu
The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu