Hanya Kamu Hidupku - Bab 268 Sudah Pulang

“Anggaplah aku memohon padamu ok?” dengan suara pelan Ellen menyelesaikan kalimat ini, air matanya seketika mengalir dengan lebih deras lagi.

William yang melihat Ellen sebegitu emosionalnya, dalam hati sudah tahu saat ini tidak ada gunanya dirinya berkata-kata lagi, lebih baik memberinya waktu untuk menenangkan dirinya lebih dahulu.

Karenanya itu ia melepaskan Ellen dan berdiri, membungkukkan badannya sedikit kemudian berjalan keluar dari ruangan itu.

Samir dan orang-orang lainnya yang mulanya melihat kearah kabin dalam, saat melihat William keluar, seketika mengalihkan pandangan mereka kearah yang lain.

Bahkan Tino dan Nino juga diam-diam menundukkan kepala kecil mereka.

William berjalan keluar, seperti seorang Buddha duduk dikursi didekat pintu kabin dalam, kedua alisnya berkerut kearah hidungnya, bibir tipisnya tertarik lurus tidak berkata-kata.

Samir melirikan matanya kearah William, melihat wajah William yang murung hingga tak berbentuk, ia berencana untuk membuka mulut berbicara apapun untuk sedikit menghiburnya.

Belum sampai mulutnya terbuka ia langsung ditarik oleh Frans.

Samir melihatnya dengan tatapan kebingungan, diam tercengang sambil melihat Frans.

Frans menyipitan matanya, menatapnya dengan senyuman dingin, membuat sebuah gerakan tangan memotong leher dengan ekspresi mengerikan kepadanya.

Mata Samir seketika melotot, sesaat langsung menghilangkan niat “menghibur” William yang direncanakannya.

Juga mempertimbangkan waktu istirahat Ellen dan kedua bocah itu, William baru pada akhirnya memutuskan untuk berangkat pada pukul 4 subuh, dengan begini tidak akan terlalu mempengaruhi jam istirahat mereka.

Tino dan Nino adalah pertama kalinya naik pesawat, ditambah lagi ini adalah sebuah helicopter, kedua terlihat agak bersemangat, kakak-beradik itu tidak takut ketinggian, bersandar kejendela dan melihat kearah luar, meskipun semuanya sangatlah hitam pekat, apapun juga tidak terlihat.

Satu jam kemudian, helicopter sudah mendarat diatap tempat hiburan Bintang eksklusif dikota Tong.

Sumi dan mereka berdua melirik kearah William, kemudian menggunakan selimut dan membungkus erat-erat kedua bocah itu, menggendong mereka turun dari helikopter.

William tenggelam dalam tatapannya melihat beberapa orang itu turun, tangan besarnya yang elegant menggenggam, kemudian melihat kebagian kabin dalam, belum sampai mengulurkan tangan untuk membuka pintu, juga tidak mengeluarkan suara memanggil orang yang berada didalam.

Kurang lebih 10 detik berlalu, pintu kabin dalam terbuka dari bagian dalam.

Tatapan mata William menyipit sedikit, tatapannya membeku kearah wanita kecil yang membungkukkan badannya keluar dari pintu itu.

Sayang sekali.

Wanita kecil itu sepertinya tidak melihat kearahnya, berjalan lurus langsung kearah pintu keluar helikopter.

Meskipun William sudah mempersiapkan diri untuk “dicuekan”, tetapi saat benar-benar merasakan rasa itu, baru merasakan apa yang dipersiapkan oleh hati semua hanyalah sekedar kata-kata.

Karena masih penuh dengan kemarahan, kekecewaan.

Sumi melawan angin menunggu diluar, melihat Ellen yang muncul, ia pun mengulurkan tangannya.

Kepribadian Ellen mirip dengan Nurima, dapat membedakan dengan baik antara benci dan cinta.

Seseorang adalah seseorang, Sumi adalah Sumi.

Ia tidak mungkin membawa amarahnya kepada orang lain.

Karenanya ia dengan menurut menjulurkan tangannya, memberikannya kepada Sumi.

Sumi menggenggam tangannya erat, menggandengnya turun.

Melihat Ellen yang hanya menggunakan pakaian tipis, saat itu juga melepaskan mantel berbulunya dan membungkuskannya ketubuh Ellen, “ kota Tong tidak dapat dibandingkan dengan kota Rong, disini saat ini masih dingin. Pergilah, kakak keempat dan kelimamu sudah menunggumu didepan.”

Ellen memegang erat mantel bulu itu, melihat beberapa saat Sumi yang hanya mengenakan baju hitam turtle neck itu, memberatkan bibirnya sedikit, “Paman Sumi……”

“Sudah.” Sumi tersenyum, “Paman Sumi adalah pria sejati, bisa menahan ini. Pergilah.”

Ellen terdiam sejenak, tidak lagi bertahan, ia memasukkan lehernya kedalam mantel itu dan menghela nafas, ternyata kota Tong jauh lebih dingin dari kota Rong, kemudian ia menundukkan kepalanya dan berjalan dengan cepat kedepan.

William keluar dari helicopter, melihat Ellen yang terbungkuss didalam mantel Sumi, menyipitkan matanya, “Benar-benar wanita mungil!”

Sumi 188, mantelnya juga adalah mantel yang panjang, Ellen yang dengan tinggi 166 dibungkus dengan mantel Sumi, langsung terbungkus dari kepala hingga kekaki. Ditambah lagi dengan bahunya yang terangkat sambil berjalan maju kedepan membuat kakinya pun tidak terlihat, makin membuat ia terlihat wanita kecil yang kasihan.

“……” Sumi melihat William yang telihat cangguh, tertawa, “Kamu tahan saja dahulu, hati Ellen masih ada sedikit emosi, kamu berharap dia akan memberikanmu ekspresi wajah yang baik?”

William dengan suara rendah hum, kemudian berjalan kedepan dengan langkah besar.

Sumi naik kedalam helicopter, berkata sesaat kepada pilot kemudian turun dengan langkah cepat, berlari-lari kecil mengejar William, “Aku ditengah kota sudah menyiapkan sebuah kamar, biarkan Ellen dan kedua bocah itu tinggal disana untuk sementara waktu……”

“Tidak. Kembali ke Coral Pavillion.” William menjawab dengan suara rendah dan mata gelapnya memandang dalam.

Sumi terdiam sebentar, beberapa detik kemudian menganggukkan kepala, “Baiklah.”

……

Karena ini musim dingin, pukul 6 hingga 7 pagi, langit masihlah hitam pekat, tidak ada sinar sedikitpun yang masuk kedalam.

Tahun baru imlek baru saja lewat, lentera berwarna-warni dijalanan masih belum dibereskan, tiap sudut terlihat terang berkilau, memberikan aura kebahagiaan.

Mobil bergerak menembus gemerlap lamp-lampu kota.

Ellen melihat jalanan luar dari dalam jendela mobi, baru saja 4 tahun, kota yang mulanya sangat familiar ini sebenarnya sudah banyak berubah, membuat orang merasakan rasa familiar dan disaat yang bersamaan juga menimbulkan rasa asing.

Pokoknya, perasaan Ellen sangat kacau.

30 menit kemudian.

Mobil terus-menerus memasuki jalanan menuju Coral Pavillion, hingga pintu besi “Orang luar dilarang masuk” itu.

Ellen mengeratkan tangannya, tiba-tiba mulutnya menarik nafas dalam-dalam, mengigil dari ujung hati, sangatlah jelas.

Tino dan Nino duduk dikursi pengaman disamping kiri dan kanan Ellen, melihat dengan penasaran sepanjang perjalanan.

Sumi bertanggung jawab untuk menyetir, William duduk disamping kursi setir, sepasang bola mata hitam menatap dalam wanita kecil yang duduk dikursi belakang melalui kaca spion luar mobil dalam diam, menyimpan tiap goretan perubahan diwajah kecilnya…… kedalam tatapannya!

5 menit kemudian.

Mobil berhenti dipintu depan villa.

Frans dan Samir sudah turun dari dalam mobil, berdiri disamping mobil sambil melihat kearah kemari.

Sumi melihat sekilas Ellen dari kaca spion mobil, kemudian membuka pintu dan turun dari mobil, berjalan hingga pintu belakang mobil dan menarik pintu mobil, menggendong Tino yang terbungkus selimut dari kursi pengaman keluar mobil.

William menarik pandangan matanya kemudian mendorong pintu mobil dan turun.

Menunggu William juga menggendong Nino turun dari mobil, didalam mobil hanya tersisa Ellen seorang diri.

Ellen menggenggam tangannya erat, matanya menyiratkan sedikit kekosongan menatap pintu besar villa yang familiar itu, 22 tahun, pertama kalinya merasakan apa yang disebut dengan “Dekat dirumah tetapi asing dirumah”.

Disaat ini langkah terburu-buru terdengar dari arah dalam villa.

Ellen melihat bayangan orang berlari keluar dari arah dalam.

“…… Tuan.”

Darmi tidak tahu William hari ini kembali, ia saat ini sedang berada diruang tamu membersihkan ruangan, mendengar suara mesin mobil baru berlari keluar.

Melihat William, Frans dll, Darmi kebingungan.

Dan lagi melihat William dan Sumi masing-masing memeluk bocah kecil, mata Darmi seketika membulat melihatnya, semakin dilihat semakin tidak mengerti.

“Bi Darmi……”

Suara lembut dan penuh kebahagian terdengar dari dalam mobil.

Darmi terkejut, tiba-tiba melihat kearah mobil.

Ini, ini apakah ia salah mendengarkan?

Suara ini……

“Bi Dami.”

Sebuah tubuh “besar” keluar dari dalam mobil.

Mata Darmi menatap erat-erat.

Saat ini, langit sudah mulai terang, ditambah diluar villa ini dipasangkan lampu penerangan.

Disaat Ellen turun dari mobil, meskipun tubuhnya masih terbalut mantel besar Sumi, Darmi tetap dapat langsung mengenalinya.

Darmi menutup mulutnya tidak percaya, bola matanya yang bulat itu, tidak tahu terkejut takut ataupun terkejut bahagia.

“Bi Darmi……”

Ellen maju beberapa langkah kedepan, kemudian berhenti dengan malu-malu.

Karena tiba-tiba ia teringat.

Ia sekarang adalah orang yang “mati” empat tahun lamanya.

“Ahh……”

Darmi tiba-tiba berteriak, bergerak dengan tergesa tetapi juga seperti efek drama bahagia dengan bergegas menuju kearah Ellen, awalnya ingin memeluk Ellen tetapi terhalang dengan posisinya, Darmi menahannya, tetapi juga dengan semangat dalam sekali hentakan menggenggam erat tangan Ellen, “Nona, apakah ini kamu? Apakah ini kamu?”

Ellen melihat mata Darmi yang merah, mengangguk dengan semangat, “Ini aku bi Darmi, aku…… tidak apa-apa.”

“Aduh, aduh……”

Darmi terkejut bahagia dengan air mata, melihat Ellen dari atas kebawah, dengan satu tangannya mengelus Ellen dari bahu hingga kebawah, tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

“Bi Darmi, apakah kamu baik-baik saja?”

Ellen juga melihat-lihat Darmi berkali-kali kemudian bertanya.

“…… aku baik, aku sangat baik!”

Ditengah-tengah bicara Darmi, ia mengeluarkan tangannya menghapus air mata disudut matanya, teringat akan sakit hati 4 tahun lalu disaat mendengar berita mati Ellen, ditambah keadaan William 4 tahun ini, Darmi…… tidak dapat menahan rasa sedih dan sakit dalam hatinya.

“Masuk kedalam dulu.”

William melihat pemandangan saling berjumpa antara Ellen dan Darmi, mungkin agak sedikit tergerak, suaranya agak sedikit melembut.

Ellen mendengar suara William yang seperti ini, bulu matanya sedikit bergerak menutupi matanya.

Darmi kembali mengelap matanya, “Lihat aku, begitu gembiranya hingga lupa akan segalanya. Diluar dingin, cepatlah masuk kedalam.”

Kemudian, mereka semua masuk kedalam villa.

Darmi tinggal sendirian didalam villa, disaat bangunpun ia tidak menyalakan penghangat.

Ellen begitu berjalan memasuki villa, langsung disambut dengan sebuah rasa suram.

Ellen tidak dapat menghindar untuk menghirup udara dingin itu, berdiri dipintu masuk, melihat kearah dalam villa.

Berada didalam mobil dalam perjalanan pulang, Ellen merasa perubaha dikota kota Tong cukup besar. Tetapi didalam villa, tidak peduli itu dekorasi maupun bangunan, semuanya tidak ada bedanya dengan saat ia meninggalkan tempat ini.

Hanya saja, jelas-jelas tidak ada yang berubah, ia tetap merasa sepi…… membuat orang merasa suram.

“Tidak ganti sepatu?”

Suara dingin seorang pria terdengar jelas dari sebelah telinganya.

Ellen terkejut, dengan mata besarnya yang panik melihat kebelakang, melihat pria tinggi besar yang berdiri dalam diam dibelakangnya.

Bibir kering kemerahannya mengkerut.

Ia baru saja merasa villa suram…… William langsung membuka mulut.

Ellen seketika itu, merasa dirinya memasuki…… rumah hantu.

Ia benar-benar tidak berlebihan.

Villa yang saat ini, benar-benar membuatnya merasa seperti ini.

“Kenapa melihat aku?” sepasang mata William yang menatap Ellen itu, seperti sebuah sumur dalam kuno yang memiliki kekuatan untuk menghisap, menghisap Ellen dalam-dalam.

Ellen menarik nafas beberapa kali, bulu kuduk dipunggungnya sangat terasa, dengan cepat menoleh kembali dan mengenakan sandal yang tidak tahu sejak kapan sudah tersedia disebelah kakinya, benar-benar seperti ada hantu yang mengejar dibelakangnya, berjalan kearah ruang tamu yang ternyata kemudian berlari kecil kesana.

William berdiri terdiam didepan pintu, melihat Ellen yang berlari ke sofa ruang tamu dan langsung bersempitan duduk ditengah-tengah Frans dan Samir, sebuah wajah kecil yang berjalan dengan segitu paniknya, masihlah saja putih.

William menggenggam tanganya, mata hitamnya melihat berputar keseluruh villa dalam diam, dalam diam pula mengganti sepatunya dan kemudian masuk kedalam.

Darmi yang melihat Ellen pulang dalam keadaan baik-baik saja, dalam hatinya menyimpan banyak sekali kata-kata yang ingin diceritakan dengannya, tetapi melihat begitu banyaknya orang yang berada disini, ditambah lagi mereka semua belum makan pagi, ia pun pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Samir melirik kearah Ellen, melihat wajah Ellen yang putih tegang, sepasang mata hitam yang melihat-lihat keseluruh penjuru villa, bibirnya menaik tersenyum sedikit dan berbicara dengan suara rendah ditekan disamping Ellen, “Kenapa, tidak mengenali rumahmu sendiri?”

Ellen melirik sekilass kearah Samir, tidak berkata-kata.

Rumah, ia mengenali. Tetapi…… rasanya tidak sama.

Disini, terlalu dingin!

“Ei……”

Saat ini, Nino tiba-tiba membulatkan sepasang mata bulatnya, melihat kearah satu tempat, dengan kaget berteriak “Ei”.

“……”

Novel Terkait

Mr Huo’s Sweetpie

Mr Huo’s Sweetpie

Ellya
Aristocratic
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
3 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu
 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu