Hanya Kamu Hidupku - Bab 306 Panas

Hansen gemetaran ketika dia berbicara dan air matanya pun mengalir.

Ellen memegang tangan Hansen yang kering dengan erat dan wajahnya dibasahi oleh air mata. Lalu dia menatap Hansen dan berkata : “ Kakek, tolong pukul aku atau marahi aku. ”

Hansen menatap Ellen dengan tatapan dalam, lalu dengan suara serak berkata : “ Kakek akan merasa sedih jika kakek memukuli ataupun memarahimu. ”

“ Aku pantas menerimanya! Aku bukan anak yang berbakti! ” Ellen berkata sambil menangis.

Hansen tidak bisa mengatakan apa-apa melihat Ellen yang seperti ini.

Bagaimana cara dia memberitahunya tentang penyesalannya?

“ Kakek... ” Ellen memanggilnya dengan suara serak, lalu menatapnya dan berkata : “ Kamu tidak memarahiku dan juga tidak memukuliku, apakah kamu sudah tidak mau mengakuiku? ”

“ Memerlukan energi untuk memukuli dan memarahimu. ” Hansen merasa tertekan dan matanya merah. Lalu dia berkata : “ Kamu sangat patuh, bagaimana mungkin kakek bisa tidak mengakuimu? Ellen... selama kamu masih bersedia memanggilku kakek, kakek akan selalu menjadi kakekmu. ”

“ Kakek, kakek, kakek... ” Ellen menggenggam tangannya dan terus memanggilnya.

Hansen mendengarnya sambil menatapnya dan beberapa saat kemudian, dia menangis.

Setelah pukul sembilan, Hansen dan Ellen baru keluar dari restoran itu.

Sobri memberhentikan mobil di depan gerbang dan berdiri di depan mobil menunggu Hansen.

Melihat Hansen keluar bersama dengan seorang wanita yang mirip dengan Ellen sambil tertawa, Sobri merasa terkejut dan dia pun berdiri tegak seperti patung.

Ketika Ellen dan Hansen melihat sikap Sobri yang seperti itu, mereka berdua tersenyum, tetapi senyuman itu penuh dengan kepahitan.

Ketika berjalan menyampiri Sobri, Ellen menghela nafas, lalu menatapnya dengan anggun dan berkata : “ Paman Sobri, sudah lama tak bertemu. ”

Sobri : “... ”

Dia menatap lurus ke Ellen, dan tercengang mendengar perkataannya.

Setelah beberapa saat, Ellen melihat Sobri masih melihatnya seperti itu, dia pun tersenyum dan memandang Hansen. Lalu dia mengedipkan mata pada Sobri dengan wajahnya yang menawan dan berkata : “ Sepertinya paman Sobri telah melupakanku, jadi mungkin aku harus memperkenalkan diriku lagi. Aku... ”

“ Nona? ”

Sobri menarik nafas, lalu dia berkata sambil menatap Ellen dengan matanya yang melebar.

Ellen terdiam dan tersenyum padanya.

Sobri : “... ” Dia tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatinya yang terkejut saat ini.

.....

“ Kakek, ini adalah nomor teleponku. Tolong kabari aku ketika kamu tiba, dan... ”

Ellen meletakkan kertas yang tertulis nomor teleponnya di tangan Hansen dan berkata sambil tersenyum : “ Jika kamu merindukkanku, kamu juga boleh menghubungiku. Aku juga akan meneleponmu kapan saja. ”

Hansen dengan hati-hati melipat kertas itu dan memasukkannya ke saku. Lalu dengan hati-hati memegang sakunya dan mengangguk pada Ellen sambil tersenyum dan berkata : “ Baik, baik. ”

Ellen menutup pintu mobil, lalu berjalan ke arah jendela kursi penumpang dan berkata pada Sobri yang masih sedikit kebingungan : “ Paman Sobri, hati-hati di jalan. ”

“ Iya... ”

Ellen melambaikan tangan padanya.

Sobri memalingkan pandangannya dan menghidupkan mobil.

Ketika mobil sudah dihidupkan, Hansen membuka jendela kursi belakang dan berkata pada Ellen : “ Ellen, bagaimana kalau aku meminta Sobri untuk mengantarkan kamu pulang dulu saja? ”

“ Tidak perlu kakek, aku naik taksi saja. Ini masih belum terlalu malam, jadi masih aman. ” Kata Ellen.

Hansen memandang Ellen lagi dan kemudian berbalik.

Beberapa detik kemudian, mobil pun melaju.

Ellen berdiri di posisinya, melihat ke mobil dan melambaikan tangannya sampai mobil sudah cukup jauh, baru dia perlahan-lahan menurunkan tangannya.

Di dalam mobil, Sobri juga terus melihat Ellen dari kaca spion, dan ketika Ellen sudah tidak terlihat, dia baru mengalihkan pandangannya ke Hansen. Dia melihat Hansen mengeluarkan kertas yang diberikan Ellen, lalu membukanya dan terus menatapnya.

Sobri mengerutkan bibirnya dan dia tidak bisa menahannya lagi, lalu dia pun bertanya : “ Tuan, apa yang terjadi sekarang? Bagaimana mungkin nona masih... ” hidup?

Sobri tidak berani mengatakan kata terakhirnya.

Hansen tidak melihatnya, hanya memegang kertas itu dan berkata : “ Ellenku adalah seorang peri. ”

Sobri keringat dingin.

“ Besok tolong belikan aku ponsel. ” Kata Hansen.

Sobri : “ Tuan, sudah berapa tahun kamu tidak menggunakan ponsel? ”

Hansen meliriknya dan berkata : “ Kenapa? Apakah kamu mengira aku sudah tua sehingga aku tidak bisa menggunakan barang yang berteknologi tinggi? ”

“... Bukan, bukankah kamu mengatakan bahwa kamu tidak terbiasa menggunakannya?

Sebenarnya, yang ingin diungkapkan oleh Sobri sama dengan yang dikatakan oleh Hansen, tetapi apakah dia bisa mengatakannya?

“ Sekarang aku sudah terbiasa. Apakah tidak boleh? ” Hansen kesal padanya.

Sobri tidak berdaya.

Jadi sekarang, nona telah kembali dan temperamen tuan yang dulu juga muncul kembalikah?

Sobri menarik sudut mulutnya dan merasa bahwa hari-hari mendatangnya akan semakin sulit dilewati.

.....

Ketika Ellen sedang naik taksi untuk kembali ke Coral Pavilion, William sedang berada di Mansion Sihe dimana Louis tinggal.

Di aula, William sedang duduk di sofa, lalu mengangkat tangannya untuk melihat jam tangannya dan berkata kepada Louis : “ mama aku pulang dulu. ”

“ Sudah mau pulang? ”

Louis menoleh dan menatap William dengan tatapan yang enggan memintanya untuk pergi.

William mengangguk dan berdiri dari sofa.

“ Sebentar. ” Louis meraih lengannya.

William tertegun dan menatapnya.

“ Kamu sudah besar dan masih tidak bisa merawat dirimu sendiri dengan baik. Lihatlah mulutmu yang kering. ”

Louis berbicara sambil mengambil teko teh di meja, lalu menuangkan secangkir teh dan berkata : “ Minum sedikit teh untuk melembabkan. ”

Louis sudah cukup bahagia. Seorang putra datang untuk mengunjungi mamanya, bagaimana mungkin dia tidak bersyukur.

William menunduk dan dia sangat ingin pulang. Dia pun meraih cangkir itu dan langsung meminumnya.

“ Anak bodoh, itu sangat panas. ” Louis menatap William dengan tidak berdaya.

William tersenyum pada Louis dan berkata : “ Tidak apa-apa. ”

Louis memandang Willian Dilsen dengan perasaan yang sedih. Melihatnya meminum teh, dia pun mengerutkan keningnya dan menunduk.

Setelah William menghabiskan tehnya, dia pun meletakkan cangkir dan menatap Louis sambil mengerutkan keningnya.

Sikapnya seperti ingin mengatakan “ Tehnya juga sudah dihabiskan, apakah dia sudah boleh pulang? ”

Louis mengulurkan tangan dan memegang tangannya yang besar, lalu menatapnya dan berkata : “ Kalian empat bersaudara, dalam setahun hanya mengunjungiku beberapa kali. Dan setiap kali kalian datang mengunjungiku, kalian hanya duduk sebentar, lalu terburu-buru untuk pulang. ”

Louis tertegun sejenak dan kemudian melanjutkan : “ Aku punya pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada kalian berempat. Apakah aku tidak melakukan tugas yang baik sebagai seorang mama sehingga kalian tidak ingin datang menemuiku? Jika iya, beritahulah aku, aku akan mengubahnya. ”

William mengerutkan keningnya dan menatap Louis.

Orang ini selalu tidak banyak bicara, bahkan di hadapan Louis juga demikian.

Meskipun hatinya tersentuh oleh perkataan Louis, tetapi wajahnya tetap terlihat tenang dan kemudian berkata tanpa kelembutan : “ Tidak ada. ”

Louis : “... ”

Kali ini Louis benar-benar merasa sangat sedih, lalu dia berkata : “ Apakah kamu hanya bisa berbicara seperti ini? Aku pasti telah makan sesuatu yang salah saat aku menghamilimu! Kalau tidak, bagaimana mungkin aku bisa melahirkan seorang anak yang sangat tidak berperasaan! ”

Setelah selesai berbicara, Louis merasa sedikit kesal.

William menatapnya dan berkata : “ Jangan dipikirkan. ”

“ Kalian semua seperti ini, bagaimana bisa aku tidak memikirkannya? ” Louis menatapnya dengan mata penuh air mata, lalu dia membungkuk untuk mengambil teko teh dan menambahkannya secangkir teh lagi dan kemudian dia berkata : “ Sepertinya sekarang aku sudah mengerti, aku tidak mungkin bisa mengandalkan kalian berempat. ”

Louis meletakkan teko tehnya, lalu mengambil secangkir teh dan meletakkannya di tangan William dan berkata : “ Jadi, sekarang aku juga tidak mengharapkan kalian lagi. ”

William hanya bisa menerima cangkir teh yang diberikan Louis.

Louis menyipitkan matanya dan berkata : “ Aku sering teringat dengan masa kecil kalian. Ketika kalian masih kecil, kalian selalu lengket denganku, kalian selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Tetapi ketika aku memikirkannya sekarang, anak adalah hal yang paling menyedihkan. ”

William hanya diam sambil mendengarkan. Dia merasakan panas di seluruh tubuhnya, mungkin karena dia sudah tergesa-gesa ingin pulang.

Dia pun membuka dua kancing bajunya. Bibirnya juga semakin kering, jadi dia menyesap tehnya.

Melihat reaksinya seperti itu, Louis pun mengambil cangkir dari tangannya dan meletakkannya di meja.

Dan pada saat itu juga, terdengar suara sepatu hak tinggi dari pintu.

Diikuti oleh seorang wanita yang sengaja jalan berayun memasuki rumah.

William melihat ada seseorang yang datang, dia pun menyipitkan matanya.

Louis melirik William, lalu berdiri dan berkata pada wanita tersebut : “ Eh Rosa sudah datang, silahkan duduk. ”

Rambut panjang Rosa diluruskan, dan dia mengenakan rok putih.

Ketika dia melihat William yang sedang duduk di sofa, dia menunjukkan ekspresi terkejutnya dan berkata : “ Kak William, kamu juga disini? ”

William mengerutkan kening dan tidak menjawabnya. Lalu dia berdiri dari sofa dan berkata : “ mama aku pulang dulu. ”

“ Mengapa sangat terburu-buru. ” Louis meraih tangannya dan jari-jarinya gemetaran ketika dia merasakan emosi di dalam tubuh William. Lalu dia menarik nafas, menatapnya dan berkata : “ mama tiba-tiba teringat bahwa ada sesuatu yang harus dikerjakan. Temani Rosa sebentar, mama akan segera kembali. ”

Setelah selesai berbicara, tanpa memperdulikan William setuju atau tidak, Louis langsung melewatinya dan menatap Rosa sambil berjalan keluar rumah.

Pipi Rosa memerah. Dia memandang Louis yang berjalan keluar, lalu dengan lembut memegang roknya dan berbalik. Kemudian dia menatap William dan berkata : “ Kak William. ”

William memegang kancing kemejanya, sebenarnya dia tidak bisa tahan panas di tubuhnya dan ingin membuka dua kancing lagi. Tetapi tidak tahu kenapa, jari-jarinya mengancing kembali kancingnya, lalu mengerutkan kening dan berjalan menuju pintu.

Mata Rosa menyipit tajam. Dan ketika William berjalan masuk, dia tiba-tiba berdiri di depannya, lalu memegang kemejanya dan dengan penuh keberanian menatapnya : “ Kak William, apakah kamu sudah mau pulang? ”

“ Lepaskan! ” Suara William terdengar serak lagi. Dia menatap Rosa dengan tatapan tajam dan ekspresi wajahnya yang dingin.

Rosa menarik nafas yang dalam lagi, dan tiba-tiba menjatuhkan dirinya dalam pelukannya.

Novel Terkait

Meet By Chance

Meet By Chance

Lena Tan
Percintaan
3 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
4 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Beautiful Lady

Beautiful Lady

Elsa
Percintaan
3 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
3 tahun yang lalu