Hanya Kamu Hidupku - Bab 475 Pani, Kamu Menyiksaku

“Kejam sekali.” Sumi menatap Pani dan tiba-tiba mengeluarkan kedua kata itu.

Pani agak tertegun, menatapnya dengan bibir tertutup rapat.

"Berapa banyak panggilan telepon dan pesan yang kukirim kepadamu sejak pulang dari Provinsi Huai ? Apakah kamu menjawab salah satu panggilan ataupun membalas salah satu pesan?" Ujar Sumi dengan marah.

Mengungkit hal ini, wajah Pani memuram, dia mengerutkan kening dan mendengus, "Aku tidak menjawab telepon dan tidak membalas pesanmu tentu saja karena aku tidak ingin menjawab dan membalasnya!"

Sumi menatapnya dengan diam, beberapa saat kemudian, dia melangkah untuk mendekati Pani.

Sebelum Pani tanggap dan bereaksi, tangan Sumi sudah terulur ke pergelangan tangan Pani, menariknya ke ranjang.

“Kamu, apa yang mau kamu lakukan?” Pani mengangkat bahu dengan kaget, berkata sambil meronta.

Sumi menyipitkan mata, menyeret Pani ke depannya dengan sedikit kekuatan, tangan lainnya memegang pundak Pani, lalu memaksa Pani duduk di tempat tidur, sementara dirinya juga duduk di samping, melihat Pani dengan tatapan lembut, "Apa yang bisa kulakukan? Menemanimu melalui malam tahun baru!"

Apa?

Pani terpaku, menatapnya dengan heran.

Sumi menggandeng tangan Pani dengan erat, mengangkat bibir tipisnya, "Apa arti ekspresi hantumu itu? Bukankah itu hal yang wajar bagi seorang lelaki untuk menemani pacarnya melalui malam tahun baru?"

"Siapa, siapa yang mengakui kamu adalah pacarku? Jangan sembarang memberi label pada dirimu sendiri." Wajah kecil Pani masih muram, nada suaranya dingin.

Sumi tersenyum, ia mengangkat tangan untuk melihat arloji, sudut mata melirik Pani, "Lima menit lagi sebelum tahun baru. Mari kita bercakap-cakap dalam lima menit ini."

Bercakap-cakap? Apa-apaan?

Pani memandang Sumi dengan terkejut.

“Aku minta maaf atas kelakuanku pada hari itu, oke?” Kata Sumi dengan serius sambil melihat Pani.

Tatapan Pani lamban, "Kamu, kamu minta maaf padaku?"

"Iya, aku minta maaf." Ucap Sumi dengan sungguh-sungguh.

Bibir Pani agak terpisah, tapi ia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

Dia mengira, orang-orang seperti mereka yang dewasa dan kaya, serta terbiasa dengan pujian dan sanjungan memiliki ego yang relatif tinggi.

Jadi, sulit sekali untuk mendapatkan perkataan maaf dari orang seperti mereka.

Oleh karena itu, Pani tidak berharap Sumi akan mengatakan permintaan maaf seperti itu secara terus terang!

“Kamu tidak mau mengatakan apa-apa?” Sumi mengangkat alisnya.

Pani berkedip, "Aku, apa yang harus aku katakan?"

"Kamu harus menerima permintaan maafku dan menjawabku tidak apa-apa, hal ini telah berlalu. Selain itu..."

Sumi melengkungkan bibirnya, menatap Pani dan berkata, "Kamu juga harus minta maaf padaku."

WTF?

“Aku minta maaf padamu?” Pani memiringkan kepala dengan takjub, tersenyum seakan tak percaya pada apa yang didengar telinganya, “Demi apa? Lagi pula, siapa bilang aku akan memaafkanmu yang meminta maaf?”

“Aku sudah minta maaf kepadamu, kenapa kamu tidak memaafkanku?” Sumi bertanya balik dengan tenang, kata-kata tersebut diucapkannya seolah itu merupakan hal yang semestinya.

Bola mata Pani memelototi lawan, dia tidak bisa menjawabnya.

Bibir Sumi melebar, "Giliranmu."

Pani menggigit bibir, tak berdaya, "Giliran apa?"

"Minta maaf!" Ujar Sumi dengan mata menyipit.

"... Aku, permintaan maaf apa? Aku bahkan belum meminta gajiku, kamu malah menyuruhku meminta maaf padamu? Sini uangnya!" Pani membentangkan tangannya untuk meminta uang.

Sumi langsung mengangkat tangan dan memukul telapak tangannya yang putih, "Kamu meminta uang pada malam tahun baru? Mana ada orang yang bertingkah seperti kamu?"

Pani mengernyit, menarik kembali tangannya, menatapnya sambil mendengus, "Aku pantas mendapatkan itu."

Sumi sekilas melirik arloji lagi, alisnya agak berkedut, "Satu menit lagi, cepatlah."

Pani memandang Sumi.

Dia agaknya sudah mengerti mengapa Sumi memilih untuk "bercakap-cakap" pada beberapa menit sebelum tahun baru.

Karena setelah beberapa menit ini berlalu, tahun baru tiba, awal yang baru dimulai.

Mengapa ketidakbahagiaan dan masalah pada tahun ini harus dibawa ke tahun baru?

Hanya saja...

"Aku tidak tahu kenapa aku harus meminta maaf kepadamu? Kamu menyuruhku untuk meminta maaf kepadamu, tidakkah seharusnya kamu memberitahuku alasan mengapa aku harus melakukannya?" Kata Pani.

"Kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku, apakah tingkahmu ini benar? Apakah kamu tahu betapa sedihnya aku?" Sumi menatap Pani dengan kesal.

Pani, "..." Wajah kecil tampak bergetar, ingin tertawa tapi merasa tak berdaya juga.

"Cepat!" Desak Sumi.

Pani menarik napas dalam-dalam, sedikit menegakkan punggungnya, mata jernihnya terkunci pada wajah Sumi, bernada lembut, "Aku minta maaf... Boleh?"

Sumi menyaksikan jarum detik berdetak ke angka nol, bibirnya yang tipis terangkat, telapak tangannya terangkat tiba-tiba dan menahan kepala belakang Pani, mencondongkan tubuh ke depan dan mencium kening Pani, "Selamat tahun baru."

Detik dicium oleh Sumi, momen saat mendengarnya berkata "Selamat tahun baru".

Napas Pani terhenti tanpa sadar.

Sementara jantungnya berdebar kencang, kehangatan menjalar dari hati ke seluruh anggota tubuhnya.

Pani seketika merasakan kehangatan dan keterharuan yang belum pernah dirasakannya.

Karena ada seseorang menemaninya dan mengatakan "Selamat Tahun Baru" kepadanya pada detik awal tahun baru.

Tatapan Pani membara, dia perlahan-lahan memejamkan matanya dan berkata dalam hati: Selamat Tahun Baru.

……

Sekitar pukul dua larut malam.

Pani duduk di tempat tidur dengan bantal di dalam pelukannya, memandang pria yang duduk santai di kursi depan meja belajarnya sambil berulang kali membalik-balikkan halaman album fotonya, "Kamu sudah melihatnya banyak kali, kamu tidak bosan?"

Sumi sekilas melirik Pani, lalu pandangan kembali tertuju pada album di tanganny, berkata, "Tidak bosan."

Pani membasahi bibir, "Sudah malam, kamu tidak mau pulang?"

Sumi tidak berbicara.

Tubuh Pani bersandar di sisi atas ranjang, menatap wajah samping Sumi dari samping, "Paman Sumi, mengapa kamu mau menikahiku?"

Tiada awalan, tiada basa-basi, Pani langsung melontarkan pertanyaan yang telah lama membingungkannya.

“Menurutmu?” Sumi akhirnya menutup album dan bangkit dari kursi, berjalan menuju Pani.

Pani tidak menghindari tatapan Sumi untuk pertama kalinya, bertatapan langsung dengannya, "Apakah karena Ellen bersama dengan paman ketiganya, atau karena kamu memiliki hobi khusus?"

"Kmu bertanya selangsung ini?"

Sumi duduk di tempat tidur, meremas dagu Pani, matanya yang memandang Pani tampak mengandung kemabukan.

Pani mengangkat bahu.

“Kata-katamu itu akan membuat orang yang tidak tahu mengira bahwa aku menyukai Ellen.” Sumi tersenyum ringan.

Pani tidak bisa berkata apa-apa.

“Hobi khusus yang kamu maksud adalah pedofil?” Sumi mengambil tangan Pani dan meletakkannya di telapak tangannya sendiri.

Pani memutar bola mata, "Aku tidak tahu."

Sumi tertawa terbahak-bahak. Setelah beberapa saat, suara magnetik meluap dari bibirnya, "Tidak peduli berapa umuran seorang pria, pria selalu menyukai gadis muda. Apakah kamu setuju?"

Pani mengerutkan kening, "Kamu menyukaiku karena usiaku yang masih muda?"

"Aku hanya bertanya apakah kamu setuju, aku tidak mengatakan bahwa aku adalah pria seperti itu." Ujar Sumi.

Pani merenung sejenak, mengangguk, "Kurasa begitu."

“Kurasa tidak.” Sumi menatapnya dan tersenyum ringan.

Pani sedikit terpana.

"Aku tidak menyukai seseorang karena usia. Jadi, apakah wanita tersebut berusia 18 atau 38 tahun, selama dia cukup menarik perhatianku, aku akan menyukainya. Sederhananya, aku tidak berpikir bahwa menyukai seseorang berkaitan dengan usia." Jelas Sumi perlahan.

Pani menatapnya dengan linglung.

Sumi tersenyum, mengulurkan tangan untuk membelai pipinya, menatapnya dengan lembut, "Kamu sekarang berusia 18 tahun, sudah termasuk orang dewasa, bukan anak kecil, aku menyukaimu, apakah itu termasuk pedofil?"

"..." Bibir Pani berkedut, wajah merona merah, "Apa yang baik denganku, mengapa kamu menyukaiku?"

“Kamu baik di sisi mana pun, kecuali emosimu.” Sumi bersandar pada Pani, menjadikan perutnya sebagai bantal, tersenyum ketika melihat wajahnya yang memerah.

Pani menatap mata Sumi.

Tatapan Sumi sangat mendalam, bersinar lurus pada jiwa, membuat Pani tiba-tiba bersedia mempercayai bahwa Sumi menyukai dirinya.

Bukankah orang selalu mengatakan.

Mata tidak bisa menipu?

Untuk melihat apakah orang itu menyukai kita, kita cukup melihat matanya.

Matanya akan memberi jawaban.

Tiba-tiba, pipi terasa sedikit dingin.

Bulu mata Pani bergetar, dia sekilas melirik tangan besar yang membelai wajahnya, dia menarik napas dua kali, berkata dengan lembut, "Apakah kamu kedinginan? Pemanasan di rumah rusak dan belum diperbaiki."

Mendengar itu.

Sumi duduk dan menoleh ke posisi pemanas, lalu kembali memandang Pani, "Kapan itu rusak?"

"Sudah rusak sejak musim panas." Sahut Pani.

Musim panas?

Alis Sumi mengencang, dia menatap Pani sebentar, lalu menutupinya dengan selimut, dengan lembut, "Apakah kamu mengantuk?"

"..." Pani merapatkan bibir, telinga berkibar merah, "Lu, Lumayan."

Sumi mengangkat alis, mengelus kepala Pani, "Tidurlah kalau kamu mengantuk."

Pani tidak berbicara.

“Kenapa?” Sumi mendekat, dahi menempel pada dahi Pani, menatapnya dalam-dalam.

Napas Pani tersentak, tapi dia tidak menghindar kali ini, kelopak matanya agak menutup, "Aku mengantuk. Kamu, kamu pulanglah."

Sumi menatapnya, bibir tipis sontak menekan ke bawah.

"Paman Sumi..."

Pani cepat-cepat membenamkan kepala ke dada.

Bibir Sumi masih gagal untuk jatuh di bibir ceri yang sudah lama didambakannya, tetapi mencetak di jembatan hidung Pani.

Pani terengah-engah, "Paman Sumi, kamu seperti ini lagi..."

“Memangnya kenapa?” Sumi menekan Pani, napasnya berat, mata yang tertuju pada Pani menyala-nyala.

Apa maksudnya dengan memangnya kenapa?

Pani membenamkan kepala, tangannya menekan sisi tubuh Sumi, mendorong, "Aku belum menyetujuimu, kamu, kamu tidak boleh..."

Sumi meraih kedua lengan Pani dengan gesa-gesa, memosisikannya di kedua sisi tubuhnya, "Jadi, bagaimana supaya kamu setuju?"

"... Aku tidak tahu," Napas Pani tidak stabil.

“Pani, kamu menyiksaku!” Sumi menggigit hidung Pani dengan marah, mengeluarkan suara serak.

"Aku, Aku tidak melakukannya! Kamu, kamu yang berpikiran tidak benar!" Pani mendesis pelan.

“Kamu menyiksaku!” Sumi menekan rahang giginya.

"Ah..." Pani berbisik, "Sakit, Sumi, jika kamu tidak melepaskanku, aku akan marah!"

"Bagaimana caramu marah? Apakah kamu mau mengabaikanku selama beberapa hari lagi?" Sumi mencibir. "Aku bilang padamu, jangan mengharapkan itu sama sekali! Jika kamu menghindar dariku lagi, percaya atau tidak, aku akan pindah ke sini untuk tinggal bersamamu, lihat bagaimana kamu bisa bersembunyi dariku lagi? "

Pani amat emosi, "Kamu seorang pengacara besar malah mengatakan kata-kata yang tak tahu malu, jika tersebar keluar, lihat siapa yang berani mencarimu!"

Sumi tertawa kecil, "Coba kamu sebarkan saja, lihat siapa yang percaya apa yang dikatakan gadis kecil sepertimu!"

"Kamu..." Pani hampir menangis!

Apakah ini masih merupakan Pengacara Sumi yang lembut dan ramah di mata publik?

Kenapa dia merasa bahwa tindakan Sumi tidak berbeda dengan preman!

Novel Terkait

Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
3 tahun yang lalu