Hanya Kamu Hidupku - Bab 168 Paman Ketiga Memelukmu Tidur

Air mata Louis yang terus berlinang keluar, dia melototkan mata, kedua bola matanya yang memerah, terus menatap Geraldyang karena marah lalu membuang muka, hati yang sangat sakit perlahan di balut dengan es yang tebal, sampai hati dingin dan tak berasa lagi, tidak bisa merasakan rasa sakit sedikit pun lagi.

Louis yang ingin meraih tangan Gerald yang mencekik lehernya sampai membuat dirinya tergantung di udara, dan tiba-tiba langsung dilepaskan begitu saja, mata yang tadinya membelalak perlahan di pejamkan.

Mati rasa, kira-kira terjadi dalam sekejap saja.

Gerald yang melihat Louis memejamkan mata dan dari sudut matanya keluar cairan yang menetes keluar, hatinya terkejut, tangan yang menekan di lehernya langsung bergetar, kemudian ditarik kembali.

Dan ketika tangannya meninggalkan lehernya, Louis yang langsung membuka bibirnya, menghirup nafas.

Gerald yang terus menatap Louis, sepasang bola mata yang memerah memperlihatkan kesedihan dan kesepian yang mendalam, nada suara yang keluar juga memperlihatkan pertimbangan hidup yang dialaminya, "Orang sudah mati, mengapa kamu masih tidak bisa merelakannya. Semasa hidupnya penuh dengan caci maki, dan sekarang sudah meninggal, kamu masih tidak mau melepaskannya? Apa salahnya? Yang salah, itu aku! "

Setelah berkata, Gerald berdiri, badannya yang sedikit membungkuk, satu demi satu langkah berjalan ke luar pintu.

Mendengar suara pintu yang dibuka kemudian di tutup, akhirnya Louis tidak tahan, mencengkram selimut dan memasukkan ke dalam mulutnya, menangis dengan suara.

Dia Dora Linston tidak bersalah.

Dia sendiri, salah dimana?

……

Vila Jincheng, adalah ulang tahun Vania, William yang mempersembahkannya sebagai hadiah.

Dan karena memberikan pada adiknya sendiri, jadi tata letak di Vila Jincheng semuanya di bangun menurut tata letak Coral Pavilion.

Vania yang memandang rendah kediaman ini, merasa William tidak mementingkan dia sebagai adiknya, kenyataannya sangat salah.

Kediaman ini sudah dari Vania berumur 16 tahun, William telah memilih secara khusus letak tanah bangunan ini, dan memanggil Desainer yang hebat dan terkenal, menggunakan waktu 1 tahun setengah baru di bangun.

Di tambah lagi dengan dekorasinya dan lain-lain, dan baru di selesaikan ketika beberapa hari kemarin sebelum Vania berulang tahun 18 tahun.

Mobil Maserati merah yang berhenti di depan pintu rumah, tidak lama kemudian, pintu mobil dibuka, dengan gaun hitam yang menutupi dada dan rok pendek, dan mengenakan jas berwarna silver abu Rosa Manda keluar dari mobil, buru-buru berjalan ke arah pintu masuk kediaman.

Baru masuk ke dalam, langsung mendengar suara tangis di ruang tamu yang menggema ke arahnya.

Rosa yang memicingkan mata, melepaskan sepatu hak tinggi di kakinya, dengan kaki telanjang berjalan cepat ke arah ruang tamu.

Vania yang duduk di karpet antara sofa dan meja teh, setengah badan yang meringkuk di atas meja, peralatan teh dan karpet yang ada di sisi tubuhnya, semuanya berserakkan botol anggur merah dan botol bir.

Aroma bir yang kental memasuki rongga hidung, membuat Rosa mengerutkan kening.

Berjalan ke sisi Vania, Rosa menundukkan tubuhnya, satu tangan memegang bahunya, kedua mata yang lembut dan khawatir melihatnya.

Vania membuka mata yang bengkak karena menangis, dengan susah menelan, "Kak Rosa. "

"Em. " Rosa menghela nafas, memegang bahunya dan menaruh kedalam pelukannya, dengan lembut memeluknya dalam pelukan, satu tangan sambil menepuk punggungnya.

"Kak Rosa, huhu… aku adalah cucu kandung dari Kakekku, adik kandung dari Kakak ketigaku, bagaimana bisa dia melakukan ini terhadapku? Bukankah katanya darah daging adalah hubungan yang tidak bisa dipisahkan? Mengapa ketika aku pindah, mereka tidak ada satu pun yang menahanku? aku tidak penting sama sekali, aku tidak penting sama sekali. aku sangat sedih, sedih sekali. "

Vania meletakkan kepalanya di dada Rosa, menangis terseduh-seduh.

Rosa menundukkan kepala melihat Vania, "Vania, kamu pikir kamu untuk apa begini? Kamu jelas tahu Ellen seberapa penting bagi Kakek dan Kakak ketigamu, kamu masih mau menentangnya, bukankah kamu mencari kesusahan sendiri? aku sangat sedih melihatmu. "

"Huhu… Kak Rosa…Huhu…" Vania dengan erat memeluknya, yang telah menganggap Rosa sebagai orang selain Gerald, orang yang paling dia percaya dan bergantung.

Kalau tidak dia tidak akan menelepon padanya dan bercerita.

Selain itu Vania merasa Rosa benar-benar menganggapnya sebagai adik sendiri, kalau tidak sudah begitu larut, dia bukan karena khawatir, dan buru-buru datang untuk menemaninya.

"Vania, Kak Rosa menasehatimu, belajarlah dari Kak Rosa, cobalah untuk merelakan. Di dunia ini yang di pilih kasih selalu tak kenal takut, kalau Ellen melakukan hal itu, Kakakmu demi dia, bersedia menanggung kesalahannya, dan tidak akan menasehati Ellen… dan Kakekmu, dia jelas tahu Kakak ketigamu tidak akan melakukan hal yang memberontak itu, tetapi Kakakmu berkata begitu, Kakekmu percaya, dan masih membantu Ellen untuk mendapatkan keadilan. Dari dua hal ini bisa dilihat, kita tidak sebanding dengan Ellen. Dan hari ini kamu juga sudah berkata, Bibi juga menjadi musuh Ellen, berdiri di pihak yang sama dengannya. aku lihat kedepannya, mungkin Paman juga…"

"Tidak mungkin, papaku paling sayang padaku, dia tidak mungkin bersama Mamaku mengkhianatiku! aku percaya padanya! "

Vania mengangkat wajah yang penuh dengan air mata, panik melihat Rosa Manda dan berkata.

Bibir Rosa yang tertarik, menjulurkan tangan untuk menghapus air mata di wajahnya, berkata lembut, "Vania, aku tahu Paman sangat menyayangimu, tetapi sebagai Kakakmu, aku tetap harus mengingatkanmu, dulu Bibi juga sangat menyayangimu, tetapi kamu lihat, ini baru lewat berapa lama, Bibi sudah… sekarang kamu juga sudah tinggal di luar, jauh dari Paman, apa yang terjadi di rumah, kamu juga tidak tahu. aku khawatir seiring berjalannya waktu…Uh, ini juga hanya kekhawatiranku saja. Mungkin tidak akan menjadi kenyataan. "

Vania terdiam, menahan tangis dan menatap Rosa.

Rosa sudah menduga terlihat ketakutan dan rasa tidak nyaman yang terlintas di matanya, matanya yang melebar, satu tangan memegang wajahnya dan berkata, "Vania, masih ada satu hal lagi, aku merasa sangat ragu, tetapi karena cuma sebuah keraguan, jadi aku terus tidak berani mengatakan keluar. "

"…" Vania berusaha mendengar, kedua matanya yang langsung berputar, berusaha untuk menyembunyikan ketakutan dan kekacauannya, melihat Rosa, dengan suara serak, "Hal apa? "

Kening Rosa yang mengerut, wajahnya penuh keraguan, "aku, aku tidak tahu harus katakan atau tidak, kalau saja perkiraan aku salah. "

Vania menatap Rosa, perlahan bertanya, "Ada hubungannya dengan Ellen? "

"…" Rosa bimbang dan menggigit bibirnya, menganggukkan kepala, "Ya. "

"Masalah apa? "

Ketika mendengar ada hubungannya dengan Ellen, Vania seperti tiba-tiba di isi dengan darah ayam, langsung bertenaga, terus menatap Rosa, dan bertanya.

Rosa dengan kemisteriusannya dan memandang sekitar.

Vania akhirnya berkata, "Kak Rosa, kamu tenang saja, di dalam kediaman ini hanya ada aku sendiri, tidak ada orang lain, kamu katakan dengan tenang. "

Rosa menggigit bibir melihat Vania, kemudian, baru perlahan menganggukkan kepala, dan merendahkan nada suaranya, berkata, "Kamu kesini sedikit. "

Lalu Vania semakin mendekatinya.

Rosa mendekati telinganya.

Tidak tahu Rosa berkata apa terhadapnya, mata Vania langsung membelalak, kedua wajah yang bergetar kuat.

……

Kediaman Keluarga Dilsen, mendekati subuh.

Ellen yang mengenakan pakaian tidur kartun berwarna merah muda bersender di atas ranjang, bagian bawah pusar yang ditutup dengan selimut bludru, satu tangan yang terjarak oleh selimut da terus memegang bagian pusarnya.

Meskipun sudah tengah malam, tetapi mata Ellen yang terus terbuka, dan terus memandang ke arah jendela.

Luka di kepala terkadang menghantarkan rasa perih, dan Ellen hanya mengerutkan kening, tetapi tidak mengurusnya.

Sampai pukul 1 subuh, mata Ellen sudah mulai tidak kuat dan mulai tertutup.

Dia mencubit pahanya sendiri, lalu sadar kembali, tetapi tidak sampai dua tiga menit kemudian, kedua matanya perlahan menutup kembali, sampai benar-benar terpejam.

Ellen begitu berskamur di ranjang, duduk dan terlelap.

Sampai waktu tertuju pukul 3 subuh.

Dari arah jendela terdengar suara berisik, tidak lama kemudian, suara itu pun teredam, sesosok bayangan hitam panjang muncul di lantai depan jendela.

William dengan pakaian hitam, tidak lain seperti maling, pandangannya tertuju pada wanita kecil yang bersender duduk di atas ranjang dan tertidur, wajah yang tampan yang terdiam.

William yang berjalan ke depan, sepatu kulit yang menginjak lantai mengeluarkan sedikit suara, diam terdiam, langsung melepas sepatu kulitnya, dengan kaki telanjang berjalan ke arah Ellen.

Sampai ke sisi ranjang, William yang baru mau menundukkan badan memeluk Ellen, tangan yang baru diulurkan, wanita yang awalnya tertidur lelap, tetapi saat itu juga membuka matanya.

Tangan William yang langsung berhenti, tatapannya terus memandang Ellen.

Ellen juga memandangnya, hanya saja perlahan, rongga matanya penuh dengan uap air yang tipis, ujung hidungnya juga perlahan memerah.

William mengerutkan kening, menyampingkan tubuh duduk di samping tempat tidur, memegang tangan Ellen yang diletakkan diluar selimut, tangan yang dingin membuat hati William langsung bergetar, keningnya langsung berkerut.

Lalu memasukkan tangan Ellen ke dalam dekapan kedua tangannya, dengan perlahan mengelusnya, sampai tangannya tidak begitu dingin lagi, William baru memasukkan tangannya ke dalam selimut.

Tetapi baru memasukkan tangannya, Ellen seperti mengambek dan sengaja mengeluarkannya kembali.

William terdiam sejenak, mengangkat kepala melihat Ellen, dalam tatapannya terlihat jejak yang tak berdaya.

Ellen mencibirkan bibir, mengulurkan tangannya itu, menarik lengan baju William, dan menariknya mendekati dirinya.

William memicingkan mata, lalu mendekatinya.

Kemudian Ellen mengeluarkan tangan satunya lagi, memeluk lehernya, wajah kecil yang dingin masuk ke dalam pelukan hangatnya, seperti kucing kecil yang meringkuk.

William yang memandang Ellen, telapak tangan yang besar yang memegang rambut panjang di punggung belakang Ellen, berkata pelan, "Bukankah kamu yang bersikeras pulang bersama Kakek? Merasa sedih? "

"…" dia tidak sedih, dia hanya, kangen dia, sangat kangen.

Satu tangan William yang menarik selimut di tubuh Ellen ke atas, dengan halangan selimut memeluk erat tubuhnya, lalu berkata lembut, "Cepat tidur, Paman ketiga memelukmu tidur. "

"…Ya. " Ellen yang menggigit bibirnya, lalu mengiyakan dengan pelan.

William tidak merasa aneh, menundukkan kepala mencium kepalanya, lalu mengendongnya, menaruhnya di paha, dan mengendongnya dengan horizontal.

Ellen yang merangkul lehernya, wajah kecilnya yang menykamur di dadanya yang lebar itu, membuka mata dari bawah dan melihat ke atas wajah tirus William, dan di telinganya terdengar detak jantungnya yang berdetak, setiap ketuk yang masuk ke telinganya, membuatnya tidak bisa tenang, masa lalu.

"Tutup mata! "

William menundukkan kepala melihatnya, berkata pelan.

Wajah Ellen yang muncul dua bulat merah, dua mata yang bersinar melihat William, berkata pelan, "Paman ketiga, semuanya akan membaik dengan cepat benarkah? "

"Ya. " William menatap dalam Ellen, berkata pasti.

Ellen mencibirkan sudut bibirnya, dengan tenang menutup mata.

William melihat keadaan, membuang perasaan bosan sepanjang hari, baru muncul sebuah kehangatan, bibir yang tipis itu baru ada sebuah lekukkan.

Dan ketika saat itu juga, Ellen tiba-tiba membuka matanya lagi, sudut bibir William yang membeku dan langsung dilihat oleh Ellen.

William, "…"

Novel Terkait

Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
3 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
4 tahun yang lalu
Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
3 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu