Hanya Kamu Hidupku - Bab 265 Pulang ke Kota Tong 1

Ellen juga tidak begitu pedulikan masalah ini.

Saat mendekati waktu makan malam, Dorvo pulang ke villa, Nurima juga turun dari lantai atas.

Pada saat ini, Samir dan Frans Domingo malah mengatakan bahwa mereka ada urusan, mereka pergi dari villa.

Pembantu rumah sudah menyiapkan makanan, semua orang pun pergi ke dapur.

Nurima menyuruh Nino dan Tino duduk di sisinya, Dorvo dan William duduk di sebelah Nino dan Tino, duduk saling berhadapan.

Ellen duduk di sebelah William.

Tidak tahu apakah itu ilusi, Ellen selalu merasa tatapan Nurima saat melihat Nino dan Tino sangat tidak benar.

Cinta, kasihan, tidak tega, kesedihan… berbagai perasaan lainnya, dengan kacau muncul di dalam tatapan Nurima.

Ellen mendongak, dan melihat Dorvo.

Awalnya, Ellen mengira karena masalah Boromir, Eldora Nie serta perusahaan Nie, kemungkinan beberapa hari ini, Dorvo tidak akan pulang ke rumah, tapi hal yang tidak menyangka, pada malam ini, Dorvo malah pulang.

Ellen tidak bisa mengatakan keanehannya ada dimana, tapi hatinya merasa… semua ini sangat aneh!

……

Setelah selesai makan malam, Nurima menyuruh Ellen naik ke lantai atas bersamanya, mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin dia berikan kepadanya, dia juga menyuruh Nino dan Tino naik ke lantai atas.

Tanpa sadar hati Ellen semakin tidak tenang.

Setelah Ellen membawa Tino dan Nino masuk ke kamar Nurima, dia menutup pintu, dan melihat Nurima berjalan ke depan lemari baju, membuka lemari baju, dan berjongkok ke bawah.

Ellen melihat ke sana dengan tatapan penasaran.

Dia melihat Nurima mengeluarkan sebuah brankas dari bagian paling bawah lemari.

Nurima mengangkat brankas itu, kemudian melihat Ellen sambil tersenyum, “Kamu tidak kepikiran kan.”

Ellen, “…”

Segera melangkah maju, dan mengambil brankas dari tangan Nurima.

Nurima menunjuk meja yang ada di depan sofa.

Ellen langsung berjalan ke sana dengan memeluk brankas itu, dia meletakkan brangkas di atas meja, kemudian melihat Nurima.

Nurima berjalan kemari, dia memegang satu tangan Ellen, kemudian menariknya dan duduk di sofa.

Dari awal, Nino dan Tino sudah bersandar di sofa, mereka menatap brankas itu dengan tatapan penasaran.

Nurima melihat Ellen dengan tatapan aneh, dia berkata, “Beberapa tahun ini, nenek menyimpan banyak perhiasan, dan aku menyimpannya di dalam kotak ini.”

Ellen, “…”

Nurima tersenyum, membungkukkan badan, mengulurkan tangan dan menekan pin di brankas.

Ellen tanpa sadar menutup matanya.

“Kamu nih.” Melihat ini, Nurima tertawa-tawa, “Nenek tidak takut denganmu, untuk apa kamu menutup mata.”

Ellen mengeluarkan lidahnya.

Dia masih menunggu Nurima selesai membuka brankas, dia baru melihat ke arah sana.

Di dalam brankas terdapat beberapa dokumen, dan dua kotak kayu yang berwarna cokelat merah.

Nurima mengeluarkan salah satu kotak dari brankas, dengan hati-hati memegang kotak itu, kemudian dia duduk berhadapan dengan Ellen, dengan tulus meletakkan kotak itu di tangan Ellen.

Ellen terbengong, dia melihat kotak yang ada di tangannya, kemudian melihat Nurima dengan tatapan tidak mengerti, “Nenek, ini apa?”

Nurima menarik napas, tatapannya jatuh pada kotak itu, “Ini adalah mas kawin dari buyutmu saat aku menikah dengan kakekmu. Sepasang gelang, awalnya, aku ingin menunggu ayahmu mencari orang yang tepat, aku sendiri akan membantunya mengenakan gelang ini. tapi sayangnya, tidak ada kesempatan itu.”

Setelah mengatakan ini, Nurima mendongak dan melihat Ellen, “Aku masih ingat, kamu pernah mengatakan, ibu kandungmu masih hidup. Aku dan ibumu tidak ditakdirkan untuk bertemu, jadi kamu yang mewakili nenek menyerahkan gelang ini kepada ibumu saja! Bagaimanapun juga ibumu merupakan istri Rainar Nie, setelah Rainar meninggal, ibumu juga sendirian, aku pun tidak bisa menjaganya, gelang ini, anggap saja kenangan untuk ibumu. Ini juga membiarkannya tahu bahwa keluarga Nie menganggapnya sebagai menantu.”

Ellen memegang kotak itu dengan erat, tatapan yang sedang melihat Nurima menjadi kacau.

Saat itu, Ellen hanya mengatakan Vima Wen masih hidup, tapi sama sekali tidak mengatakan bahwa dia sudah menikah…

Nurima juga pernah mengatakan dia ingin menjemput Vima Wen pulang ke rumah Nie, Ellen tidak ingin membiarkan Nurima tahu bahwa Vima Wen sudah menikah lagi, atau mengajukan pertanyaan… jadi dia hanya mengatakan bahwa hidup Vima Wen sekarang sangat baik, menjalani hidup baru.

Setelah mendengarkan ini, Nurima mungkin tidak ingin menganggu kehidupan Vima Wen, jadi dia juga tidak menanyakannya lagi.

Ellen mengira Nurima sudah melupakan Vima Wen.

Tapi hal yang tidak menyangka, meski nenek tidak membicarakannya, tapi dalam hati nenek masih terus mengingat orang ini.

Ellen menghela napas, hatinya merasa masam.

Jika bukan karena Boromir, mempunyai orang tua yang begitu penuh kasih sayang, rumah Nie pasti tidak akan terlihat begitu diam dan susah.

Hanya saja.

Karena Nurima memberi perhiasan ini kepada Vima Wen, Ellen juga segan menolaknya, jadi dia pun mengambil gelang ini.

Nurima menarik napas lagi, dia memukul tangan Ellen, satu tangannya lagi masuk ke dalam brankas, mengeluarkan satu dokumen, kemudian menyerahkannya kepada Ellen.

Ellen menatapnya dengan tatapan penasaran, “Nenek, ini apa lagi?”

“… Barang seperti ini, dulu kamu sudah tidak peduli, mungkin sekarang kamu lebih tidak peduli.”

Nurima tersenyum sambil meletakkan dokumen itu di atas paha Ellen, “Ini adalah saham 20% dari perusahaan Nie yang dimiliki oleh nenek, sekarang, saham yang ada ditangan abangmu itu, sudah cukup untuknya duduk di tempat Presdir perusahaan Nie dengan posisi stabil, tidak ada seorang pun yang bisa menjatuhkannya. Jadi abangmu tidak mempedulikan sahamku ini, aku hanya mempersiapkannya untuk kamu dan Eldora Nie.”

“Nenek, aku benar-benar tidak mau!”

Mendengarkan ini, Ellen segera mengembalikan dokumen itu.

Nurima juga tidak cemas, dia hanya melihat Ellen, “Rumah Dilsen, memiliki kekayaan yang tinggi, saat ini, ayah Tino dan Nino adalah orang yang mengurus perusahaan Dilsen, kalian juga merupakan suami istri, kamu tidak peduli dengan saham kecilku ini...”

“Nenek!”

Ellen merapatkan bibirnya, meletakkan kotak yang ada di tangannya, kemudian memegang tangan Nurima dan berkata, “Kamu jelas tahu aku tidak memikirkannya seperti itu.”

Nurima menatapnya, “Kalau begitu, ambillah ini.”

“Nenek...”

“Aku tahu Presdir Dilsen tidak peduli kekayaan keluargamu, tapi anggota keluarga Dilsen lainnya? Meski saham nenek tidak banyak, tapi setidaknya ada pegangan di tanganmu, mungkin bisa dijadikan mas kawinmu. Bawalah ini, biar anggota keluarga Dilsen tidak melihatmu dengan tatapan rendah, uhm?”

Nurima melihat Ellen sambil berkata.

Ellen tahu maksud dari Nurima “Anggota keluarga Dilsen lainnya” siapa.

Dia juga mengerti kekhawatiran dan kesayangan Nurima.

Tapi, dia belum bisa mengambil saham ini.

“Nenek, beberapa tahun ini, kamu dan abang memperlakukanku, memperlakukan Tino dan Nino, dan sekatang aku tidak tahu harus berbuat apa untuk kamu dan abang. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa mengambil saham ini? Jika aku benar-benar mengambilnya, maka aku sangat tidak tahu malu!” Kata Ellen dengan mata merah.

“Kamu mengatakannya seperti ini, sedang menyerang dirimu sendiri, tahu kah?”

Nurima mengerutkan alis, dia melihat Ellen dengan tatapan tegas.

Mata Ellen semakin merah.

Nurima menggelengkan kepala, mengulurkan tangan dan memukul kepala Ellen dengan pelan, “Kamu mengatakan ini, ingin menjauhkan dirimu dari aku dan abangmu kah?”

“Bukan...”

“Jangan cemas! Dengarkan dulu!”

Nurima melihat ekspresi Ellen yang memucat, diam-diam menghela napas dan berkata.

Ellen hanya bisa diam, menatap Nurima dengan tatapan gelisah.

“Kamu, Tino dan Nono bukan sama sekali tidak berbuat apa untuk aku dan abangmu. Kalian sudah memberi kami kebahagian, dan juga ketenangan di dalam hati, tidak ada hal yang bisa dibandingkan dengan semua ini. Karena kamu, Tino dan Nino, kamu tidak menyadarinya kah? Abangmu sering pulang ke rumah. Sebelumnya rumahnya adalah perusahaan, setengah bulan tidak pulang itu merupakan hal biasa, tapi sekarang, dia selalu pulang ke rumah. Kamu pikir abangmu melakukan semua ini karena aku kah?”

Nurima tersenyum, “Semua itu karena kamu dan anakmu, membuat abangmu merasa nyaman. Jadi abangmu bersedia untuk pulang ke rumah. Dan aku, karena ada kamu, Tino dan Nino, kalau tidak, aku benar-benar kesepian.”

“Nenek.” Elllen Nie menahan air mata sambil memegang tangan Nurima.

Nurima menatap Ellen dengan tatapan yakin, melihat penampilannya, dan berkata, “Ellen, ambillah ini, okey?”

Ellen mengangguk.

“Bagus!”

Nurima mengulurkan tangan dan mengusap kepala Ellen.

Selanjutnya, Nurima melihat ke arah Tino dan Nino, “Anak-anak, datang ke nenek sini.”

Tino dan Nino berdiri dari sofa, dengan patuh berjalan ke depan Nurima.

Nurima mengusap wajah Tino dan Nino, membungkukkan badan dan mengeluarkan sesuatu dari brankas.

Karena terlalu dalam, jadi Ellen tidak tahu masih ada barang di dalam brankas.

Setelah Nurima mengeluarkannya, Ellen baru melihat sebuah kantong kecil yang berwarna merah.

Nurima membuka kantong itu, mengeluarkan dua mantra kedamaian yang sudah ada tali merahnya, “Tahun lalu, saat nenek pergi ke kuli, nenek membawa dua mantra ini untuk kalian, masih ingat kah?”

Tino dan Nino saling bertatapan, dengan segan tersenyum pada Nurima.

Nurima mencubit hidup dua anak, “Saat itu, kalian berdua masih kecil, tidak ingat juga hal biasa.”

Kedua anak sudah tidak ingat.

Tapi Ellen malah ingat.

Setelah Nurima membawa dua mantra ini pulang, dia langsung memberikannya kepada Tino dan Nino, karena kedua anak ini terlalu nakal, dalam waktu yang singkat, mantra terus hilang.

Membuat Nurima terus menyuruh pembantu rumah tangan mencari mantra.

Kejatuhan terakhir kali membuat Nurima merasa tudak berdaya, dia juga tidak menyuruh pembantu mencarinya lagi.

Tapi Ellen tidak menyangka, Nurima sendiri pergi mencari mantra ini.

Dan terus menyimpannya.

“Mantra untuk kalian, bagaimana mungkin nenek membuatnya hilang.”

Nurima berkata sambil mengenakan mantra kepada Tino dan Nino.

Setelah mengenakan, Nurima melihat Tino dan Nino dengan tatapan serius, dia berkata, “Kedepannya tidak boleh hilang lagi.”

“Nenek, kita akan menjaganya dengan baik.” Kata Tino.

Nino juga mengangguk.

Nurima mengulurkan tangan, membuka tangan dan memeluk Tino dan Nino, “Nenek benar-benar sangat menyukai kalian berdua.”

“Kami juga menyukai nenek.”

Tino dan Nino masing-masing mengulurkan tangan untuk memeluk Nurima, mereka berkata dengan nada manja.

Di tempat yang tidak bisa dilihat oleh Ellen, tatapan Nurima muncul rasa tidak tega.

Setelah bersama selama empat tahun, Nurima sudah terbiasa dengan suara terikan dua anak ini, setiap harinya bisa melihat mereka, terbiasa mereka ada di samping, hari-hari seperti ini membuat Nurima merasa sangat nyaman, lembut dan bahagia.

Tapi suasana hati Nurima sangat jelas, hari-hari seperti ini, setelah hari ini, takutnya tidak akan terjadi lagi!

Dan, suasana haru Nurima saat ini, tidak bisa diungkapakan dengan bahasa apapun.

...

Novel Terkait

My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
3 tahun yang lalu
Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
4 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
3 tahun yang lalu