Hanya Kamu Hidupku - Bab 217 Bom Gula

Ellen menjangkau dengan jari yang bergetar.

Melihat ini, bibir Dorvo berkedut, "Pergilah."

Ellen menggigit bibirnya, menatap kembali ke arah Dorvo, mendorong pintu, dan keluar dari mobil.

Dorvo melihat Ellen memasuki bangunan dari kaca spion, dia duduk di mobil selama beberapa detik, dan menyuruh supir untuk pulang duluan, dan dia turun dari mobil, duduk di kursi pengemudi . Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan menekan satu nomor.

...

Pada saat itu, Tino dan Nino masih berada di TK, dan Nurima sedang tidur siang.

Hanya pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu yang tersisa, dan ketika Ellen berjalan memasuki villa ia langsung naik ke atas melalui ruang tamu.

Sebelum mandi di ruangan kamar tidur, Ellen meletakkan salep obat di atas meja rias, melepas sweaternya dan baju hangat dalam satu demi persatu.

Di depan cermin, tubuhnya yang putih seperti salju terlihat, Ellen mengerutkan kening, menatap ke bawah ke arah pembengkakan di kedua sisi pinggangnya, dan kabut mengambang ringan di bawah matanya.

Ellen mengambil napas, mengambil salep, membukanya, dan langsung mengoleskan salep dengan lembut di pinggangnya dengan jari-jarinya.

Karena area pembengkakannya luas, dan disentuh sedikit pun akan sangat sakit.

Ellen yang takut sakit, dan dia mengoleskannya dengan hati-hati sendiri, sehingga membutuhkan waktu hampir 20 menit hingga bisa selesai mengoleskannya .

Setelah selesai, Ellen menghela nafas panjang, menaruh salep di atas meja kembali, dan mengambil pakaian dalam dan meletakkannya dari atas kepalanya.

Begitu pakaiannya mencapai leher, Ellen melihat sekilas bekas luka panjang di perutnya dari cermin, dan dua tangan putih kecil yang memegang pakaian itu pun berhenti .

Di hotel waktu itu, kehangatan dari bibir panas pria itu menempel pada bekas luka itu, Dalam pikirannya pun tergores dengan sangat jelas dan tidak bisa dihilangkan dari benaknya.

Ellen menatap bekas luka itu untuk waktu yang lama, dan air di matanya

pun muncul dan hilang, terjadi selama beberapa kali, Hingga dia menutup matanya dan mengenakan pakaiannya.

Karena sweaternya masih basah, Ellen tidak memakainya dan mengeluarkannya dari kamar mandi.

...

Ellen pun pergi ke ruang ganti dan berganti dengan kemeja denim gaya laki-laki yang panjang. Dia mengganti celana jeans yang ia gunakan dengan legging hitam. Dia mengambil jaket hitam panjang yang tipis dan meninggalkan kamar tidur, berencana untuk pergi ke W magazine.

Lagi pula, ketika ia berada Wangi Sedap, tas,mantel,dan ponselnya tertinggal disana.

Dan jikaTabita tidak dapat menemukannya, dia pasti akan khawatir.

Begitu Ellen turun, Nurima keluar dari kamarnya.

Melihat Ellen yang berjalan menuju pintu dari lantai atas, Nurima tertegun dan bertanya, "Agnes?"

Ellen berhenti, melihat ke atas, dan ketika dia melihat Nurima, matanya bersinar, dan senyum tersungging di sudut mulutnya, "Nenek."

"Ternyata kamu," kata Nurima yang heran, sambil berjalan menuju tangga sambil berkata, "kenapa kamu bisa pulang pada waktu ini ?"

Ellen berbalik dan berdiri di tempat menatap Nurima, "Aku pulang untuk mengambil barang."

Nurima turun ke bawah, berjalan ke depannya, menatapnya dari atas ke bawah, kemudian menatap matanya, "Mengganti pakaian?"

"..." Ellen menganggukkan kepalanya dengan tegas, "Pagi tadi menggunakan baju sedikit, Makanya dingin sekali."

Nurima yang tidak meragukannya lagi, mengatakan, "Kamu kembali agak malam kemarin, lupa bertanya apakah kamu sudah minum obat??"

"... Sudah ." Ellen menggigit bibirnya dan berkata, "Nenek, aku masih harus bergegas ke kantor majalah, aku pergi dulu ya?"

"Kenakan pakaianmu."

Nurima berkata sambil mengerutkan kening.

Ellen tersenyum sambil mengenakannya, "Sekarang sudah ok kan?"

Nurima baru mengendurkan alisnya, sambil tersenyum berkata, "Pergi sana."

Ellen menghela nafas lega, berbalik dan berjalan cepat keluar dari villa.

Nurima yang menyaksikan Ellen keluar dari vilanya dengan tubuh yang ringan dan tipis seperti burung walet, Dalam hatinya hanya bisa menghela nafas .

Ketika mendengar suara mesin yang keluar dari mobil, Nurima berjalan menuju sofa.

Ketika ia sudah duduk di sofa, telepon rumah di sisi nya pun berdering tepat waktu.

Nurima terkejut, sambil mengangkat telepon dan berbicara, "Ini keluarga Nie ..."

Sebelum Nurima selesai berbicara, tidak tahu apa yang dikatakan dari sana, namun wajah tuaNurima menjadi gelap.

...

Ellen bergegas ke kantor majalah, hanya menemukan bahwa Tabita belum kembali sama sekali, Rencananya pun berubah, dia dengan segera pergi ke Wangi Sedap.

Ketika ia tiba di Wangi Sedap, Ellen duduk di dalam mobil, dengan jarak sepuluh meter di antara mereka, melihat Tabita yang memeluk baju dan tas nya, seperti seorang anak yang kehilangan arah berdiri di depan .

Ellen menjadi pusing, karena anak ini tidak memiliki orang lain lagi.

Setelah berkeliling seperti ini, Ellen dan Tabita kembali ke kantor majalah, waktu sudah mendekati jam pulang.

Hari ini, Hati Ellen sangat letih, bahkan Tabita pun ketika sampai ke kantor segera tergeletak di mejanya untuk beristirahat.

Awalnya dia berpikir, dia bisa duduk sebentar dan bisa langsung absen dan pulang ke rumah.

Namun siapa yang menyangka ketika mendekati jam pulang, direktur memanggil Ellen ke kantornya.

Kantor Direktur.

Ellen menundukkan kepalanya dan berdiri di depan meja direktur.

Direktur menatap Ellen dengan serius melalui kacamatanya, membuat Ellen merasa akan mendapatkan masalah yang besar.

"Agnes, penjualan majalah dalam beberapa bulan terakhir terus menurun.Pemimpin redaksi berada di bawah tekanan besar, aku juga berada di bawah tekanan besar, kamu mengerti kan ?" Kata direktur.

Ellen mengangguk dalam diam.

Tidak hanya pemimpin redaksi dan direktur, yang berada di bawah tekanan besar, tetapi kamu belum pergi melihat ke ruangan redaksi, semua redaksi juga telah tersiksa hingga mereka menjadi kurus.

Yang biasanya karyawan berkerah putih dengan penampilan yang baik, namun sekarang gaya pakaian pun tidak dipedulikan, semua sedang memikirkan isi draft semester berikutnya .

Direktur juga mengangguk dan menghela nafas, "Yang utama kamu mengerti. aku juga percaya, demi majalah ini, kamu bisa mendapatkan wawancara eksklusif langsung dari Sutradara Samir ..."

"Direktur ..."

"Agnes, jika kamu berhasil mewawancarai Sutradara Samir, kamu akan menjadi pahlawan di majalah kita. Aku bisa memberitahumu maksud dari pemimpin redaksi, dia berkata, jika kamu mendapatkan wawancara ini, Gaji mu akan diberikan tiga kali lipat." Direktur menyela kata-kata Ellen, mengacungkan tanda tiga kepada Ellen. .

Mata Ellen berkedut ringan.

Dalam hatinya pun ia mulai berhitung, Saat ini sebagai redaksi bagian hiburan gajinya hanya 14 hingga 16 juta, Jika marketing dan distribusi bekerja baik, bisa mencapai puluhan juta.

Jika dikali 3, bukankah gaji bulanannya menjadi 40 juta hingga 60 juta ...

Direktur melihat wajah Ellen yang ragu, menyipitkan mata, "Apakah kamu punya keyakinan?"

Uh ...

Ellen menatap Direktur, "Aku, akan melakukan yang terbaik."

"Oke! Kantor ini membutuhkan kamu yang termotivasi, dan pekerja keras . "Agnes, aku optimis terhadap kamu!"

Direktur menunjuk Ellen karena ia sangat terkagum.

Ellen, "..."

Sebuah percakapan" BOM GULA" meledak" !

...

Ketika Ellen tiba di Vila Air Jernih. Begitu memasuki villa, dia mendengar percakapan antara Nino dan Tino yang berasal dari ruang tamu.

"Kak, kamu membosankan. Apa yang menyenangkan di Museum Sains dan Teknologi? Lebih baik bermain game di rumah dengan nyaman, bermain sambil berbaring, bermain sambil duduk, bermain sambil rebahan juga bisa."

"Tidak ada kerjaan ! Setiap hari hanya bermain game saja !"

"Apa yang ingin kamu gapai? Kan tidak bisa nyaman juga. Walau aku tidak mengejar sesuatu. Tapi aku hidup nyaman kan."

"..."

Ellen tidak melihat wajah Tino, tapi dia mampu membayangkan ekspresi bocah itu yang tidak bisa berkata-kata.

Mengangkat alisnya, Ellen memperbaiki suasana hatinya, mengganti sepatu, dan berjalan masuk ke ruang tamu.

Tino dan Nino yang melihat Ellen segera berlari dan memeluk Ellen di masing masing kaki.

Hati Ellen meleleh, dia menyerahkan tas kepada pelayan, mengulurkan tangan dan menyentuh kedua kepala kecil anak kecil itu, "Begitu memasuki rumah, aku mendengar kalian berdua sedang berdebat, masalah apa sih?"

“Manes, cepat bicara dengan kakak, Sudah sulit besok bisa mendapat hari libur, Tapi dia mau pergi ke museum sains dan teknologi.” Nino mengangkat wajah putihnya yang kecil, dan matanya yang besar tampak menghina.

Besok tidak sekolah ?

Ellen tampak bingung sejenak, baru teringat bahwa besok hari Sabtu .

"Apa yang salah dengan Museum Sains dan Teknologi? Disana kita bisa melihat banyak hal menarik dan belajar banyak juga. Apa yang bisa kamu pelajari dengan tinggal di rumah dan bermain?" Tino berpendapat dengan logis.

"Aku masih kecil," kata Nino. "Tidak perlu belajar banyak. Kamu hanya mencari masalah."

"..." Ellen bingung, menatap Nino tanpa daya, "Nino, bagaimana belajar bisa dianggap sebagai cari masalah?"

"Betul, belajar membuat gembira," kata Tino dengan serius dengan wajahnya yang kecil.

Nino, "..." Tapi dirinya bahagia hanya ketika tidak belajar!

“Kutu Buku!” Nino membalas, mengendurkan pelukan pada paha Ellen, dan terlihat bangga tidak mau berargumen dengan kutu buku, berjalan kembali ke sofa dan duduk.

Tino mengerutkan mulutnya dan bersenandung, "Anak yang tidak bisa diajari!"

Ellen tersenyum mendengar perkataan Tino dan Nino dengan wajah yang tidak tahan dengannya, dia dengan lembut mengulurkan tangan, mengambil tangan kecil Tino, berjalan ke sofa, memeluknya dan duduk di pangkuannya, menundukkan kepala menatapnya, "Ingin pergi ke museum sains? "

Tino mengangguk, matanya yang hitam menatap Ellen dengan penuh harap, "Ma, maukah kamu menemaniku pergi?"

“Tentu saja,” Ellen tersenyum dan mencubit wajah kecilnya.

“Benar?” Mata besar Tino bersinar.

Ellen mengangguk dengan serius, "Benar."

Tino memeluk leher Ellen dengan gembira, dan menggesekkan wajah merahnya di wajah Ellen.

Ellen memeluknya dan mencium kepala kecilnya.

Nino yang sedang berbaring di sofa, matanya menyipit dingin melihat Tino dan Ellen yang berinteraksi secara intim, mulutnya menyipit dengan tinggi.

Pergi sana, yang penting aku tidak akan pergi! ╭ (╯ ╰) ╮

...

Pukul sepuluh malam, Ellen membujuk kedua bocah lelaki itu untuk tidur dan keluar dari kamar anak-anak.

Dia yang awalnya berencana segera kembali ke ruangan untuk beristirahat, namun ketika ia keluar ruangan, ia melihat Nurima yang mengenakan piyama berdiri di depan pintu kamarnya, dan menatapnya sambil tersenyum.

Ellen membeku dan berjalan, "Nek, kenapa kamu belum tidur selarut ini?"

Nurima mengulurkan tangan dan memegang tangannya, meskipun masih ada senyum lembut di wajahnya, tetapi pandangannya ketika melihat mata Ellen, terdapat kecemasan dan kekuatiran yang sulit disembunyikan . "Agnes, ada yang perlu nenek katakan padamu."

Ellen menyipitkan matanya ketika dia melihat keraguan dan kekhawatiran di matanya.

...

Karena berjanji pada Tino untuk pergi ke Museum Sains dan Teknologi, Ellen bangun dan pergi ke dapur pada pukul 6:30 dan secara pribadi membuat sarapan untuk satu keluarga.

Pelayan tahu bahwa Ellen akan memasak sendiri pada hari istirahat, jadi dia tidak mengganggunya di dapur.

Pada pukul 7.30, Ellen selesai menyiapkan sarapan dan meminta pelayan untuk membantu membawa sarapan ke ruang makan, dia mencuci tangannya, melepas celemeknya, dan naik ke kamar anak-anak untuk membangunkan kedua anak laki-laki kecil itu untuk sarapan.

Novel Terkait

Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
3 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu