Hanya Kamu Hidupku - Bab 310 Lugu dan Cuek

Sekarang, Rumah Sakit Yihe.

Ketika William dan Hansen sampai, Louis masih berada di ruang gawat darurat.

Sobri melihat Lina ketakutan sampai dia berdiri menangis di koridor, dia berjalan ke arahnya dan menatapnya dengan khawatir.

Lina melihat Sobri, seolah-olah dia melihat penyelamat, meraih tangannya, “aku tidak pernah berpikir bahwa Nyonya akan melakukannya, aku tidak terpikirkan.”

Sobri mengerutkan keningnya, melihat ke arah ruang gawat darurat, dan kemudian melihat kearah William dan Hansen yang berada di sampingnya.

“Sebenarnya apa yang terjadi?”

Hansen dengan tergesa-gesa mengambil tongkatnya lalu berdiri.

Lina menangis dan memandang William yang wajahnya dingin, dan berbisik, “Setelah tuan muda ketiga pergi tadi malam, nyonya dan nona Manda menangis di kamar untuk waktu yang lama, aku yang berada di halaman mendengarnya. Kemudian Nona Manda pergi dengan linglung, aku berencana untuk masuk ke dalam kamar untuk mengecek nyonya, tetapi dia menolak. Begitu aku memasuki aula, dia meminta aku untuk beristirahat. aku pikir nyonya dan Nona Manda baru saja curhat dan tidak akan terjadi apa-apa, aku juga tidak berani menentang perintah nyonya, jadi aku kembali ke kamar aku untuk beristirahat. “

“Hari ini aku bangun jam enam, aku tidak pernah terpikir untuk melihat nyonya berdiri di halaman begitu aku keluar, aku juga tidak tahu apakah aku belum tidur semalaman atau baru saja bangun, aku mengajak nyonya berbicara tetapi nyonya tidak memperdulikanku. Pagi hari, nona keempay datang ke sini, nyonya menarik nona keempat untuk berbicara, nona keempat….. nona keempat mengatakan bahwa dia punya janji dengan beberapa desainer dan segera pergi. Setelah nona keempat pergi, dia mengurung diri di kamar, tidak pernah keluar lagi dari kamar, dan bahkan tidak makan siang. “

“aku pikir nyonya tidak makan banyak saat sarapan dan bahkan tidak makan apa-apa saat siang hari, jadi aku membuat makan malam lebih awal, aku selesai menyiapkan makan malam sekitar jam 5.

Setelah itu, aku pergi untuk memanggil nyonya, tetapi bagaimanapun aku memanggil, nyonya sama sekali tidak menjawab aku, aku masuk tanpa izinnya. Ketika aku masuk, nyonya sedang berbaring di tempat tidur, seperti sedang tertidur nyenyak. Tapi aku pikir, barusan aku mengetok pintu begitu kencang, bagaimana mungkin nyonya tidak terbangun, jadi aku mendekat dan melihat wajah nyonya sudah biru pucat, terlihat sangat tidak baik... “

Saat ini Lina berkata dengan terburu-buru dan air mata yang mengalir, “aku tidak berani menunggu lagi, jadi aku segera menghubungi 120 untuk pertolongan pertama. Karena aku terlalu cemas dan khawatir, aku bahkan tidak menutup telepon. Perawat yang menjawab telepon menenangkan aku dan meminta aku untuk memeriksa situasi nyonya dan memberitahunya, aku mengikuti instruksi perawat sepanjang waktu, sekitar dua puluh menit kemudian, ambulans datang dan membawa nyonya ke rumah sakit untuk menyelamatkannya.”

“Saat sebelum aku memperbolehkan rumah sakit untuk memberikan pertolongan, aku membuka selimut nyonya dan melihat dia memegang sebotol pil tidur kosong di tangannya... aku baru tahu bahwa nyonya ingin bunuh diri!”

Lina selesai berbicara, menutupi mulutnya dan menangis.

Meskipun mereka adalah seorang nyonya dan pelayan, tetapi selama bertahun-tahun saling peduli satu sama lain, selain itu, Louis memperlakukannya dengan baik.

Jadi, Louis yang bunuh diri tiba-tiba membuat Lina sulit menerimanya dan ketakutan.

Sobri memeluk istrinya dan membelai punggungnya, dia tidak tahu harus berkata apa, dia hanya melihat William dan Hansen dalam diam.

Wajah Hansen tegang, dengan keagungan dan keseriusan diseluruh tubuhnya, “Apa sudah memberi tahu Vania?”

Lina mengangguk dalam pelukan Sobri dan menangis, “Setelah aku menelepon kamu, aku langsung menelepon Nona keempat, nona keempay juga takut dan berkata dia segera datang.”

Hansen terdiam selama beberapa detik, tiba-tiba mendongak memandang William, “Ikut aku!”

William menekan alisnya, matanya yang dingin tertuju pada pintu ruang gawat darurat.

……

Di sudut koridor menuju ruang gawat darurat, Hansen memegang tongkatnya di kedua tangan, dan menatap William, “Berbicaralah.”

William mengerutkan keningnya, dia tentu saja mengetahui Hansen ingin dia mengatakan apa.

Setelah beberapa detik, William berkata, “Tidak ada yang bisa dibicarakan.”

“William, selama ini kamu membenciku, membenci papamu, membenci Vania, aku tidak peduli! Tapi Louis tidak pernah melakukan kesalahan padamu, dia adalah mamamu sendiri! Apakah kamu lupa betapa sakitnya mama ketika kamu masih kecil? Aku memaksamu untuk belajar dan berlatih lebih awal, mamamu mengkhawatirkanmu. Kamu tidak tahu berapa kali dia diam-diam menangis.”

“Kamu, William, tahu semua tekanan dan rasa sakit yang telah dirasakan mamamu! Selama empat tahun, kamu terlalu sibuk mengurus dirimu sendiri, dan aku tidak berharap kamu lebih berbakti pada mamamu, tapi setidaknya, kamu tidak seharusnya menaruh kebencianmu pada kami kepada mamamu... “

“Kakek.”

William melirik wajah Hansen yang terlihat tegas, suaranya rendah, “Apakah kamu pikir aku bahagia sekarang?”

Hansen menutup bibirnya.

“mama kandungku sekarang berada di ruang gawat darurat,” William merenung.

“...” Hansen mengerutkan kening.

“Apa kamu ingin menyalahkanku atas mamamu??” Kata William.

Hansen menyentak wajahnya beberapa kali, melirik William dengan suara rendah yang tidak biasanya, “Aku tidak mengatakan itu.”

Bukan saja dia tidak mengatakan itu, dia juga tidak berpikir begitu.

Dia benar-benar tidak tahan dengan Louis, dia memiliki empat anak, yang masing-masing bisa menemaninya, tidak disangka bahwa tidak ada orang yang ingin mendengarkan curahan hatinya.

Jangankan curahan hatinya, bahkan berkata 2 kalimat yang indah untuk didengar untuk menghiburnya pun mereka tidak mau.

Hansen merasa marah.

Tapi itu bukan karena William seorang diri saja, tetapi juga Vania, Mila dan Demian.

Dan sekarang ada William didepan matanya, jika dia tidak menangkapnya, siapa yang akan dia tangkap?

“Lalu, aku tidak pernah membencimu.”

William tidak banyak bicara, meninggalkan kalimat itu dan melangkah keluar dari sudut, dan berjalan menuju ruang gawat darurat.

Hansen tidak langsung berdiri, butuh tiga atau empat detik untuk memahami apa yang dikatakan William.

Hidung Hansen terasa sakit, matanya memerah, dan dia menutup matanya sebentar.

Mendengus sambil berkata, “Bocah bau, sekarang baru terpikirkan, langsung mengatakan tidak membenci. Kamu siapa?”

Hansen mengulurkan tangan dan menggosok matanya dua kali, mengambil napas dalam-dalam, keluar dari sudut, dan berjalan menuju ruang gawat darurat.

……

restoran Dongxi。

Ellen begitu mudah melepaskan diri dari Bintang dan menjauh darinya. Dahi putihnya berkerut dan matanya yang besar bersinar dengan sedikit kewaspadaan dan ketidakpuasan, dan dia menatap Bintang.

Mata Bintang penuh dengan kegembiraan, dan wajahnya tampan seolah kembali ke saat sekolah menengah, cerah dan bersemangat.

Tapi dia tidak mengabaikan ketidakpuasan Ellen, dan berkata, “Maaf, aku terlalu emosi.”

Ellen berkedip lagi.

“Ellen, aku sangat senang.” Suara Bintang penuh warna yang menyenangkan, dan Ellen terkunci oleh cahaya yang bersinar di mata yang berbintang.

Ellen menatapnya. “Kamu baru saja terlihat sedang terburu-buru.”

“Tidak ada yang bisa dibandingkan denganmu!”

Bintang menarik napas dan melangkah menuju Ellen, melihat Ellen mundur, dia berhenti, dia menggaruk kepalanya dan tersenyum, “Aku benar-benar membuatmu takut sekarang.”

Ellen mengerutkan bibirnya. “Aku akan kembali ke kamarku.”

Bintang mengerutkan kening, dan ketika dia hendak mengatakan sesuatu, telepon di saku celananya berdering.

Wajah Bintang tenggelam, dia menyentuh teleponnya, dan menutup telepon tanpa melihat.

Bulu mata Ellen bergetar dan dia berbalik untuk membuka pintu.

“Ellen…..”

Bintang dengan cemas memanggilnya, tetapi teleponnya berdering lagi.

Ellen menatapnya, mengangguk padanya, dan mendorong pintu masuk kekamar.

Bintang memandangi pintu kamar yang tertutup, menatap kekesalannya, mengepalkan tinjunya dan menaruh tangannya di dinding, sebelum mengeluarkan ponselnya.

Saat melihat nama yang berkedip di layar ponsel, wajah Bintang sedikit hitam. Kali ini, dia tidak menutup telepon lagi. Dia meletakkan ponsel di dekat telinganya untuk menjawab.

“Bintang, kenapa barusan kamu menutup teleponku? Di mana kamu? Aku sudah sampai di gerbang rumah sakit sekarang. Kemarilah cepat. Aku akan menunggumu.”

Sebentar?

Bintang melirik ke bawah matanya dan menyipit kearah pintu kamar, lalu mencibir, “Vania, aku perlu mengingatkanmu, apakah mama kandungmu yang sedang dirawat di ruang gawat darurat sekarang?”

“……. Apa maksudmu?”

“Kamu benar-benar wanita yang sangat lugu dan cuek.” Bintang berkata dengan dingin, lalu dia menutup telepon.

Dia melepaskan ponsel dari telinganya. Warna dingin di mata Bintang secara bertahap digantikan oleh kelembutan, dia melihat pintu kamar dengan ringan: Ellen, selamat datang kembali!

……

Di gerbang rumah sakit, Vania duduk di mobil Lamborghini dengan ekspresi marah, “ Mizka, coba kamu katakan, apa maksudnya mengatakan itu? Apa, aku wanita yang benar-benar lugu dan cuek? Apa yang Bintang maksud? Aku akhir-akhir ini telah bekerja sangat keras untuk tidak menjadi keturunan orang kaya yang tidak bekerja dimatanya, aku sangat berusaha. Bagaimana dia bisa mengatakan itu kepadaku?”

Butuh beberapa saat untuk suara datang dari mikrofon ponsel. “Vania, Bibi sedang berada di ruang gawat darurat sekarang. Sebagai seorang putri, kamu harusnya sangat khawatir dan tidak sabar untuk pergi ke rumah sakit untuk mengetahui situasinya.”

“Apa hubungannya? mamaku sedang dirawat sekarang. Aku tidak bisa melihatnya bahkan ketika aku sampai di rumah sakit.” Vania mengerutkan keningnya.

Setelah Vania mengatakan ini, Mizka tidak berkata apa-apa lagi.

Akhirnya dia berkata, “Vania, pernahkah kamu memikirkan tentang hidup dan mati mamamu? Jika ada kesempatan, kemungkinan tidak...”

“Tidak mungkin! Peramal mengatakan mamaku bisa hidup lebih dari sembilan puluh tahun. “

Vania menyela Mizka dengan tidak sabar, dan berkata, “ Mizka, sekarang aku bertanya kepadamu apa arti perkataan Bintang, tidak menyuruhmu membicarakan tentang mamaku. Apa kamu tahu aku sangat kesal sekarang!”

“Van…..”

“Lupakanlah, kamu tidak usah bicara lagi. Kamu tidak bisa mengatakan sesuatu yang baik! Teman sepertimu apa gunanya!”

Vania berkata dengan ekspresi cemberut, dia bahkan terlalu malas untuk menutup telepon, dan langsung melemparkannya ke kompartemen mobil.

……

Sekitar setengah jam, mobil Audi berwarna hitam masuk ke depan gerbang rumah sakit.

Melihat mobil berhenti, Vania dengan bangga mengangkat alisnya dan mendorong pintu untuk keluar dari mobil.

Pada saat yang sama, lelaki yang kurus melangkah keluar dari mobil Audi. Vania berseri-seri, meraih tas dan berjalan cepat, memeluk lengan pria itu, dan menyenderkan seluruh tubuhnya di lengannya. “Bintang, kamu akhirnya datang. Aku sudah menunggumu hampir satu jam.”

Bintang menatap Vania, dalam matanya, ada rasa jijik yang tidak dapat disembunyikan.

Mata Vania tertahan sebentar, dia memegang lengan Bintang lebih erat dan berkata dengan lembut, “Aku sangat khawatir tentang mamaku. Ayo kita masuk.”

Bintang membeku, dan sekarang dia tidak ingin memandangnya, dia melepaskan tangannya dengan kuat dan berjalan menuju rumah sakit.

“……..Bintang, kenapa kamu jalan cepat sekali? Tunggu aku.”

Novel Terkait

The Serpent King Affection

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
3 tahun yang lalu
My Cute Wife

My Cute Wife

Dessy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu