Hanya Kamu Hidupku - Bab 61 Ellen, Kamu Bisa, Kamu Sangat Hebat

Sangat sakit sampai dia secara tidak sadar menggaruk pantatnya. Kulit kepalanya kencang, dia pergi melihat secara diam-diam, tangannya ada di selangkangan. Berdiri di depannya seperti gunung, matanya dingin, dan lelaki itu menunduk dengan dingin.

Sebuah pikiran melintas di kepala kecil Ellen: Apakah dia akan memukulnya?!!

“Apakah salah?” Suara lelaki itu sangat dingin seperti bongkahan es.

“…” Alis Ellen berputar, dan bulu matanya juga terjatuh beberapa.

William memandang mulut kecilnya yang agak cemberut, dengan marah berkata, “Bicara!”

Ellen dibuatnya tertegun, tapi dia juga agak sedikit kesal, mengeluh dan bergumam dengan suara kecil, “Ini kan cuman persiapan untuk menginap dirumah teman satu malam. Berlebihan!”

Mendengar ini...

Wajah William dengan cepat berubah menjadi hitam, “Ellen, kamu bisa, kamu sangat hebat!”

“Terimakasih!” Ellen berbisik.

“…” Dia mengepalkan tangannya yg ditaruh diselangkangan, matanya memancarkan tatapan yang dingin dan juga amarah, jantungnya berdegup lebih kencang, “Kamu inii…….”

“Bukankah aku hanya menginap ditempat teman satu malam? Haruskah semarah ini? Apakah aku memukuli orang atau pergi ke bar? Harus seperti ini? Kalo kamu tidak menyukaiku, aku besok akan pindah, tinggal bersama kakek buyut.”

Satu kalimat William belum selesai, Ellen tiba-tiba menatap keatas, bicara, mata kucing merahnya terdiam menatap William.

William menatap Ellen, tampaknya Ellen tiba-tiba meresponnya dengan sangat kuat, ada sedikit kejutan dimata yang dingin.

2 detik kemudian, William tertawa dengan dingin, “Sudah dewasa ya…”

“Bagaimana kamu bisa mengatakan itu!”

Belum selesai juga William berbicara, Ellen membalasnya dengan berteriak.

Setelah selesai berteriak, dia berdiri dengan wajah yang mengecil sambil memegang pantat dengan satu tangan, berjalan kearah pintu dengan postur yang lucu.

William sampai tidak bisa percaya bahwa wanita yang berjalan didepannya itu adalah Ellen.

Mata hitamnya melebar, sedikit terengah-engah, bibir tipis diluruskan dan menatap Ellen, “Memangnya aku mengizinkanmu pergi?”

“Ini kan kakiku,kalo aku ingin pergi aku bisa pergi!Kamu tidak bisa mengaturnya.”

Ellen sudah seperti habis meminum racun malam ini, William berkata satu kalimat dia membalas dengan teriakan.

Agresif!

Kepala William seperti mengeluarkan asap, tiga atau dua langkah maju, Ellen terus berjalan menuju pintu dan membukanya.

Kepala sudah seperti berasap, berjalan maju tiga atau dua langkah, mulai mengangkat Ellen yang sudah hampir meraih pintu untuk membukanya, menaruh Ellen dibahunya dan memukuli pantatnya kira-kira 2 pukulan.

Ellen, “…”

Setelah terpaku selama beberapa detik diapun menangis.

Dia sangat histeris seperti sudah mau dibunuh oleh William.

William, “..”Gendang telinganya hampir saja pecah!

William dibuat sangat marah oleh Ellen.

Dia mengangkat Ellen berjalan menuju kasur, dan Ellen terus bergerak membuat bebannya menjadi bertambah. Williampun menaruh Ellen diatas kasur.

Tempat tidur adalah merk Simmons terbaik, sangat lembut.

Dia melemparnya tanpa perasaan, tapi bukan untuk melukainya.

Saat Ellen terjatuh di kasur, dia merasa banyak bintang-bintang dikepalanya.

Tangisanpun berhenti.

Mereka semua berbaring di kasur dengan sangat canggung, mata kucing besar itu terbuka dengan lebar, sekilas terlihat seperti gadis kecil yang konyol.

Wiiliam mengangkat kakinya yang panjang keatas kasur, tanpa sungkan menaruhnya didepan Ellen, dia menaruh kakinya keatas kaki Ellen yang kecil.

Membungkuk, sebuah telapak tangan besar meraih kedua pergelangan tangannya dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Mau tak mau dikatakan bahwa mulut kecil Ellen yang konyol itu terhalang.

“hu..”

Wajah Ellen mengerut, dia hanya merasakan sedikit sakit dibibirnya, rasa sakitnya bahkan membuat kedua aslinya berdegup kencang.

Bagaimana bisa disebut dia mencium, ini adalah sebuah nafsu kemarahan yang dia lampiaskan.

Rasanya sangat kuat, mata Ellen tertegun, dan air matapun mulai turun.

Sakit!

Sakit sekalii !!

William melepaskan, mata dinginnya menatap ke Ellen, “Sudah salah belum?”

“……” Ellen buhkan hanya merasa dirinya tidak salah, tapi juga merasa dirinya adalah yang paling sengsara, tidak ada yang lain.

Dia tidak mengakui kesalahannya, William menunduk.

Ellenpun menendang sekuat tenaga.

William akhirnya melepaskan, Ellen menutupi wajahnya dan menangis sejadi-jadinya, pria itu berkata “Salah atau tidak?”

“……aku, aku mau, aku mau mencari kakek buyut, melaporkanmu, melaporkanmu, ah, pelecehan, ah…sakit, paman, sakit, aku salah, ini kesalahanku belum cukupkah?”

Ellen kesakitan sampai ingin pingsan, dia terus-terusan menangis dengan keras.

William mengerutkan wajahnya, meregangkan giginya, tak tahu malu., seperti tidak habis melakukan apapun. Menatap Ellen sambil berkata: “Masih berani?”

“woo.. tidak, tidak, tidak berani lagi.” Ellen menutup mulut dan bahkan wajahnya. Mata kucingnya itu dipenuhi dengan tetesan air mata kesedihan.

“Masih mau berbicara lagi?”

“tidak lagi.”Kata Ellen.

“Apakah aku tidak bisa mengurusmu?”Tanya William dengan tatapan yang tegas.

Air mata Ellen mulai berjatuhan satu persatu, “Iya.”

“Bisa atau tidak?”

“Bisa, bisa, bisa.”Ellen hampir dibuat gila oleh setiap katanya, satu nafas saja bisa mengulangi kata “bisa” 3 kali.

Mulutnya menjawab dengan baik, tapi hatinya sedang memaki dia dengan sangat marah!

Mata William bersinar, membersihkan darah dibibirnya, menunduk, dan mencium bibirnya yg masih berdarah.

Merasakan dibibirnya ada sesuatu yg lembut.

Bulu mata Ellen bergetar dengan air mata, mengisap hidungnya dan menatap William.

“Sangat sakit?” Sambil melihat bahwa bibirnya yg bergetar tanpa henti. William mengerutkan alisnya menatap mata Ellen dan bertanya dengan lembut.

Ellen berkedip, dua tetes air mata menyelinap dari sudut matanya.

Bagaimana tidak sakit?

Dia memberinya gigitan!

Tentu saja, Ellen tidak memiliki keberanian untuk mengatakan ini!

William memiliki bibir yang tipis, dia turun dari tubuh Ellen, berjalan keluar secara perlahan.

Ellen terpaku, mendengar suara William yang berasal dari pintu.

“Bibi Darmi, kotak obat.” Kata William.

Tidak usah pusing, selain Ellen memanggil Darmi “Bibi darmi”, beberapa orang juga sudah terbiasa memanggilnya Bibi Darmi.

Panggilan “Bibi Darmi” ini bukan soal umur, hanya saja orang-orang sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan ini.

……

Darmi dengan terburu-buru mengambil kotak obat, dan berharap bisa melihat keadaan Ellen saat ini, tapi sesampainya didepan pintu, William meminta kotak obat itu.

Darmi tidak berani menolak, akhirnya dia memberikan kotak obat itu.

William mengambil kotak obat dan masuk kedalam kamar, Darmi mengikuti langkahnya tapi belum sampai didepan pintu pintu sudah ditutup olehnya.

Darmi terhenti, dengan sedikit khawatir berhenti didepan pintu beberapa menit.

Dengan tidak ada pilihan, diapun akhirnya berbalik.

Didalam Kamar.

William membawa kotak obat berjalan kearah Ellen.

Ditaruhnya diatas kasur dan membukanya, lalu dia mengambil obat merah dan kapas, duduk disamping tempat tidur.

Ellen melihat William yang mencelupkan kapas di obat merah, mengerutkan alis, dengan sedikit menangis berkata dengan lembut, “Aku tidak mau.”

Lukanya mungkin sudah lebih parah, jika dikasih obat merah ini pasti akan sangat sakit!

Mendengar kata-kata Ellen barusan, William melirik bibirnya, dan berbicara dengan lembut, “Tahan sebentar, paman berikan obat, sebentar saja setelah itu tidak akan sakit.

Ellen menggelengkan kepala.

Tanpa persetujuan Ellen dia langsung memberikan kapas dengan obat merah itu diatas bibirnya.

Kulit Ellen mati rasa, pikirannya menyempit.

William memberhentikan tangannya, dengan tatapan yang dingin menatap Ellen tanpa bicara apapun.

Ellen terus meneteskan air mata, dan dia bicara dengan pelan, “bisakah langsung dikasih obat saja?”

“Menurutmu?”

“ahh..”

Dia bicara dengan muka datar, dan saat dia bicara dia sedang mengobati luka dibibir Ellen lagi.

Dia smakin merasakan sakit itu, menutup matanya, tapi matanya tidak berhenti bergerak.

William menempelkan kapas itu kebibir tipisnya, setelah memberikan obat merah dia langsung memberikan obat penyembuh untuknya.

Dia mengoleskan krim pada bibirnya, setelah itu Ellen baru merasa rasa sakitnya sudah tidak seberapa.

William menaruh semua obatnya kembali kedalam kotak obat lagi, setelah itu mengarahkan pandangannya kepada Ellen lagi.

Ellen berpura mengecek pemandangan, tidak menghiraukan tatapan William.

“Apa kamu marah padaku?” katanya tiba-tiba.

Bulu mata Ellen bergetar keras, dan ada gelombang hangat di matanya.

Ellen tidak menatap keatas ataupun mengeluarkan sepatah kata.

Tertegun.

Dagunya terpancing oleh jari panjang yang agak dingin.

Ellen akhirnya terpaksa menatap keatas, memandang orang itu.

William mengerutkan keningnya, memandang Ellen dan berkata, "Waktu tidak bisa mundur, dan apa yang terjadi tidak dapat diubah."

Mata Ellen sedikit basah, agak sedikit menderita, “Paman ketiga, kenapa harus begini?”

Suara Ellen sangat serak.

“Menurut kamu?” Tanya William, Mengubur kepalanya dan menutupi bibirnya yang lembut.

Bibir Ellen melengkung, menatapnya seperti menatap bos.

William biasa saja dan diapun mundur, Jari putih ramping memegang ujung telinganya yang merah muda dengan ringan, matanya menatap sangat dalam, dengan suara sexy dan sedikit mendesah berkata: “Apakah kamu mengerti?”

“…..” Salah satu tangan Ellen memegang bibirnya, memandang kedalaman mata William yang berkabut.

Ujung jari William menjentikkan telinga Ellen, berbisik dengan perlahan, “Aku selalu menunggu, menunggu umurmu genap 18 tahun.”

Ellen bergetar, dan bulu kuduknya pun berdiri.

Ellen mengerutkan dahinya, dia mengarahkan jarinya kearah kepala Ellen, dan berkata dengan lembut, “Ellen, kamu adalah milikku, dan hanya untukku, mengerti?”

Nafas Ellen mengetat, “didalam hatiku, aku selalu menganggapmu sebagai orang tua, tidak pernah sekalipun berpikir….”

“kalau begitu dari sekarang. Ellen, anggaplah aku sebagai seorang lelaki, sebenarnya tidak susah. “ Tangan William membelai lembut telinga Ellen, mengarahkan tangan ke belakang lehernya dan menariknya, meletakan kepalanya kedadanya sendiri.

Detak jantungnya yang stabil terdengar seperti detak drum yang padat. Dug, dug dug, dug dug dug…..

Ellen merasa detaknya jantungnya semakin lama semakin cepat, semakin lama semakin dekat, dan semakin lama semakin terdengar.

Hatinya, seolah didorong, dan mengikuti aluran detak jantungnya.

Tiba-tiba, tangan besar yg memeluknya itu, memegang wajahnya dan mengangkatnya keatas.

Begitu Ellen memalingkan wajahnya, dia tidak bisa melihat apa-apa, dan bibirnya tersegel.

Novel Terkait

Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
3 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu