Hanya Kamu Hidupku - Bab 225 Dia, Milikku

Tindakannya membuka baju tertegun, mata William yang mendalam memancarkan cahaya yang jernih, berjalan dua langkah ke depan, mengambil ponsel dari meja samping ranjang, dan bahkan tidak melihat nama penelepon, dia langsung meletakkan ponsel di telinganya dan menjawab.

William tidak mengeluarkan suara, dan juga tidak terdengar suara dari dalam telepon.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara pria berkata, “Sungguh menakjubkan, ini adalah pertama kali kamu begitu cepat mengangkat panggilan teleponku.”

Itu adalah Frans.

Tatapannya yang lembut tiba-tiba menjadi suram, dan berkata dengan nada rendah, “Sudah ada hasilnya?”

“Sudah. Kalau tidak aku juga tidak berani meneleponmu.” Frans berkata.

William mengerutkan kening, “Katakanlah.”

Frans menarik nafas, dan berkata dengan serius, “Kalau aku bilang, selain keberadaan Agnes Nie, tidak menemukan data lainnya, apakah kamu percaya?”

Tidak menemukan apapun?

William menyipitkan matanya, berkata dengan nada dingin, “Jadi maksudmu tidak menemukan apapun?”

“Chiee. Jangan begitu terburu-buru. Meskipun tidak menemukan apapun tentang Agnes Nie, tetapi kamu menyuruhku menyelidiki keluarga Nie, aku menemukan beberapa hal yang menarik.” Frans berkata dengan santai.

“Katakan.” William berkata.

“Heh, aku suka gayamu yang sombong.” Frans tersenyum licik, kemudian kembali ke topik semula, dan berkata dengan serius, “Pernahkah kamu mendengar Bos mafia Boromir Zang di kota Rong?”

William mengedipkan matanya, “Ya.”

Boromir Zang adalah ketua mafia di kota Rong, sifatnya sangat kejam dan licik, membunuh orang tanpa mengedipkan matanya, orang-orang menyebutnya Hyena.

Mengapa menyebutnya Hyena, karena bahkan singa dan harimau jantan pun takut dengan Hyena!

Boromir Zang bukan nama aslinya, mengenai nama aslinya, pada dasarnya tidak ada yang ingat.

“Henner Nie adalah ayahnya Dorvo Nie, presiden dari perusahaan Nie saat ini, disikat oleh Boromir Zang, kamu pasti tidak tahu tentang ini.” Frans berkata.

Dia tidak peduli tentang ini, tentu tidak tahu.

Untuk apa merasa bangga?

William menyipitkan matanya, “Terus katakan.”

“Setelah Henner disikat Boromir Zang, istrinya juga ikut bunuh diri dan meninggal dunia. Henner memiliki seorang adik laki-laki, namanya Rainar Nie. Kalau tidak salah ini seharusnya adalah ayah kandung Ellen.” Frans berkata.

“Terus.” Mata William menjadi dingin.

“Masalah sebelumnya belum diselidiki secara menyeluruh, lagipula kamu hanya memberiku waktu dua hari.”

Frans tertegun sejenak, dan terus berkata, “Kudengar Boromir Zang menyukai istri Henner, jadi dia selalu menentang keluarga Nie. Pada saat itu, ayahnya Henner masih hidup, dan Boromir Zang belum memiliki status seperti saat ini, untuk mendapatkan istri Henner, dia memaksa Rainar Nie pergi. Demi keselamatan putranya, orang tua Rainar Nie menyuruh Rainar Nie pergi menjauh. Aku merasa mungkin dia berencana setelah Boromir Zang kehilangan kekuatan kemudian baru menjemputnya kembali. Sayangnya, Tuhan tidak menuruti keinginannya, Boromir Zang terus berjuang dan duduk di posisi tertinggi di dunia mafia kota Rong, dia tidak hanya membunuh Henner, dan juga menyebabkan wanita kesayangannya bunuh diri demi Henner. Katanya setelah istri Henner meninggal, Boromir Zang sangat marah dan hampir menghancurkan keluarga Nie. Tetapi akhirnya, dia tidak menyentuh keluarga Nie, sepertinya ada hubungannya dengan Eldora Nie, putrinya Henner.”

Selesai berkata, lumayan lama kemudian William juga tidak berkata, Frans mendengus dan berkata, “Sementara yang aku temukan hanya ini saja, tetapi ternyata cerita keluarga Nie lumayan menarik juga.”

Tatapan William saat ini sangat mendalam, beberapa saat kemudian, suaranya yang tidak bersuhu keluar dari bibirnya, “Aku sudah tahu.”

Selesai berkata, William langsung ingin menutup telepon.

“Agnes Nie adalah Ellen, kan?”

Terdengar suara Frans yang penuh waspada.

William berhenti dua detik kemudian, berkata, “Ya.”

“Benarkah?” Frans yang selalu tenang juga terkejut.

William menundukkan matanya, “Aku tutup dulu.”

Kemudian, tidak menunggu Frans berkata, dia langsung menutup telepon.

Setelah menutup panggilan telepon, William menatap layar ponsel selama dua detik, dan kemudian berjalan menuju keluar kamar tidur.

William berjalan keluar dari kamar tidur dan berencana pergi ke kamar Samir, tanpa terduga dia melihat Samir tertidur di karpet bawah sofa bagaikan seekor babi.

Dahinya muncul beberapa garis hitam, William mengerutkan kening, melangkah maju, dan menatap Samir, lalu mengangkat kakinya, menendangnya, "Bangun."

Samir....... tidak ada respon.

William menendang lagi dengan tenaga yang lebih kuat, “Bangun!”

“Wuhh..... jangan ribut, siapa yang mengganggu aku tidur, aku tidak akan memaafkannya!” Samir mengerutkan wajahnya yang tampan dan mendengus berkata.

William menahan diri dan memejamkan matanya, tiba-tiba membungkukkan tubuhnya, menarik kerah baju Samir, langsung menyeretnya dari karpet menuju ke luar, dan melemparkannya ke sofa.

Dilempar seperti begitu, Samir langsung terbangun, membuka lebar matanya, dan memelototi William.

William menggerakkan sudut mulutnya, berkata, “Telepon.”

“.......Telepon siapa?” Samir bingung.

“Ellen.” Ketika William menyebut nama ini, nada suaranya tiba-tiba menjadi lembut.

Samir memutar bola matanya ke atas, mengulurkan tangan mengibas rambutnya yang pendek, dan mengerutkan kening berkata, “Jam berapa sekarang?”

William melihat jam dinding: Tujuh setengah.

Namun dia tidak ingin membuka mulut memberitahu Samir.

Wajah Samir yang tampan bergetar, memutar kepala melihat sendiri.

Melihat waktu, Samir hampir gila!

Sekarang baru jam setengah delapan! Dia biasanya harus tidur sampai setidaknya jam sepuluh! Dia benar-benar tidak dapat menahannya!

Samir sambil merasa kesal sambil mencari ponselnya.

Tidak ada cara lain, Tuan Dilsen telah memerintah harus menelepon, apa yang bisa dia lakukan kalau tidak mendengarkannya? Emangnya bisa membantahnya!

“Tidak perlu cari lagi, gunakan punyaku!”

William memang tidak rencana membiarkan Samir menggunakan ponselnya sendiri.

Samir tertegun, menatap ponselnya, “Ponselmu memiliki nomor ponsel Ellen kecil?”

“Ya.” William menjawab dengan kaku.

“..... kapan kamu mengintipnya dari ponselku?” Samir bergumam, mengambil ponsel dari tangannya dan meliriknya.

William tidak berkata.

Dia menundukkan matanya melihat dia membolak balik mencari di dalam buku kontak kemudian berkata dengan tenang, “Yang pertama.”

Yang pertama?

Samir melihat ke atas.

Ketika melihat nama kontak itu, Samir tiba-tiba merasa dirinya mengalami pukulan yang kuat.

“a milikku”..... Apa maksudnya?

Apakah dia sengaja menunjukkan percintaan mereka padanya?

Samir menatap William dengan sebal, dan diam-diam berpikir, ternyata pria yang terlihat kuat menahan nafsu, sebenarnya adalah pria yang paling miyang!

Di bawah "pengawasan" William, Samir menelepon nomor “Milikku”.

……

Ketika ponsel bergetar di saku bajunya, Ellen baru saja selesai menyiapkan sarapan dan naik ke atas untuk membangunkan Tino dan Nino.

Ellen melihat ke lantai dua, dan mengambil ponsel di dalam sakunya.

Ketika melihat nomor yang berkedip di layar ponsel, tangan Ellen bergetar, ponselnya hampir jatuh.

Dia segera menenangkan pikirannya, Ellen memegang erat ponselnya, wajahnya terasa panas, dan matanya yang menatap ponsel menjadi panik.

Dia, mengapa meneleponnya?

Dia seharusnya mengangkat atau tidak?

Nurima mengenakan kacamata, duduk membaca koran di sofa. Sudut matanya melihat Ellen berjalan ke ruang tamu dan tiba-tiba tidak bergerak. Dia mengalihkan pandangannya, melihat Ellen dan merasa curiga, “Agnes, apakah kamu baik-baik saja?”

Ellen mendengar suara Nurima, dia menarik napas, mengangkat kepala melihat wajah Nurima, dan wajahnya mulai memerah.

Nurima terkejut, “Apa yang terjadi pada wajahmu? Agnes, apakah kamu demam lagi?”

Nurima berkata, meletakkan koran, dan akan bangun untuk melihat Ellen.

Ellen segera berkata, "Aku baik-baik saja, nenek. Aku akan menjawab telepon dulu."

Selesai berkata, Ellen mengambil ponselnya dan segera naik ke lantai atas.

Nurima melihat Ellen bergegas naik ke lantai atas, dia mengerutkan kening dan merasa curiga.

.........

Setelah kembali ke kamar, Ellen tidak ragu-ragu lagi, dia menjawab telepon, seolah-olah dia takut pihak lain tidak sabar menunggunya menjawab dan langsung menutup telepon.

Di saat ketika panggilan telepon terhubung, Ellen menahan nafasnya, “Halo.”

Begitu suara dikeluarkan, Ellen sendiri bisa merasakan getaran di tenggorokannya, wajahnya menjadi semakin panas, hingga sudut matanya pun terasa.

“Ellen kecil, ini aku, paman...... kakak kelima.”

Terdengar suara Samir dalam telepon.

Nafas Ellen yang tegang menjadi lega, dia menjilat bibirnya yang kering, hatinya tidak dapat membedakan apakah itu kecewa atau merasa lega, menarik nafas dalam-dalam, dan berkata, “Kakak kelima......”

“Adik yang patuh.”

Ellen, “......”

“Uhuk...... itu, Ellen kecil, apakah kamu masih tidur?” Samir berkata.

Ellen mengedipkan bulu matanya, berjalan ke tepi ranjang dan duduk, menundukkan kepala melihat jari kakinya, “Sudah bangun dari tadi. Kenapa? Meneleponku pagi-pagi gini, apakah ada sesuatu?”

“Ada, tentu saja ada.” Samir berdeham, dan tiba-tiba berkata, “Bagaimana kalau kita melakukan wawancara pada hari ini?”

“Hari ini?” Ellen kaget.

“Hari ini tidak bisa?” Samir berkata.

“....... bukan.” Ellen menggerakkan bibirnya, berpikir dan berkata, “Kalau begitu hari ini saja. Siang atau sore, dan di mana?”

“Siang. Kamu datang ke hotel.”

Hotel?

Mata Ellen mengedipkan keraguan.

“Ellen kecil, bukankah hotel lebih tenang? Tidak ada yang mengganggu, cocok untuk melakukan wawancara, bagaimana menurutmu?” Samir tersenyum berkata.

“....... baiklah. Selesai sarapan aku pergi mencarimu.” Ellen berkata.

“Kalau begitu kami menunggumu.”

Selesai berkata, Samir langsung menutup telepon.

Wajah Ellen kembali menjadi tegang, apa, apa maksudnya “Kami” menunggu?

Ellen memejamkaan matanya, memegang telinganya yang panas, berjalan bolak balik di dalam kamar, setelah merasa wajahnya tidak begitu panas kemudian dia meninggalkan kamarnya dan pergi ke kamar anak untuk membangunkan kedua bocah.

……

Setelah menemani Tino dan Nino selesai sarapan, Ellen naik ke lantai atas mengganti pakaiannya, lalu mengambil tas dan kunci mobil, langsung pergi keluar.

Masuk ke dalam mobil, Ellen menundukkan kepalanya dan disaat mengikat sabuk pengaman, dia secara tidak sengaja melihat beberapa pria yang mengenakan atasan dan celana hitam berdiri bersembunyi di sudut villa, dia menundukkan bulu matanya, menyalakan mobil, dan mengendarai mobil keluar dari villa Air Jernih.

Pukul delapan empat puluh menit, mobil Ellen tiba di Junli.

Novel Terkait

My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
3 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milea Anastasia
Percintaan
4 tahun yang lalu
Revenge, I’m Coming!

Revenge, I’m Coming!

Lucy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
3 tahun yang lalu
Dark Love

Dark Love

Angel Veronica
Percintaan
5 tahun yang lalu