Hanya Kamu Hidupku - Bab 165 Gadis Yang Membuat Dia Merasa Sangat Sakit Hati

William berkata dengan perlahan sambil menatap ke Louis dengan ekspresi serius.

Louis, ".........." Melihat ekspresi William yang tenang dan dingin, detak jantung Louis tiba-tiba mengencang, jangan-jangan, benar-benar adalah William yang memaksa Ellen.............

"kakak ketiga, walaupun kamu mau berpihak kepada Ellen, kamu juga tidak perlu menanggung semuanya sendiri!" Vania menatap ke William dengan ekspresi frustrasi.

Vania tidak akan percaya, tidak akan percaya bahwa William yang memaksa Ellen!

Ellen ada baik apa? Dia hanya seorang gadis jelek yang tidak mengerti apa pun! Dari mana Ellen bisa berbanding dengan Rosa yang sempurna?

Tidak apa-apa kalau William tidak menyukai Rosa, tetapi bagaimana dia bisa menyukai Ellen?

Ellen sama sekali tidak berada di satu tingkat yang sama dengan Rosa!

"kakak ketiga"

Vania bergegas ke hadapan William dan memegang lengannya, "Aku tahu kamu yang membesarkan Ellen, tetapi kamu tidak boleh tidak tahu apa yang berat dan ringan, apa yang salah dan benar. Ellen memiliki pemikiran yang begitu menjijikkan terhadap kamu, bagaimana kamu masih bisa berbicara untuknya? Apakah kamu ingin reputasi kamu hancur di tangan Ellen? Kalau masalah ini tersebar keluar, muka keluarga Dilsen mau diletak dimana?"

William mendorong tangan Vania dengan tenang dan menatapnya dengan tatapan dingin, "Aku menyukai Ellen. Sejak awal aku yang terus memaksanya. Demi menghindar aku, dia mencari Bintang Hamid untuk pura-pura menjadi pacarnya, dia ada mencoba menarik hubungan paman dan keponakan kami ke posisi kembali"

Berkata sampai sini, William menambah, "Aku berkata untuk terakhir kalinya, Ellen tidak mencoba mendekati aku, kalau aku mendengar satu kata yang bersifat mengotori reputasi Ellen, siapa pun orang itu, aku tidak akan melepaskannya begitu saja!"

"......." Jantung Vania mengerat dan mendingin, dia melihat ke wajah William yang gelap dengan ekspresi tidak percaya, "kakak ketiga, kamu, bagaimana kamu bisa, bagaimana kamu bisa menyukai orang seperti Ellen? Ellen termasuk apa? Dia hanyalah anak tiri keluarga Dilsen yang berkelas rendah, dari mana dia pantasi disukai olehmu?"

"Di dalam hatiku, dia adalah terbaik di dunia ini, barang berharga apa pun tidak bisa membanding dengannya" William berkata dengan nada suara pasti.

"kakak ketiga..."

"Termasuk kamu!"

William menatap ke Vania dengan dingin, "Jadi, jangan membiarkan aku mendengar satu kata tentang keburukan Ellen dari mulutmu lagi, kalau tidak jangan menyalahkan aku tidak menganggap kamu sebagai adik!"

"Ahhhhhhhhhh!"

Vania yang merasa ketakutan memegang kepalanya dengan pasrah, dia menarik rambutnya sendiri dengan kuat dan merasa dirinya akan menggila kalau masih tidak meninggalkan ruangan ini.

Setelah berteriak dengan marah, Vania pun berlari keluar dari ruangan.

Gerald yang melihat adegan ini pun mengerutkan alisnya, dia melihat ke William dan Hansen yang berbaring di atas tempat tidur sebelum mengejar keluar.

Sementara Louis masih berada di dalam kondisi terkejut.

William menjilat bibirnya dan tatapan dinginnya mengerat ketika dia melihat wajah Louis yang pucat dan terkejut, "Ibu, aku harus bersama dengan Ellen"

William menunjukkan keinginannya.

Dia harus bersama dengan Ellen, tentu saja paling bagus kalau mereka mendukungnya.

Kalau misalnya mereka tidak mendukung, keputusan William juga tidak akan berubah!

"............" Louis menatap ke William secara perlahan dan air matanya pun segera mengalir, "William, kamu, kamu, bagaimana kamu bisa melakukan hal melanggar hukum alam seperti ini? Ellen adalah keponakan kamu, kamu yang membesarkannya dari kecil! Mengapa kamu bisa, bisa melakukan hal seperti ini? Apakah kamu masih merupakan anakku yang dulu?"

Sebenarnya.

Kalau berkata Ellen yang mendekati William duluan, mungkin Louis akan merasa agak baikan, karena paling tidak William itu berada di posisi ditarik.

Sementara sekarang Louis mengetahui anaknya sendiri memaksa seorang gadis berusia 18 tahun hanya demi nafsunya sendiri, Louis lebih merasa sakit hati dan kecewa daripada merasa marah.

"Aku merasa dia harus pergi melihat psikolog!"

Hansen yang hanya diam dan mendengar dari tadi baru bersuara dengan dingin.

William, ".........."

"..........."

Louis memejamkan matanya dengan air mata yang terus mengalir, dia merasa sangat tidak berdaya.

...........

Di dalam mobil mewah yang berada di tempat parkir rumah sakit.

Vania menyandar di lengan Gerald sambil menangis, "Ayah, apakah kamu tidak merasa kakak ketiga sudah gila? Dia adalah presiden perusahaan Dilsen, tetapi dia malah jatuh cinta ke gadis yang dia mengasuh, kalau masalah ini tersebar bukannya semua orang akan menertawakan kita? kakak ketiga itu sedang berpikir apa sih? Mengapa dia menyukai Ellen? Mengapa harus Ellen?!"

Berbanding dengan Louis, Vania lebih tidak bisa menerima hal ini.

Vania akan merasa seperti ada sebuah cakar yang tajam sedang mengores jantungnya ketika dia berpikir tentang adegan William berkata bahwa dialah yang memaksa Ellen tadi.

Gerald hanya diam dan mengelus kepala Vania, "Tenang saja, kakak ketiga kamu adalah pemegang kekuasaan salah satu keluarga terbesar di kota kita, segala tingkah dan kata-katanya bisa membawa efek kepada perusahaan dan keluarga Dilsen, hal ini juga berati kakak ketiga kamu tidak bisa melakukan hal sesuka hatinya, meskipun dia menyukai Ellen, dia juga tidak akan bisa menikah dengannya! kakak ketiga kamu harus mencari wanita berlatar belakang setingkat dengan keluarga Dilsen, wanita itu harus bisa membantu kakak ketigamu dari segala bidang. Jangan berkata tentang Ellen sekarang adalah anak tiri keluarga Dilsen dulu, walaupun dia bukan anggota keluarga kita, identitas dia juga tidak setingkat dengan kakak ketiga kamu, kamu tidak perlu khawatir tentang itu"

"Tetapi cara kakak ketiga melakukan sebuah hal itu tidak seperti orang biasa, bagaimana kalau dia sudah bersikap keras tidak akan menikah kalau bukan Ellen? Kalau hal itu benaran terjadi, aku sudah tidak perlu keluar lagi. Semua orang pasti akan menggosip aku! Ayah, aku masih belum menikah. Kalau masalah seperti ini terseba keluar, masih ada siapa yang berani menikahi aku?" Vania memegang lengan Gerald dengan sikap manja.

Melihat penampilan Vania berkata sambil menangis, Gerald tertawa dan menyeka air mata di wajah Vania, "Paling bagus kalau tidak ada yang menikahi kamu, biar kamu bisa berada di sisi ayah selamanya"

"Ah........" Vania menangis dengan sedih, "Ayah, aku merasa sangat sedih, sangat! Mengapa kakak ketiga harus menyukai Ellen, uhuhuh.........."

"Sudah, jangan menangis lagi" Hansen memeluk Vania sambil menepuk bagian belakangnya dengan lembut.

"Uhuhu............."

Vania terus menangis di pelukan Gerald.

Vania benar-benar tidak ingin memanggil musuhnya 'Kakak ipar', hal ini akan lebih menyusahkan daripada membunuhnya!

.........................

Hari kedua, Ellen akhirnya sadar diri, Ellen merasa kaget setelah melihat Hansen, Louis dan William berada di ruangan.

Ellen tidak merasa aneh kalau melihat William di sini, tetapi Hansen dan Louis..............

"Haus?"

Melihat Ellen menatap ke Hansen yang berada di tempat tidur sampingnya dengan Louis yang duduk di sisi tempat tidur sambil melamun, William menjilat bibirnya dan memegang dahi Ellen, setelah menyadari Ellen tidak demam, William baru menarik kembali tangannya dan bertanya dengan suara lembut.

"........." Ellen menelan air liur ke tenggorokannya yang kering sambil mengangguk dengan tatapannya tetap berada di Hansen dan Louis.

Kemudian William pun berdiri dan pergi mengambil air untuk Ellen.

Melihat tingkah William, Louis merasa agak sedih.

Anak dia ini bahkan tidak pernah begitu rajin dan lembut kepadanya.

Berpikir sampai sini, tatapan Louis ke Ellen pun menjadi semakin kacau.

Ellen masih tidak mengerti kondisi saat ini, dia menjilat bibirnya yang kering dan bola matanya bergerak dari Hansen ke Louis, dia sama sekali tidak berani berbicara.

Melihat penampilan Ellen yang waspada, Hansen merasa sangat sakit hati, dia menarik nafas secara diam-diam dan merendahkan suaranya, "Ellen, apakah kamu sudah merasa baikan?"

"........" Mata Ellen menjadi semakin membesar, dia terus menatap ke Hansen, "Kakek, kakek buyut, kamu, kamu sekarang, sedang bertanya kepada aku ya?"

Suara Ellen yang biasanya jernih terdengar sangat serak.

Hal ini membuat Hansen merasa semakin sakit hati, "Anak bodoh, apakah masih ada orang lain yang bernama Ellen di sini?"

"........ kakek buyut" Ellen memanggil Hansen, air matanya pun terus mengalir.

Hansen menarik nafas, "Aduh, kamu kenapa menangis?"

Hansen merasa cemas dan langsung mau turun dari tempat tidur, tetapi Louis langsung menghentikannya pada saat Hansen baru bergerak.

Hansen melirik ke Louis.

Louis, "............."

".... Ayah, kamu masih sedang infus ini" Louis mengingatnya dengan suara kecil.

Hansen, "................"

Setelah memasuki ruangan dengan air, William langsung melihat Ellen menatap ke Hansen sambil menangis dengan mulut menggembang.

William merasa seperti ada duri yang menusuk ke jantungnya, dia duduk di sisi tempat tidur dan menaikkan tempat tidur Ellen sebelum memberikan gelas yang memiliki sedotan ke bibir Ellen, "Minum air"

Ellen tetap menatap ke Hansen sambil berusaha menahan.

Hansen menghela nafas panjang di dalam hati, kenapa anak ini begitu bodoh!

"........Ellen, minum air dulu" William berkata.

Ellen menarik nafas sebelum menoleh ke William, tetapi air matanya tetap terus mengalir, "Paman ketiga, apakah aku sedang mimpi sekarang?"

".........." William mengerutkan alisnya, jantungnya terasa sakit.

"Paman ketiga, kamu bantu aku lihat, apakah orang itu benar-benar adalah kakek buyut?" Ellen merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

Ellen tidak lupa apa yang dilakukan Hansen semalam karena kemarahan.

Jadi, Ellen tidak berharap Hansen bisa memaafkannya dengan mudah.

Melihat Hansen berada di tempat tidur sebelahan dengannya membuat Ellen merasa sangat tidak realitas.

Pegangan William terhadap gelas pun mengerat, dia melihat ke Ellen dengan sakit hati.

Kalau bukan Hansen dan Louis di sini, William pasti akan memeluknya.

"Ellen, ini kakek buyut kok"

Hansen melihat ke Ellen dengan mata yang memerah.

Di kehidupan ini, selain istrinya yang sudah meninggal, hanya Ellen yang pernah membuat dia merasa begitu sakit hati.

Ellen mengigit bagian bawah bibirnya dan menatap ke Hansen, "Kakek buyut, kakek buyut, aku mengira kamu, aku mengira kamu tidak akan mau menghiraukan aku lagi"

"..............." Hansen melihat ke Ellen dengan sakit hati, seberapa takutnya anak ini merasa!

Hansen menarik nafas sebelum senyum kepada Ellen, "Anak bodoh, kakek buyut paling menyayangi kamu, bagaimana kakek buyut bisa tega tidak menghiraukan kamu?"

"Kakek buyut............." Mata dan hidung Ellen memerah, ekspresinya tetap terlihat waspada dan tidak percaya, "Apakah kamu tidak menyalahkan dan tidak marah kepada aku?"

Mendengar pertanyaan Ellen, Hansen malah melirik ke William yang sedang duduk di sisi Ellen.

Melihat kondisi ini, Ellen merasa agak bingung dan menoleh ke William.

Di seluruh proses ini, Willliam tidak menatap ke siapa pun, dia hanya terus menatap ke Ellen, melihat Ellen akhirnya menoleh kepadanya, William memberikan air yang dia pegang untuk sekali lagi, "Minum air"

"............"

Novel Terkait

Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
3 tahun yang lalu
Perjalanan Selingkuh

Perjalanan Selingkuh

Linda
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Pernikahan Tak Sempurna

Pernikahan Tak Sempurna

Azalea_
Percintaan
3 tahun yang lalu