Hanya Kamu Hidupku - Bab 150 Menikahkan Kalian Berdua Secepat Mungkin

“Apabila Bintang mengetahui bahwa bibi dia adalah ibumu, pasti memiliki pikiran untuk bunuh diri .” Pani berkata.

Ellen, “... …” Apa hubungannya dengan Bintang?

“Coba kamu pikir, Bintang begitu tulus padamu, dia sudah mempersiapkan diri untuk berjuang bersamamu. Dan ternyata, orang yang dia panggil bibi selama ini adalah ibumu, kalian berdua dari teman sekelas yang begitu legendaris menjadi hubungan saudara sepupu. Tragedi yang sungguh menyedihkan !”

Ellen menghembuskan nafas dan berkata.

“ Kamu ini bisa diajak ngobrol? Aku baru saja berjumpa dengan ibuku, kamu bilang ini adalah tragedi yang sungguh menyedihkan! Apakah kamu minta dipukul? “

“Kamu tahu bukan itu yang aku maksud.” Pani merasa canggung.

Tentu saja Ellen mengetahui maksud dia, Ellen hanya tidak ingin melanjutkan topik tadi saja.

Dia dengan Bintang, entah hubungan mereka adalah sepupu atau tidak, mereka tidak mungkin bersama.

Tidak ada gunanya membicarakan persoalan ini.

Dan bagaimana reaksi Bintang saat mengetahui hal tersebut, bukan itu yang dia peduli.

Sebaliknya.

Menurut dia lebih baik Bintang mengetahui hal ini.

Apabila begitu, Bintang tidak perlu bersikukuh untuk dia.

“Ellen, kamu begitu baik, dan begitu giat, tuhan memberkatimu, dan mengembalikan ibumu kepadamu. Selamat ya.” Pani berkata.

“... …” Ellen tertegun, “Pani.”

“Sedangkan ibuku, tidak akan kembali lagi.” Suara Ellen sedikit berserak.

“... …, Pani, Maaf.”

Ellen merasa cemas, terduduk dari tempat tidur, mengerutkan alis yang merasa bersalah, “Aku hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan perasaanmu, aku minta maaf.”

Berjumpa lagi dengan Vima, Ellen sangat senang sehingga dia melupakan hal tersebut.

Pani adalah sahabat baiknya, sehingga orang pertama yang ingin Ellen membagi kabar gembira ini adalah Pani, tetapi dia melupakan bahwa ibunya sudah meninggal dunia.

“Hei, mengapa kamu minta maaf kepada ku ? aku sangat senang untuk mu, dan juga sangat senang, kamu membagi kabar baik tersebut dengan ku.” Tiba-tiba suara Pani membesar lagi.

Ellen mendengar suara dia yang berpura-pura tegar, hanya merasa sangat sedih.

Ibu Pani telah lama meninggal dunia, ibu tirinya Reta sangat membenci dia, seluruh hati Sandy hanya memperdulikan Reta dan kedua anaknya, Pani di keluarga Xia, bagaikan orang luar.

Dalam kondisi seperti ini, Tidak mungkin Pani tidak teringat ibunya yang sudah meninggal.

“Pani, suatu saat nanti ku membawamu ketemu dengan ibuku.” Ellen menahan kesedihan yang di dalam hati, berkata dengan halus.

“Baik.”

“ Ibuku adalah ibumu.”

“……”

“Kamu begitu baik, ibuku pasti sangat menyukaimu.”

“Hehe.” Pani tertawa terkikih-kikih, akan tetapi Ellen mendengar sendakan di dalam suaranya.

Setelah mengakhiri panggilan Pani.

Hati Ellen terasa sangat berat, tiba-tiba dia sangat kangen dengan Vima.

Tidak tahu apakah ini adalah telepati, disaat Ellen rindu sedang rindu Vima, Vima meneleponnya.

Ellen tertegun, kemudian kedua matanya mengkilat, dan menjawab panggilan tersebut, “Ibu.”

“Anakku, kenapa kamu pergi ke rumah sakit? Kamu tidak apa-apa?” Vima bertanya dengan suara penuh perhatian.

“... … Tidak apa-apa. Dokternya bilang aku tidak apa-apa. Hanya kamu dan paman yang terlalu khawatir, tidak percaya bahwa aku hanya demam saja, sampai dokter pun memandang hina ku.” Ellen mengerutkan hidung, berbohong.

Mendengar Ellen berkata seperti itu, Vima menghelakan nafas, “Syukurlah tidak apa-apa, aku sangat mengkhawatirkan.”

“Hei.” Ellen tertawa, “Ibu, aku baru saja bertelepon dengan sahabat ku.”

“Apakah gadis yang kemarin bersamamu di depan pintu gerbang sekolah?” Vima bertanya dengan suara yang halus.

“Iya, ini dia.” Ellen berkata.

“Dia sangat imut, dapat mengetahui bahwa hubungan kalian sangat baik.” Vima berkata dengan penuh rasa syukur.

“Iya, dia adalah satu-satunya temanku, aku sangat menyayanginya.” Elle tersenyum sambil berkata.

“Teman satu-satunya?” Suara Vima terdengar sedikit khawatir.

Ellen memutar bola matanya, “Iya, mungkin karena aku terlalu cantik, mereka merasa tertekan jika berteman dengan ku, sehingga tidak berteman bersamaku. Hehe.”

“Mengapa bisa begitu?” Dengan khawatir Vima bertanya.

Ellen menundukkan kepala, “Tidak apa-apa. Cukup Pani yang menemani ku saja. Tidak perlu mempunyai banyak teman, mempunyai satu teman yang bisa mengerti mu sudah cukup, benarkah.”

“... …Iya. Lain kali ajak temanmu keluar juga, mengajak dia makan bareng. Ibu juga ingin jumpa dengan teman Ellen. “ Vima berkata dengan nada rendah.

“Aku baru saja ingin memberitahumu. Pani sangat baik, ketika kamu bertemu dengan dia, pasti akan sangat menyukainya.”

“Tentu saja, aku pasti akan sangat menyukai teman putriku.” Vima berkata dengan penuh kasih sayang.

Ellen tersenyum, kehangatan yang telah lama menghilang kini memenuhi seluruh hatinya.

……

Pukul enam sore, William meninggalkan kantor, kemudian menyetir mobil pulang ke rumah lama.

Ketika tiba di rumah lama, William tidak langsung turun dari mobil, akan tetapi William duduk di dalam mobil dan menelepon Ellen, mengingatkan dia harus makan tepat waktu, dan ngobrol dengan dia sebentar, setelah mengakhiri panggilan, Willan menuju ke pintu rumah.

“Kakak.”

Begitu william masuk ke halaman rumah, Vania langsung lari keluar dari rumah seperti seekor kupu-kupu, Vania lari ke sampingnya, dan memeluk lengannya, “Di dalam rumah aku sudah mendengar suara mesin mobil, dan aku pikir itu pasti kakak yang datang.”

William melihat tangan Vania yang memeluk tangannya, dia hanya menyeringai dan tidak berkata apapun.

“Kakak, mari kita masuk, semua orang sedang menunggu mu.” Suara Vania terdengar sedikit bersemangat.

William menyipitkan mata.

Masuk ke dalam rumah, William melirik ke arah ruang tamu, dan mengerutkan alisnya.

Akhirnya dia mengetahui “Semua Orang” yang dimaksud oleh Vania.

“Kakak William.”

Rosa berdiri dari sofa, dengan malu-malu dia menatap William, memanggil dia dengan nada halus.

Hari ini Rosa menyisir rambutnya ke samping, mengepang rambutnya, dan mengikatnya poninya dengan karet rambut yang warna hitam, terlihat sangat rapi.

Wajahnya dengan makeup yang simpel, mengenakan gaun panjang polos yang berkualitas tinggi dan hak sepatu yang tinggi, gaun dengan lengan sepersembilan, memperlihatkan jam tangan yang mewah dan sangat indah di pergelangan tangan kanan.

Penampilannya terlihat elegan, dan berkelas tinggi.

Ekspresi william tidak berubah, mengangguk kepalanya, kemudian tatapan matanya tertuju pada kedua orang tua Rosa yang duduk di atas sofa yang sama dengan Rosa, dan Dian.

“Nenek, Paman, Tante.” Seperti biasa William menyapa.

“William, sini datang ke samping nenek.” Dian tersenyum hingga matanya menyipit, dan melambaikan tangan ke arah William.

William melihat ke arah Hansen.

Tatapan Hansen menyimpang, dan berhasil menghindarinya.

William menggerakkan sudut bibirnya, dia menarik lengannya yang masih digenggam Vania, jalan menuju ke arah Dian.

Sebelumnya Dian dan Rosa duduk berdampingan.

Kini William jalan menuju ke arah sana, Rpsa menatap kedua orangtua Vania yang duduk di sisi lain.

Nyonya Manda mengerti maksudnya, bersama Tuan Manda pindah ke sofa yang satu lagi, meluangkan sofa untuk William mereka bertiga.

Rosa membantu Dian memindah posisi duduk ke samping dia, dan meluangkan tempat duduk untuk William.

Begitu William jalan masuk ke dalam, Dian langsung menggenggam salah satu tangan William, menarik William duduk di sampingnya, sambil tersenyum dia menatap William, “William, sudah berapa lama Nenek tidak jumpa dengan kamu? Nenek sangat kangen dengan kamu.”

“Nenek apa kabar?” Wajah William tanpa ekspresi, dan suaranya yang datar, menyapa dengan kata-kata yang acuh tak acuh.

Akan tetapi Dian juga tidak peduli, lagipula sifat William seperti apa, dia juga sudah mengetahuinya.

Bisa membuat dia membuka mulut untuk menyapa sangatlah tidak mudah, apakah kamu masih bisa meminta dia menyapa dengan nada yang ramah?

“Nenek baik-baik saja, telah hidup selama delapan puluhan tahun, sudah hampir menjadi nenek lampir.” Dian mengolok-olok dirinya sendiri.

“Kalau kamu berusia delapan puluhan tahun sudah menjadi nenek lampir, bukankah aku sudah menjadi iblis tua?”

Setelah Hansen mendengar kata-kata tersebut, mengangkat alisnya dan berkata.

Dian tertawa, “Bukannya kamu adalah iblis tua di rumah ini?”

Hansen mengerucutkan bibir.

“Kakak William, ini minum air.”

Rosa memberikan segelas minuman pada William.

William tidak melihat, “Aku tidak haus, kamu minum saja.”

“Ohh.” Rosa dengan wajah yang memerah dan menarik kembali tangannya, dengan kedua mata yang penuh dengan cinta menatap wajah William.

Tatapan Rosa yang seperti ini, selain William yang tidak memperhatikan, orang-orang yang di ruangan ini semuanya melihat. .

“Ibu, lihat kakak Rosa.” Vania duduk di sebelah Louis, menyenggol lengan Louis dengan siku, berkata dengan mesra.

Louis tersenyum, dan melihat Rosa.

Didalam hatinya berpikir, dengan cinta Rosa yang begitu tulus kepada William, dia tidak khawatir, setelah mereka berdua menikah, Rosa tidak bisa merawat William dengan baik

Berpikir seperti ini, Louis tersenyum dan melihat ke arah William, “William, kali ini menyuruh kamu pulang, sebenarnya ingin membahas pernikahan kamu dengan Rosa.”

Tatapan William sedikit dingin, menggerenyotkan bibirnya tipis, menatap Rosa dengan datar, terdiam.

Sejak Louis mulai berbicara, tatapan Rosa tertuju pada William.

Orang lain mungkin tidak melihat ekspresi wajah William yang tiba-tiba berubah menjadi dingin, akan tetapi Rosa melihatnya dengan jelas, dan tiba-tiba hatinya merasa bergetar.

“Tahun ini kamu sudah berusia tiga puluh tahun, Rosa juga sudah berusia dua puluh tujuh tahun, kalian berdua sudah memasuki usia untuk menikah. Sehingga kami kedua pihak keluarga membahasnya, dan menetapkan pernikahan kalian, menikahkan kalian secepat mungkin!” Kata-kata Louis ini kurang lebih sedikit mengambil keputusan sepihak.

Menurut William, hubungan dia dengan Rosa bukan hubungan pasangan yang belum menikah, dan juga bukan hubungan yang sedang berpacaran.

Menikah? Hal yang tidak masuk akal!

Bagaimanapun dia adalah ibu kandungnya, tidak mungkin William tidak mengetahui apa yang direncanakan Louis.

Sekarang dia langsung mengundang kedua orang tua Rosa dan juga Dian datang ke rumah lama, mungkin karena dia khawatir jika William tidak setuju untuk menikah dengan Rosa, apabila orang tuanya berada disini, Louis berpikir bahwa meskipun di dalam hati William tidak setuju, akan memikirkan kehadiran kedua pihak orang tua, untuk menjaga perasaan kedua pihak orang tua, dengan terpaksa dia akan menyetujuinya.

Malam ini Louis menyuruh dia pulang, dan merencanakan semua jebakan ini untuk dia!

Sayang sekali, Louis masih belum cukup mengenal anaknya sendiri.

Di dunia ini, bagi William hanya terbagi menjadi dua hal, hal yang ingin dia lakukan, dan yang satu lagi adalah hal yang tidak ingin dia lakukan.

Hal yang ingin dia lakukan, dia akan melakukan apapun untuk mencapainya, sedangkan hal yang tidak ingin dia lakukan, jangan berharap bisa memaksa dia untuk melakukannya!

Apalagi hal besar yang seperti menikah, apalagi, ini adalah jebakan yang direncanakan oleh Louis!

Sedangkan perencanaan dan jebakan ini, menurut William adalah hal yang sama.

Tiba-tiba, William menyipitkan mata, dan menutup rapat bibirnya.

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
4 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Beautiful Lady

Beautiful Lady

Elsa
Percintaan
3 tahun yang lalu