Hanya Kamu Hidupku - Bab 175 Kebahagiaan Yang Tidak Bisa Dibendung

Hati Louis agak berat, dia pun menarik napas panjang, menutup pintu dengan ringan, membawa makanan yang dibungkus, dan meletakkannya di meja di samping tempat tidur, dia dengan ragu menatap William, "William, apakah kamu sudah makan? ? "

"Aku tidak lapar," kata William.

“Oh.” Salah satu tangan Louis menggenggam tangannya yang lain, Kedua matanya menatap William.

William menyipitkan matanya dengan ringan, "Apakah ada hal lain ?"

"Oh. Tidak ada apa-apa." Louis menggelengkan kepalanya, melihat sekeliling ruangan, tidak melihat Hansen, dan dengan nada bertanya yang kecil bertanya. "Dimanakah kakekmu?"

"..." William menutup matanya, "Di ruang pasien sebelah."

Di sebelah, ruang pasien?

Louis terkejut, "Apa yang terjadi dengan kakekmu?"

William merapatkan bibirnya dan tidak berbicara.

Louis mengerutkan kening, menggertakkan giginya, berbalik dan berjalan ke arah pintu.

William memandang Louis sejenak, sebelum menurunkan kelopak matanya dan memandang Ellen.

...

Hansen tertidur selama hampir tiga jam sebelum terbangun, setelah ia bangun dan memulihkan kesadaran, hal pertama yang ia lakukan adalah menyuruh Louis untuk mengantarnya ke rumah, Selain itu sikapnya sangat tegas.

Louis tidak punya pilihan selain memanggil Sobri untuk mengantarnya.

Ketika Louis dan Hansen kembali ke rumah, sudah hampir pukul enam sore.

Pada saat ini, Gerald dan Vania sedang makan malam di ruang makan.

Begitu Hansen memasuki aula rumah, ekspresinya sangat murka, dengan pandangan marah dia melihat ke sekeliling rumah, akhirnya pandangannya jatuh ke arah ruang makan yang lampunya menyala.

Hansen menggertakan gigi, Melepaskan tangan Louis yang memegangi lengannya, tubuh bagian atasnya condong ke depan, dan dia berjalan menuju ruang makan.

Louis kaget, jantungnya berdetak kencang, dengan cepat mengikutinya dari belakang.

Di ruang makan.

Gerald menaruh sepiring daging kepiting yang sudah dikupas di depan Vania, "ayo makan lebih banyak."

Mata Vania sedikit bengkak karena dia telah menangis sejak William datang sore ini hingga sekarang.

Melihat satu piring daging kepiting di depan matanya, Vania mengerutkan kening dan mendorong pergi dengan tangannya, "Aku tidak mau makan, kamu saja yang memakannya."

Gerald terhenti, dia tidak memaksanya, dan dia pun mengambil mangkuk kecil bersih dan mengisinya dengan semangkuk sup ayam untuknya.

Hanya saja ketika tangan nya belum menyentuh sendok sup, Hansen dengan murka memasuki ruangan makan.

Gerald membeku, menatap Hansen karena terkejut.

Vania juga terkejut melihat Hansen yang datang langsung ke sisinya, "Kakek, apa yang kamu lakukan?"

Sebelum Vania selesai berbicara, Hansen meraih lengan Vania, dan menariknya bangkit dari kursi dan menyeretnya ke luar ruang makan.

"papa, apa yang kamu lakukan?"

Gerald menarik napas dan segera berdiri dari kursi, memegang tangan Vania yang lain, mengerutkan keningnya, dengan tidak puas memandang Hansen.

"papa."

Louis juga pada saat itu masuk ke dalam ruang makan, Ketika ia melihat situasi di depan, Wajah nya pun memucat, Dengan segera datang ke samping Hansen, Dengan panik melihat Hansen, "papa, tolong jangan lakukan ini, jika ada hal yang mengganjal, lebih baik dibicarakan baik baik, kamu menakuti anak ini. "

Hansen sudah tidak ingin beromong kosong dengan Louis dan Gerald.

Tidak perlu!

"Hari ini, kalian tidak boleh ada yang campur tangan, kalau tidak keluar dari rumah ini, Aku, Hansen akan menganggap tidak mempunyai putra dan menantu !"

Hansen berteriak dengan keras.

"papa..."

"Gerald!"

Hansen menatap Gerald, Pandangannya sangat tegas , Wajah nya yang memanggil Gerald sangat tegang.

Sambil menarik napas dalam-dalam, Gerald menghela nafas, "papa, jika kamu ingin membalas Ellen, lebih baik kamu datang padaku, Adalah ideku menyerang Ellen, tidak ada hubungan nya dengan Vania. Bagaimanapun juga, Vania adalah cucu kandung perempuanmu."

"Aku akan mencarimu nanti untuk melakukan perhitungan !"

Hansen menariknya dengan erat, sehingga menarik Vania ke depan.

"Kakek..."

"Diam!

Ketika ia merasakan hambatan, Dia memelototi Vania, dan kemudian dia memelototi Gerald yang gemetar namun tidak mau melepaskannya, "Gerald, lepaskan atau tidak?"

Gerald mengerutkan kening, melihat bahu Vania yang berkerut karena ketakutan,hatinya sangat sedih, Dia pun menatap Hansen, Suara yang keluar dari dirinya pun agak serak, " Pa, anggaplah aku yang memohon kepadamu, Bisakah kamu melepaskan Vania, Bagaimanapun juga, dia adalah putri kandung aku, Dia adalah cucu perempuan Anda。"

Dia mengatakan bahwa Vania adalah anak kandungnya dan cucu kandung Hansen, tetapi tidak mengatakan apa-apa tentang Louis.

Walaupun kedengarannya seperti tidak ada yang salah.

Louis pun tidak mendengar permasalah apapun, Hanya saja ketika ia melihat Gerald yang melunak, Dirinya sebagai ibu, tidak bisa melihat dan tidak perduli sama sekali, Oleh karena itu dia memegang lengan Hansen, dengan nada memohon berkata, "papa, Walaupun kali ini Vania memiliki kesalahan, tetapi yang bertindak duluan adalah Ellen, kamu juga melihatnya. kamu tolong jangan salah paham, aku tidak ada maksud sedikitpun untuk menyalahkan Ellen, aku hanya merasa, Permasalahan ini, Ellen dan Vania memiliki kesalahan, kamu tidak bisa karena Ellen saat ini berada di Rumah sakit, dan menyalahkan semuanya kepada Vania. "

“Betul kakek, Ellen lah yang duluan menyerang aku, kamu bisa liat di wajah aku.” Vania mengeluh dengan memandang Hansen dengan matanya yang memerah.

"Kamu tidak usah berpura pura menyedihkan, pura pura tidak bersalah di depanku! Mengapa Ellen memukulmu? Apakah kamu tidak tahu? Vania, aku dulu berpikir bahwa kamu bandel dan tidak mengerti, hatimu sebenarnya tidak jahat. Tapi sekarang kamu telah melakukan hal yang ada di pikiranmu, memukul perut hamil dari Ellen, Vania, bagaimana bisa kamu begitu kejam seperti ... "

"papa!"

Gerald melangkah maju dan memandang dengan memohon kepada Hansen.

Hansen menutup mata nya yang merah, dan menelan kembali ucapan yang sudah ada di lidahnya kembali ke tenggorokannya.

"papa, apa maksudmu? Ellen hamil ?" Louis menatap Hansen dengan kaget.

"Kakek, kamu sudah tahu?"

Vania menatap Hansen dengan cemas, bernapas dengan ringan.

Hansen mendengus, "Vania, mulai saat ini, pergi berlutut di ruang belajar, Menghadap ke tembok dan renungi kesalahanmu, Tampa persetujuanku,tidak boleh bangun ! Selain itu."

Hansen menatap Gerald dengan dingin, "Tidak ada yang boleh masuk ke dalam ruang belajar untuk berkunjung ! Kalau tidak, semuanya keluar dari Rumah ini !"

Setelah Hansen berbicara, ia meraih tangan Vania, dia menariknya ke depan dengan kuat.

"Ah..."

Tangan Vania nyaris patah oleh tarikan Hansen.

Sambil mengulum bibirnya, Vania memandangi Hansen dengan mengeluh.

"Gerald!"

Hansen memandang Gerald dengan wajah yang murka, "Apakah kamu yakin ingin melakukannya seperti ini ?"

Gerald menurunkan alisnya, menggertakkan giginya sambil menatap Vania, lalu melepaskan tangannya.

"papa," Vania memandang Gerald dengan pandangan tidak bisa dipercaya.

Gerald merasa kasihan, Dengan suara serak berkata, "Pergilah, tunggu emosi kakekmu reda, kita keluarkan kamu."

"papa, aku tidak mau..."

"Kamu tidak menginginkan apa? Aku tidak memaksa kamu!" Hansen tertawa dan mengangkat suaranya. ", Sobri panggil media Nanxing, katakan aku Hansen Dilsen ingin mengadakan konferensi pers besar segera."

“Kakek, apa yang akan kamu lakukan ?” Vania ketakutan.

"Pada konferensi pers, aku akan memberitahu dunia bahwa kamu Vania dan aku Hansen, dan seluruh keluarga Dilsen,sudah tidak ada hubungan lagi, Mulai hari itu, Kita akan pergi melalui jalan masing masing !" Hansen dengan segera melepaskan tangannya, dan melangkah keluar dari ruang makan.

"Kakek, kakek, tolong jangan, Biar aku pergi ke ruang belajar. Bisakan seperti itu, kakek."

Vania menangis sambil mengejarnya, memegang tangan Hansen.

Hansen dengan dingin memandangnya.

“Aku sekarang pergi berlutut di ruang belajar, Aku pergi sekarang.” Vania mengangkat tangannya, menyeka matanya dengan keras, dan berjalan ke atas.

Hansen memandang Vania naik ke atas, dan memasuki ruang belajar, mata nya menyipit, dan berkata, "Lina."

Lina, yang berdiri di pintu bersama Sobri, dengan patuh dan cepat menatap Hansen, "Tuan."

"Naik ke atas dan pantau dia! Jika dia bangun tanpa seizinku, beritahu Sobri untuk memanggilku!" Hansen berkata dengan tegas, tidak memperbolehkan pertanyaan.

Lina gemetar, tidak berani menjawab, dan hanya menganggukkan kepala, dan segera naik ke atas.

Hansen menarik nafas, Setelah emosi besarnya sudah dilampiaskan, Wajahnya mulai perlahan demi perlahan menjadi pucat.

"Tuan, biar aku mengantar kamu ke rumah sakit. kamu butuh beristirahat.." Sobri yang melihat keadaan, segera melangkah maju, menahan Hansen.

Hansen yang memikirkan Ellen di rumah sakit, segera merasakan kekhawatiran dan dalam wajah yang terlihat kelelahan, dia mencoba menaikkan semangat dan berkata kepada Sobri, "Ayo cepat."

"Baik," jawab Sobri, memapah Hansen berjalan keluar.

Gerald dan Louis yang berdiri di luar ruang makan menyaksikan Hansen dan Sobri berjalan keluar meninggalkan ruangan.

Kemudian Gerald menyipitkan matanya dan melihat ke arah lantai dua.

Mengabaikan Louis, dia mengerutkan kening dan naik ke atas.

Ekspresi Louis juga sangat buruk, wajah dan bibirnya pucat seakan kekurangan darah, dan tubuhnya panas dingin, sangat tidak nyaman.

Melihat sedih kepada Gerald yang berjalan ke lantai atas, Louis mengepalkan tangannya dengan erat, dan sudut mulutnya melengkung pahit.

Namun segera, Louis seakan-akan teringat sesuatu, dia menghela nafas, matanya menjadi lebih bercahaya, dan dia berjalan menuju luar ruangan.

...

Ketika Hansen tiba di rumah sakit, Samir dan orang yang menunggu lainnya sudah pergi, namun Ellen masih dalam kondisi koma dan belum bangun.

Mungkin karena Hansen yang berjalan dengan terburu buru, ketika dia memasuki ruang ruangan Ellen, dia masih bernapas dengan cepat.

William melihatnya, mata hitamnya menyusut, dan dia segera menurunkan tangan Ellen dan bersiap untuk bangkit.

Hansen melambaikan tangannya, dan dia berjalan beberapa langkah, hingga berdiri di samping tempat tidur Ellen, menatap dengan pandangan lurus ke arah perut Ellen.

William, "..."

Hansen tidak berbicara, menatap perut Ellen beberapa waktu, lalu duduk di tepi tempat tidur dan terus menatapnya.

"... Kakek, bukankah kamu baru saja keluar rumah sakit?" William berkata dengan mata yang menyipit.

"Yah, aku kembali ke rumah sejenak," kata Hansen.

William mengerutkan bibir dan memandang Hansen.

Kemungkinan dia merasa tidak menyangka, Hansen memiliki sisi "lembut"dari dirinya.

Bagaimanapun dia sempat berpikir, ketika memberitahunya bahwa dia dan Ellen sudah menikah dan Ellen sudah hamil, Dia berpikir Hansen dalam beberapa waktu tidak bisa menerima hal ini.

Jadi... apakah dia meremehkan daya tahan orang tua ini?

"aku telah memberi pelajaran kepada Vania, Menghukumnya dengan berlutut di ruang belajar dengan memikirkan apa yang telah dia lakukan di depan dinding," kata Hansen.

William, "..."

“Ellen telah mengalami peristiwa berat dalam dua hari ini,Kandungannya tidak apa apa kan?” Hansen mengerutkan kening, tampak cemas menatap William.

Mata William sedikit berkilap, "Aku sudah bertanya kepada dokter dan anak di kandungan untuk sementara baik-baik saja. Tetapi jika hal seperti ini terjadi lagi beberapa kali, kemungkinan tidak bisa dijamin."

"Tenanglah, Ada aku disini, Tidak akan kubiarkan hal seperti ini terjadi lagi," kata Hansen dengan sungguh-sungguh.

Willian mengangkat alisnya dengan ringan, "Bisakah aku mempercayaimu?"

Mulut Hansen bergerak sedikit, menatap ke arah William, “Tentu saja! Ucapan kakek pasti ditepati !”

William menggigit bibirnya dan tidak mengatakan apa-apa.

Hansen memikirkan sejenak, dan pandangan matanya kembali mengarah kepada perut Ellen, "Ehn, Ellen sudah hamil berapa bulan?"

"Sudah tiga bulan," kata William.

"Oh," Hansen meresponnya dengan tertawa.

Ekspresi Hansen ini, membuat Wiliam sekali lagi mengangkat alis.

Karena ketika melihat ekspresinya yang gembira tidak tertahankan, William juga tidak bisa menahan diri dan tersenyum.

Jika dia tahu bahwa berita kehamilan Ellen bisa membuat perilaku kakek berubah 360 derajat, Dia pasti saat mengetahui Ellen telah hamil, segera memberitahukan berita ini kepada kakek, dan bisa menghindari Ellen menderita lebih banyak lagi.

Ketika ia berpikir seperti ini, bibir tipis yang ditarik oleh William kembali, Mengerutkan alisnya yang panjang, dan berpikir keras ke arah Ellen, Dalam pandangannya dipenuhi rasa kasih dan sayang.

Novel Terkait

Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
3 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
3 tahun yang lalu
Hello! My 100 Days Wife

Hello! My 100 Days Wife

Gwen
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
4 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu