Hanya Kamu Hidupku - Bab 293 Paman Ketiga, Jangan Bicara

Terdengar suara pintu lift terbuka di depan mobil. Setelah beberapa detik kemudian, keluarlah sosok yang berbadan besar dan tinggi dan lurus dari arah pintu lift.

Sobri dengan semangat, "Tuan, itu tuan muda ketiga."

“aku melihatnya.” Kelegaan Hansen terdengar dari suaranya.

Sobri melihat William berjalan kemari, dan tidak tahu apa yang dia pikirkan, lalu mengerutkan kening dan melihat kursi tegak dibelakang dari kaca spion. Kemudian meregangkan lehernya dan menatap mobil depan dan melihat Hansen. "... Tuan, apakah, Anda tidak keluar dari mobil dan berbicara dengan Tuan muda ketiga? "

Dalam beberapa tahun terakhir, Wiliam Dilsen tidak pernah lagi mengunjungi rumah lama. Hanya saat Tuan itu ulang tahun, barulah Tuan muda pertama mengumpulkan semua anggota keluarganya untuk merayakan ulang tahunnya di hotel.

Sisanya, bahkan di saat tahun baru, William pun tidak pernah muncul.

Jika Hansen ingin melihat William di hari lainnya, akan sama seperti hari ini, bersembunyi dan melirik secara diam-diam.

Hari ini termasuk hari keberuntungan. Dia bisa melihatnya.

Dulu, mereka pernah menunggu sampai jam sembilan sepuluh malam, dan tidak bertemu, sampai mereka tahu bahwa William tidak datang ke perusahaan, ataupun keluar dinas ataupun pulang lebih awal.

Dan setiap saat.

Sobri bertanya kepada Hansen, apakah perlu menelepon William dan mengatakan kepadanya bahwa dia sedang menunggu di lantai bawah.

Jawaban yang dilontarkan adalah tidak perlu, cukup tunggu saja!

Hansen menggelengkan kepalanya perlahan dan berkata dengan nada rendah, "Begini sudah cukup."

Sobri menghela nafas dalam-dalam.

Ditengah-tengah ada beberapa mobil yang menghalangi mobil Hansen dengan mobil Ellen. Bentuk mobil itu tinggi dan menghalangi pandangan.

Oleh karena itu, Hansen hanya melihat sosok William masuk, tetapi tidak melihat mobil.

Dua atau tiga menit kemudian, Hansen mendengar suara mobil dan dia menjulurkan tangannya ke jendela.

Sebuah mobil menyelinap keluar dari tengah.

Kemudian mobil itu langsung menuju pintu keluar.

Hansen itu memiringkan kepalanya, dan terpana ketika melihat setengah wajah William dari jendela sebelah pengemudi.

Tangannya memegang kruk dan berusaha untuk melihat William dari jendelah sebelah pengemudi.

"Tuan..."

Sobri kaget.

Hansen tidak bisa melihat dengan jelas, dan sangat tidak tenang. Tiba-tiba, dia mendengar suara aneh Sobri, lalu dia menatap Sobri dengan tegang.

Sobri mengulurkan tangan dan menggosok matanya, lalu melihat lagi.

Tetapi mobil itu sudah keluar dari garasi parkir bawah tanah.

Sobri memikirkan wajah wanita yang baru saja dia lihat di kaca spion mobil... tulang punggungnya dingin dan wajahnya pucat.

"... Kamu, apa yang kamu lihat?" Hansen menatap wajah pucat Sobri dan kebingungan, lalu bertanya dengan cepat.

"aku, aku melihat..."

Sobri belum selesai bicara, dia menutup matanya dan menggelengkan kepala dengan kuat, "aku pasti salah lihat, salah lihat! Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin dia... nona muda..."

"Apa yang kamu katakan?"

Mata Hansen melebar menatap Sobri dengan gemetar, "Kamu bilang, Kamu melihat siapa? Katakan!

Sobri memandang Hansen dengan bingung dari kaca spion. Tangannya mencengkeram roda kemudi, jantungnya masih berdetak kencang, dia menelan air liur dan berkata, "aku baru saja melihat seorang wanita yang wajahnya mirip dengan nona muda dari kaca spion mobil itu..."

Hansen menegakkan tubuhnya, dan beberapa garis darah merah muncul di bola matanya, bibirnya gemetar, dan dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun untuk waktu yang lama.

...

Ketika sekeluarga berempat kembali ke Coral Pavilion, Dami sudah menyiapkan makan malam.

Setelah selesai makan malam, dua lelaki kecil yang telah dikurung selama satu hari di taman kanak-kanak langsung berlari ke ruang permainan dengan cepat dan berpacu dengan waktu untuk memainkan permainan.

Ellen dibawa pergi secara paksa oleh William ke kamar tidur utamanya.

Begitu dia masuk, dia mengelilinginya seperti api yang membara kemudian menyeretnya ke dinding kaca, dan mencium.

Ellen mengangkat lehernya dan merespons, tetapi setelah beberapa saat dia kehabisan napas dan lehernya sakit.

William menggendongnya, menghadap ke jendela, dan menundukkan kepalanya menghadap dadanya yang bergelombang.

Ellen mencengkeram kemeja di bahunya dengan gugup lalu menundukkan kepala dan mencium rambutnya.

"Apakah kamu tahu berapa lama aku ingin melakukan ini?"

William melepaskan sweater Ellen, dan kemudian mengangkat kepalanya mencium bibir lembut Ellen. Mata hitamnya mendidih seperti api magma menatap Ellen, kemudian bernapas dengan cepat.

Ellen memegang wajahnya,menatapnya dengan mata besar dan senyum lembut padanya.

Hati William seperti api membara, dan api itu membumbung ke titik tertentu dan membuatnya gila!

William mencium Ellen lebih bergairah dan menggeretak, "Mulai hari ini, aku ingin hutangmu selama beberapa tahun ini, ditebus sedikit demi sedikit!"

Ellen mengerutkan kening, menggeser tangannya dari wajahnya, ujung jarinya bergetar, tetapi tetap tenang membuka satu per satu kancing baju William. Saat ini, wajah Ellen sudah memerah, dan sepasang akup kupu-kupunya basah, melihat pesona yang sangat lemah.

Setetes keringat mengalir di dahi William dan menggigit daun telinga Ellen, "aku tidak bisa menahannya lagi."

Setelah detik berikutnya tubuhnya tidak dikekang lagi, Ellen menutup matanya, seolah-olah ada batu api bergulir di wajahnya.

"Ellen..."

Dia mendesis di telinganya, Ellen hanya merasa seperti ada "pisau tajam" yang menusuknya. Rasa sakit itu menyebabkan dia menggigit tulang bahu pria itu.

Selanjutnya, Ellen merasa seperti kembali ke malam yang penuh penderitaan saat usianya 18 tahun, waktu 4 tahun yang lalu.

Kenyataan membuktikan, tidak peduli berapa lama telah berlalu, ada sesuatu hal yang sudah terjadi, tidak akan mudah berubah.

Dalam hal ini misalnya, William selalu dominan, kuat, dan sama sekali tidak tahu tentang kelembutan.

William berkeringat, dan mata hitamnya menatap wanita kecil di hadapannya.

Dia seperti sejenis racun adiktif. Ketika digigit sekali, ada semacam aliran darah yang berlawanan. Pori-pori di seluruh tubuh terbuka dan membuat orang tidak bisa menahan ingin menggigitnya lagi!

Saat selesai, Ellen merasa hipoksia.

Dia berbaring ditempat tidur dan dipeluk dari belakang oleh William, kemudian tidak berhenti mencium leher dan daun telinga Ellen, dan berkata dengan suara serak, "Apakah kamu merasakan betapa aku menginginkannya sekarang?"

Mata Ellen bergerak kelopak matanya perlahan.

Apakah dia merasakannya? !!

William suka sekali meletakkan tangan di pinggangnya dan bibir di pundaknya, "Bagaimana bisa begitu lembut? Hmm?"

Setelah kata "hmm" nya, monster itu menempelkan tubuhnya dengan agresif dari belakang.

Ellen ketakutan dan membuka matanya, lalu menggerakkan tubuhnya dengan panik, dan berbalik, "Paman ketiga, jangan..."

“Tidak diperbolehkan menolak!” William menoleh ke arah Ellen, sebuah lengan panjang melilit tubuh mungil Ellen, lalu menundukkan kepalanya dan mencium bibir Ellen dan mendominasinya.

Ellen tidak bisa berpikir, dia seperti kelinci kecil yang tak berdaya dalam pelukan William.

Willian Dilsen mengikat tangannya yang berayun dengan penih kasih, entah bagaimana, tiba-tiba menjadi lembut.

Sepasang mata Ellen tampak seperti dipenuhi dengan air jernih, menatap William.

William memegang dagunya dengan lembut, dan bibirnya menggantung di bibir Ellen, dan dengan mata dingin menatapnya, "Ellen, hanya kamu yang bisa membuat aku merasa tidak ingin berhenti."

Ellen sedikit terpesona, wajahnya merah padam, dan dua helai rambutnya sudah basah, dan dan sedikit lembab diwajahnya yang hangat.

William memperlakukan dengan lembut, setiap aksi dan setiap tatapannya penuh dengan kasih sayang dan menghargai Ellen, "aku ingin sekali menggali hati aku dan memperlihatkannya padamu, biarkan kamu tahu betapa pedulinya aku terhadap kamu, "

Ellen mendengus, seperti ada sengatan listrik di seluruh tubuhnya, dan air matanya mengalir dari sudut mata.

William dapat merasakannya, mata gelapnya tiba-tiba cerah, dan bibirnya terangkat sedikit, "Ellen, aku mencintai kamu."

Saat ini, Ellen terperangkap di bawah lengan tangannya,dan terjebak di pelukan badan William.

Ada cahaya putih yang mengkilau di pikirannya dan tidak menghilang.

Ellen berhasil keluar dan pulih dari... godaan, kemudian melihat seseorang yang sedang memandanginya dan merasa sedkit pusing.

Pikiran Ellen seperti mau meledak, dan kepalanya dalam dekapan William, "Paman Ketiga, jangan bicara, tolong."

William menatap Ellen dan tertawa tanpa suara.

“Jangan tertawa!” Ellen menutup mulut William dengan satu tangannya.

William mencium mesra telapak tangan Ellen. Telapak tangan besarnya melepaskan tangan kecil Ellen dari bibirnya. Kemudian menundukkan kepala dan mendekati telinganya, "Paman ketiga hanya ingin bertanya padamu."

"..." Dia tidak mau mendengarkan! Ellen menolak dan menekan kepalanya ke dada William.

Mata William tersenyum, dan tangannya mengelus rambut Ellen yang panjang.

Setelah beberapa saat, dia bergumam di telinganya, "Yang tadi, apakah kamu merasa nyaman?"

Ellen malu dan memeluk pinggangnya.

William memeluknya dengan erat, "Hmm?"

"... sedikit!"

Butuh beberapa saat barulah suara rendah Ellen terdengar.

Wajah William menjadi cerah, tersenyum menyeringai, dan memeluk kedua lengan Ellen seolah-olah dia tidak sabar untuk memeluknya didepan dada.

Jam 9:30 malam, Dami melihat Willian Dilsen dan Ellen belum keluar dari kamar, dan dia tahu apa yang mereka lakukan. Kemudian dia membawa Tino dan Nino ke kamar untuk menggosok gigi dan beristirahat.

Setelah Tino dan Nino tertidur, Dami keluar dari kamar anak-anak.

Kebetulan, William juga keluar dari kamar tidur utama dengan jubah mandi berwarna hitam.

Dami berkata kepada William, "Dua tuan muda sudah tidur."

William mengangkat alisnya dan mengangguk, "Kamu sudah bekerja keras."

“Sudah seharusnya.” Dami selesai berbicara kemudian tersenyum tanpa alasan kepada William, lalu menundukkan kepalanya dan turun.

William tahu apa arti senyum Dami, kemudian William sedikit tersenyum, matanya kelihatan gembira, dan kembali ke kamar tidur utama.

Ellen memegang selimut dengan erat, kemudian mendengar suara langkah kaki, mengangkat kepalanya dengan perlahan dan tertegun melihat seseorang telah kembali.

"Bibi Dami telah menidurkan Tino dan Nino. Tenanglah."

Tanpa menunggu Ellen bertanya, William menutup pintu dan menguncinya, berkata dengan lembut.

Wajah Ellen menjadi hangat dan kembali membaringkan kepalanya di atas bantal.

William berjalan kemari dan melepaskan sandalnya, membuka selimut dan berbaring di samping Ellen.

Ellen secara spontan berputar ke dalam pelukannya.

Keduanya baru saja mandi, dan memiliki aroma shower gel yang sama satu sama lain.

Ellen mengendus nafas di dadanya, dan menarik bibirnya dengan ringan kemudian meletakkan kepalanya di dada William dan menenangkan diri.

William hanya memeluk Ellen dengan ringan pada awalnya, tetapi tidak lama kemudian, tangannya yang besar di atas perut Ellen mulai bergerak ke atas dan ke bawah dengan gelisah.

Ellen menutup matanya, tidak tahu apakah dia tertidur atau sedang fokus memikirkan sesuatu, sehingga tidak peduli dengan William.

Tangan William bahkan jadi lebih berani, melepaskan tali jubah mandi Ellen dan membukanya.

Tentu saja, Ellen, yang telah "memanjakan" William, tiba-tiba membuka matanya pada saat ini dan terbangun dari pelukannya dan duduk, dengan spontan meraih kedua sisi jubah tidur William dan membukanya.

"..."

Novel Terkait

Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
4 tahun yang lalu