Hanya Kamu Hidupku - Bab 65 Orang Yang Paling Dekat

Jantung Ellen berdebar kencang tanpa alasan, "Apakah anda pernah berjumpa dengan aku sebelumnya?"

Vima Wen menatap ke wajah Ellen dengan serius sebelum menggelengkan kepalanya dengan senyuman.

Ellen mengerutkan alisnya, menatap wajah Vima, Ellen mengomel dengan suara kecil, 'mungkin aku salah ingat'

"Kenapa, kamu merasa kita pernah ketemu sebelumnya?" Vima bertanya dengan aneh.

Ellen menggelengkan kepalanya.

Vima tidak berkata apa-apa lagi, dia menoleh ke Bintang dengan ekspresi damai, "Tadi Mars sudah menelpon untuk menyuruh kita agak cepat, kalau kita tidak pulang sekarang, mereka akan cemas nanti"

Mars Rinoa, tante Venus Ronia, yaitu ibu Bintang.

Setelah berpikir, Bintang menatap ke Ellen, "Ellen......"

"Kami juga sudah mau pulang, sampai jumpa" Ellen melambaikan tangannya dengan senyuman dan menarik Pani yang sedang menyaksikan adegan ini dari jarak tidak jauh.

Menatap Ellen yang sudah pergi jauh, tatapan Bintang memancarkan sebuah cahaya.

Vima mengulurkan tangannya dan memegang lengan Bintang sambil bersuara dengan lembut, "Hari-hari masih panjang, kamu cemas apa?"

Pipi Bintang menjadi panas, dia senyum dengan malu, "Tante, ayo kita pulang juga"

Vima mengangguk, beberapa orang itu pun berjalan ke arah yang berlawanan dengan kepergian Ellen.

Sebelum berputar badan, Vima sepertinya melihat ke arah Ellen, tetapi sepertinya tidak melihat juga.

........

Di dalam mobil.

Melihat Ellen yang dari tadi melamun, Pani juga tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan.

Pani menyentuh lengan Ellen dengan sikunya, "Ellen, kamu sedang berpikir apa?"

Alis Ellen mengerut, dia menoleh ke Pani, "Pani, aku merasa sangat aneh"

"Aneh? Apa maksudmu?" Pani merasa bingung.

".............Aku merasa sepertinya aku pernah berjumpa dengan tante Bintang dimana sebelumnya" Ellen berkata dengan suara kecil.

"Dimana?" Pani bertanya.

Ellen menjilat bibirnya dan menatap ke Pani beberapa detik sebelum menggelengkan kepalanya secara perlahan, "Aku juga tidak ingat secara spesifik dimana"

"Ini........Sebenarnya kalaupun memang pernah berjumpa sebelumnya juga tidak apa-apa kan? Pernah berjumpa dengan tantenya sebelum ini pantas membuat kamu............ berpikir dalam seperti ini?" Pani menggerakkan bahunya.

Ellen mengedipkan matanya dan mengangguk dengan senyuman, "Iya juga, aku berpikir terlalu banyak"

"Normal kok. Kadang-kadang aku berjumpa dengan seseorang juga merasa sepertinya aku sudah pernah berjumpa dengannya sebelum itu, tetapi faktanya kami tidak pernah berjumpa sebelumnya" Pani berkata.

"Iya, mungkin aku begitu juga. Sebenarnya aku dan tante Bintang sepertinya tidak pernah berjumpa sebelumnya" Ellen berkata.

"Jadi, jangan berpikir lagi. Gunakan otak kamu untuk mengerjakan soal di rumah saja, soal yang kamu tinggal itu sudah bisa menghabiskan waktu beberapa hari"

"Benar-benar sangat risau!" Ellen memijat dahinya.

"Semangat gadis cantik"

"Hehe"

...............

Ellen meminta Pak Suno untuk mengantar Pani pulang dulu sebelum kembali ke Pavilion Coral.

Setelah tiba di Pavilion Coral, langit sudah gelap.

Ketika mobil saja baru selesai parkir, Darmi langsung berjalan keluar dari dalam.

Melihat Ellen mengambil tasnya turun dari mobil, Darmi segera menghampiri dia dan mengambil tas Ellen, setelah mengambil alisnya pun mengerut, "Begitu berat"

"Berat? aku sudah terbiasa" Ellen memijat bahunya sambil berjalan ke dalam Pavilion Coral.

Darmi mengikuti di belakang Ellen, "Nona, mengapa anda pulang begitu malam hari ini?"

Ellen menghela nafas panjang, "Kemarin aku bolos sekolah satu minggu, hari ini ke sekolah, mejaku dipenuhi dengan soal latihan, beberapa puluh lembar. Setelah pulang sekolah aku mengerjakan soal baru pulang rumah"

"Beberapa puluh lembar soal? Harus kerja sampai kapan kalau begitu?" Darmi merasa kaget, tidak menyangka pembelajaran zaman sekarang menjadi begitu berat.

"Tidak tahu" Ellen menggelengkan kepalanya dengan capek.

Ellen berjalan masuk ke dalam Pavilion dengan Darmi, setelah itu Ellen melepaskan jaketnya dan melihat ke arah ruang tamu, setelah melihat seseorang tidak ada di lantai bawah, Ellen baru menghela nafas lega.

"Tuan sedang berada di ruang baca lantai atas" Darmi berkata dengan suara kecil.

Ellen, ".............."

"Tuan masih belum makan, katanya mau tunggu anda pulang makan bersama" Darmi berkata.

Ellen menjilat bibirnya dengan alis mengerut, kemudian dia mengganti sandal dan berjalan ke kamar mandi ruang tamu.

Darmi menatap Ellen dari pintu masuk, "Nona, kalau begitu aku pergi memanggil tuan turun untuk makan malam?"

Sampai beberapa saat, Ellen baru menjawab, "Iya"

Darmi melamun sejenak sebelum meletakkan tas Ellen di ruang tamu dan berjalan ke lantai atas dengan cepat.

Berdiri di depan ruang baca lantai tas, Darmi mengetuk pintu.

"Ada apa?"

Setelah beberapa saat, terdengar suara rendah pria yang mudah dikenal.

"Tuan, nona sudah kembali, dia sedang di lantai bawah menunggu anda makan malam bersama" Darmi berkata.

"Segera"

Kali ini, pria itu menjawab dengan cepat.

Berdiri di depan pintu, Darmi baru berjalan ke lantai bawah setelah mendengar suara langkah kaki yang berat.

Pada saat turun tangga sampai setengah, Darmi mendengar suara membuka pintu dari lantai atas.

Darmi menoleh ke belakang.

Pria yang mengenakan kemeja hitam dan bertubuh tinggi berjalan keluar dari ruangan, kemudian berjalan ke arah tangga dengan wajah tidak ekspresi.

Darmi pun turun ke lantai bawah dengan cepat dan membawa lauk yang sedang dihangati dari dapur ke ruang makan.

Pada saat William sedang turun tangga, Ellen kebetulan keluar dari kamar mandi, tatapan kedua orang itu bertabrakan begitu saja.

Ellen melamun sejenak.

William juga berhenti bergerak.

Setelah itu, Ellen menggeserkan tatapannya dengan natural dan berjalan ke arah dapur.

Hal ini membuat William mengerutkan alisnya.

Ellen membantu Dani membawa lauk ke meja makan.

Dani mengambil nasi untuk Ellen dan William sebelum meninggalkan ruang makan.

Ellen berdiri di samping meja makan, alisnya yang elegan juga mengerut setelah melihat Darmi keluar dari ruang makan.

"Duduk" Setelah duduk, Willia menatap ke Ellen.

Ellen menundukkan kepalanya dan duduk ke tempat yang biasanya dia duduki waktu makan.

Mereka berdua saling berhadapan.

Karena posisi mereka biasanya memang duduk saling seberangan waktu makan.

Melihat William sudah memegang sumpir, Ellen menjilat bibirnya dan ikut mengambil sumpit.

Kedua orang itu makan dengna sunyi, suasana di sekitar mereka hening sampai suara mengunyah saja tidak bisa didengar.

Setelah makan, Ellen meletakkan sumpitnya, "Aku sudah selesai makan"

Sambil berkata, Ellen berdiri dari tempatnya dan siap-siap meninggalkan ruang makan.

"Duduk!"

Nada suara William terdengar datar, tidak bisa mendengar kemarahan ataupun keramahan dari kata itu.

Tubuh Ellen menjadi tegang, dia berkata dengan suara kecil, "Aku mau naik ke lantai atas mengerjakan PR"

"Jangan membuat aku mengatakan hal yang sama untuk kedua kali!"

William berkata tanpa menatap ke Ellen, tetapi nada suaranya menjadi agak berat.

William mengambil satu mangkuk kosong yag bersih kemudian mengulurkan tangan mulai menuang sup ayam ke dalam mangkuk itu.

Ellen hanya mengeratkan tinjunya, dia tidak ingin berantem dengan William.

Karena Ellen tahu, pada akhirnya yang rugi dan sengsara adalah dirinya.

Akhirnya Ellen duduk kembali dengan ekspresi tidak senang, kedua tangannya berada di atas pahanya dan kedua matanya menatap ke William dengan kemarahan.

William menuang setengah mangkuk sup ayam, tanpa berdiri, dia mengulurkan tangan panjangnya dan berhasil meletakkan mangkuk itu di depan Ellen.

Ellen merasa agak kaget.

Waktu itu William baru mengangkat kepalanya dan menatap ke Ellen, "Minum ini dulu"

"............"

Ellen terus menatap ke William.

Jadi, alasan dia memanggil Ellen hanya karena mau meminta dia minum sup??

William terus menatap ke Ellen dengan dalam sambil bersuara dengan lembut, "Minum sup dulu baru kerjakan PR"

Mendengar suara lembut William, hidung Ellen tiba-tiba menjadi agak masam, hatinya juga terasa agak pahit.

Melihat ke sup di depannya, Ellen menarik nafas dalam sebelum mulai mencicipi sup tersebut.

Wajah William yang dingin dan tegang pun menjadi agak lembut.

Setelah menghabiskan sup, Ellen meletakkan mangkuk kembali ke atas meja dengan lembut, sambil menjilat sup ayam yang masih tertinggal di bibirnya, Ellen melihat ke William, "Sudah"

Melihat ke bibir Ellen, tatapan dingin William menjadi semakin gelap, "Iya"

"Kalau begitu aku naik ke lantai atas mengerjakan PR?" Ellen meminta permintaannya.

Sudut mulut William terangkat, "Pergi saja"

Akhirnya Ellen berdiri dan keluar dari ruang makan.

William terus menatap ke Ellen.

Tetapi Ellen malah tiba-tiba berhenti di depan ruang makan.

William menyipitkan matanya, menatap ke bayangan belakang Ellen yang kurus, William bersuara dengan lembut, "Kenapa?"

Ellen menoleh ke William dengan tatapan yang memancarkan keraguan, "Kamu, apakah kamu mau aku menemani kamu?"

Tatapan gelap William memancarkan sebuah cahaya dan menjadi hangat, "Boleh?"

Ellen berdiri di pintu beberapa saat sebelum berputar badan dan berjalan kembali lagi untuk duduk di atas posisi tadi.

Menatap ke gadis kecil yang duduk di depannya, hati William terasa sangat hangat sampai kacau.

Ellen menyadari sesuatu.

Setelah dia berkata mau menemani William, suasana hati William sepertinya menjadi sangat baik, pria itu menjilat bibirnya dengan sudut mulut terangkat.

Bahkan William akan melihat ke Ellen dari waktu ke waktu dengan tatapan bercahaya seperti anak kecil.

William yang seperti ini membuat Ellen terasa asing.

Tetapi William seperti ini juga membuat hati Ellen terasa hangat.

Dari kecil sampai sekarang, pria di atas yang terus menjadi sandaran dia dari belakang memberikan Ellen sebuah keluarga.

Pada saat yang sama pria ini juga memberikan Ellen perasaan aman dan ketergantungan yang tidak ada orang bisa berikan.

Ellen selalu menanggap William adalah orang tua dan keluarga dia yang paling dekat.

Di dalam hati Ellen, William seperti sebuah pohon besar dan gagah yang diam-diam merentangkan daunnya untuk menghalangi hujan dan angin yang mengenai Ellen.

Kalau.

Seberapa bagusnya kalau hubungan mereka hanya adalah orang tua dan anak selamanya.

Tatapan Ellen tiba-tiba memancarkan sebuah kesedihan yang ringan dengan cepat hingga orang lain susah mau menangkapnya.

.........

Setelah William selesai makan malam, Ellen dan William pun meninggalkan ruang makan, sementara Darmi pun masuk ke ruang makan untuk mulai memberes.

Berjalan melewati ruang tamu, Ellen berjalan ke depan sofa dan mengulurkan tangannya untuk mengambil tasnya.

Satu tangan besar pun langsung mengambil tas Ellen ketika tangan Ellen baru sempat menyentuh ke tasnya.

Ellen melamun sejenak sebelum menoleh ke pria di belakangnya yang memiliki tinggi tubuh lebih tinggi satu setengah kepala dari Ellen.

William menatap Ellen dengan tatapan dalam, sudut mulutnya terangkat dengan ringan, satu tangannya mengambil tas Ellen, satu tangannya lagi memegang tangan Ellen, lima jarinya yang panjang pun bergerak menembus jari-jari ramping Ellen, kemudian tangan mereka pun saling berpegangan dengan erat.

Detak jantung Ellen menjadi sangat kencang pada waktu itu.

Novel Terkait

The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
4 tahun yang lalu