Hanya Kamu Hidupku - Bab 250 Biarkan Aku Memelukmu

Karena sekarang sudah terlambat untuk mengantar Tino dan Nino ke taman kanak-kanak, jadi Ellen langsung menelepon ke sekolahnya dan meminta izin untuk dua bocah kecil.

Setelah tahu tidak perlu pergi ke taman kanak-kanak, Nino langsung melompat turun dari paha Samir, dan bergegas ke depan William.

Meskipun bocah kecil agak gendut, namun gerakannya sangat lincah, Samir bahkan tidak sempat menangkapnya.

Setelah menelepon ke sekolah, Ellen harus menelepon direktur untuk meminta izin, sudut matanya melihat Nino bergegas ke depan William, matanya langsung tertuju padanya.

William terlalu tinggi.

Nino mengangkat kepala menatapnya, dan hampir saja jatuh terguling ke belakang.

William menundukkan kepala memandang bocah gendut di depannya, hatinya tersentuh, mengulurkan tangan dan menggendong Nino.

Wajah Nino memerah, dia meletakkan tangannya yang putih dan lembut di bahu William, dan menatapnya, “Papa, apakah kamu pandai seni bela diri?”

Ellen hampir tersedak.

Ada apa dengan bocah kecil ini?

Semalam ketika makan di Wangi Sedap, dia masih bersikap menolak mengakui William sebagai ayahnya.

Tetapi hanya satu malam, dia langsung tidak berhenti memanggil ayah, bisakah mengubah sikapnya lebih cepat lagi?

Setelah Nino bertanya, Samir dan lainnya melihat sudut bibir William terangkat senyuman lembut, masing-masing dari mereka langsung berpikir.

Benar saja, akan terlihat berbeda kalau sudah menjadi seorang ayah!

“Mau belajar?”

William menggendong Nino duduk di sofa, meletakkannya di pangkuannya.

Nino merasa kakinya terlalu keras, sambil berkata, dia sambil menggerakkan pantatnya yang berdaging, mencoba mencari posisi yang lembut, “Sudah cukup kalau kamu bisa seni bela diri. Kamu bisa melindungiku dan kakakku, dan juga Agnes.”

Dia sering menonton di TV, belajar seni bela diri adalah hal yang sangat melelahkan.

Ada seorang pengawal siap pakai yang bisa digunakan, untuk apa dia harus mempersulitkan dirinya sendiri, ya kan?

Tetapi......

Nino menurunkan bahunya, dan menatap William dengan tatapan menyerah, “Papa, kamu sebaiknya menurunkan diriku, kakimu terlalu keras, tidak nyaman.”

Erhhh.....

Wajah William muncul garis hitam, meskipun enggan menurunkan bakso kecil di pelukannya, namun dia juga enggan melihat bocah kecil merasa tidak nyaman.

Oleh karena itu, dia menggendongnya, dan meletakkannya duduk di sebelahnya.

Tino duduk diam di pelukan Frans, melihat William dan Nino duduk bersama, tatapannya menyembunyikan sedikit rasa iri.

Frans menundukkan matanya melihat, sudut bibirnya terangkat, dia melepaskan Tino dari kakinya, dan menepuk pantat kecilnya, "Pergi cari papamu."

Tino, “......” Wajahnya memerah bagaikan pantat monyet, dia menggenggam tangannya yang gendut, dan menatap pada William.

William menggerakkan bibirnya dengan lembut, “Tino, ke sini.”

Tino menarik nafas, mengangkat bahunya, dan mengambil langkah berjalan menuju ke arah William.

Begitu Tino mendekat, William langsung menggendongnya dan meletakkannya duduk di sofa sebelahnya.

Tino menatap William dengan wajahnya yang memerah, “Paman.......”

“Itu Papa!”

William belum berkata, Nino langsung membungkukkan tubuhnya, memutar kepala melihat Tino yang duduk di sebelah William dan berkata.

Wajah Tino semakin merah, dia segera melihat William, menggerakkan mulutnya yang kecil, dan berbisik, “Papa.”

Nino mengangguk, dia merasa puas dan duduk kembali.

Ethan dan lainnya melihat Nino seperti begini, mereka tak menahan diri ingin tertawa.

William mengulurkan tangan menggandeng tangan Tino, dan menatapnya dengan lembut, “Tadi ada apa yang ingin kamu bicarakan dengan papa?”

Tino mengedipkan matanya, dan menatapnya, “Aku ingin belajar seni bela diri.”

“Chie......”

Nino merentangkan tangannya dan merasa tidak berdaya terhadap Tino.

Frans memegang dagunya, lalu menatap Nino dan Tino, sifat kedua bocah ini benar-benar sangat berbeda! Sangat menarik!

Bagus sekali.

Lain kali kalau merasa bosan, tidak perlu khawatir tidak ada tempat untuk pergi!

“Mengapa Tino ingin belajar bela diri?” Sumi menatap Tino dan berkata dengan lembut.

Tino melirik Ellen yang baru selesai bertelepon dan sedang berjalan menuju ke sofa, “Kalau pandai seni bela diri, aku bisa melindungi mama dan adikku.”

Begitu Ellen datang langsung mendengar kata-kata ini, dia merasa sangat terharu, duduk di samping Tino, menundukkan kepala mencium di wajahnya dan berkata, “Sayang, kamu terlalu baik pada mama.”

Tino merasa malu dan bersandar ke tubuh Ellen.

Ellen tersenyum, mengelus rambutnya dengan lembut.

“Kalau begitu aku juga mau belajar!”

Nino tiba-tiba berubah pikiran.

“Kalau begitu mengapa Nino tiba-tiba ingin belajar?” Sumi tersenyum melihat Nino.

“Ehmm......” Nino menatap Sumi, berpikir sejenak kemudian dia mengangkat alis matanya dengan nakal, “Rahasia.”

Sumi tertegun, kemudian tertawa.

“Adik.”

Dorvo tiba-tiba berkata.

Ellen tertegun, melihat ke sana, ketika melihat wajah Dorvo yang suram, cahaya di matanya memudar dan bibirnya merapat.

William dan lainnya juga menatap ke sana ketika Dorvo berbicara.

Dorvo menyipitkan matanya, “Kakak dan Liangchi masih memiliki urusan yang harus dilakukan, kamu harus membantu kakak melayani para tamu yang terhormat.”

Ellen melirik Arale Yin, dia tahu keduanya mungkin mau mendiskusikan bagaimana menghadapi Boromir.

Hari ini Boromir kehilangan muka di keluarga Nie, jadi dia tidak mungkin akan menyerah.

“.......Kakak, kamu pergi sibuk dengan Kakak Yin, masih ada aku di rumah, kamu jangan khawatir.” Ellen berkata.

Dorvo mengangguk, bangkit dari sofa, melirik pada mereka yang duduk di sofa, dan berkata, “Aku meminta maaf pada semuanya untuk masalah hari ini, lain kali aku akan mentraktir makan.”

“Tuan Nie tidak perlu begitu segan, silakan.”

Sumi memandang Dorvo dengan rendah hati, dan menjawab.

Dorvo mengangguk padanya, lalu langsung membawa Arale Yin pergi meninggalkan villa.

Ellen melihat sosok Dorvo pergi meninggalkan Villa, hatinya merasa tertekan.

Sumi dan lainnya melihat Ellen mengerutkan kening, semuanya menyipitkan matanya, tidak berkata.

Sebenarnya diantara mereka semua yang ada di sini, baik Frans, Ethan, Sumi, ataupun Samir, kalau mereka mau, mereka bisa saja membantu keluarga Nie dalam situasi saat ini.

Tetapi mereka dapat melihat, Dorvo sepertinya tidak ingin mereka melakukan apapun, dengan kata lain dia tidak ingin seseorang melakukan apa pun!

Pihak lain tidak membutuhkan bantuan, jadi untuk apa mereka repot-repot membuka mulut! Terlihat seperti mereka sedang mengejarnya.

William menundukkan bulu matanya dan tidak mengatakan apapun.

Tetapi, satu tangannya terentang di belakang Tino, mencubit tangan Ellen.

Bulu mata Ellen bergetar, meskipun dia tidak melihat ke arah William, tapi tangan yang dicubit olehnya berbalik di telapak tangannya, menggenggam jari telunjuknya yang panjang dan kurus.

Alis William sedikit berkerut, dia perlahan-lahan menatap ke arah Ellen.

.......

Pembantu menyiapkan sarapan, Ellen membawa semuanya ke ruang makan untuk makan bersama.

Tino sejak pertama kali bertemu dengan William memang sudah dekat dengannya tanpa alasan, jadi tidak aneh kalau dia berdekatan padanya.

Yang aneh adalah Nino, sikap bocah kecil terhadap William mengalami perubahan 180 derajat, kemana pun William pergi, dia tidak perlu mengatakannya, bocah kecil secara alami akan ikut di belakang pantatnya, di saat makan juga duduk berdekatan dengan William.

Dan sering melihat William dengan tatapan penuh kekaguman, apa maksudnya?

Baiklah.

Sekarang kedua bocah kecil menempel pada seseorang, di sisi Ellen malah menjadi sepi.

Jadi Ellen mengambil sarapan dan ingin mengantar ke lantai atas untuk Nurima dan Eldora.

Karena tidak ada orang luar yang duduk di meja makan, jadi Ellen juga tidak menyapanya, dia membawa nampan dan berjalan menuju ke luar pintu ruang makan.

William melirik nampan di tangan Ellen, dia tahu Ellen ingin mengantarkan makanan untuk Nurima dan Eldora, jadi dia tidak mengatakan apapun.

Ellen melangkah keluar dari ruaang makan, menuju tangga.

Baru saja tiba di ruang tamu, langsung mendengar suara mesin mobil dari luar villa.

Ellen terkejut, hal pertama yang muncul di pikirannya bukanlah Dorvo kembali, tapi Boromir.......

Jari-jari Ellen mengepal memegang nampan, membuka lebar matanya, menatap pintu villa.

Hanya dalam waktu beberapa detik, sosok putih seseorang bergegas masuk dari luar pintu.

Dia bergoyang di depan Ellen, kemudian.

Prang.....

Nampan di tangan Ellen jatuh ke lantai, dan dirinya ditarik oleh sebuah kekuatan, dan dipeluk dengan erat.

Ellen terkejut dan menarik napas, dia segera merentangkan tangan ingin mendorongnya.

Tetapi orang yang memeluknya duluan melepaskannya, dan memandangnya dari atas ke bawah, “Agnes, aku mendengar Boromir datang pagi tadi, adakah dia melakukan sesuatu padamu?”

“...... Tidak.” Sudut mata Ellen melihat sekumpulan orang keluar dari ruang makan, dia merasa sangat malu, dia mengangkat tangannya ingin melepaskan tangan Samsu yang memegang pundaknya, tetapi tanpa terduga, Samsu sekali lagi menariknya ke dalam pelukannya, dan memeluknya dengan erat.

Ellen, “......” Benar-benar ingin mati.

Ellen memejamkan matanya, dia tidak berani melihat wajah seseorang yang berdiri di pintu ruang makan, dia mengertakkan gigi dan berusaha sekuat tenaga untuk mendorong Samsu, “Samsu, lepaskan aku!”

“Agnes, biarkan aku memelukmu!”

Samsu memeluknya semakin erat, “Tahukah kamu? Ketika aku tahu Boromir datang ke keluarga Nie, betapa aku takut...... dan mengkhawatirkanmu? Begitu aku mendapat kabar ini, aku segera datang, karena takut Boromir akan melakukan hal buruk padamu. Sekarang melihatmu baik-baik saja, hatiku akhirnya merasa lega.”

Frans dan lainnya yang berdiri di depan ruang makan, tidak tega melihat wajah William.

Bahkan Nino si bocah kecil pun tidak menahan diri mengangkat sepasang tangannya, menutupi matanya sendiri.

Wajah William lebih gelap daripada bagian bawah panci, di luar pintu ruang makan dapat mendengar suara jarinya mengepal, tatapannya menjadi dingin, William berjalan menuju ke arah Ellen.

Ellen mendengar suara langkah kaki, dia menjerit dalam hati, wajahnya memerah, dan lebih kuat mendorong Samsu, suaranya yang manis menjadi menggigil, “Samsu, lepaskan aku, cepat lepaskan aku, Samsu!!”

“Agnes, ehmmm........”

Samsu baru saja ingin berkata, salah satu lengannya yang memeluk tubuh Ellen langsung merasakan kesakitan seolah-olah akan dihancurkan, membuatnya mengeluarkan dengungan yang menyakitkan.

Begitu Samsu melepaskan tangannya, Ellen segera mundur dari pelukannya, dan berturut-turut mundur beberapa langkah ke belakang, terengah-engah, membuka lebar matanya, dan menatap William dengan tatapan setia.

William meliriknya dan mendengus.

Ellen, “........” Ingin menangis!

Novel Terkait

Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
3 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
5 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
3 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu