Hanya Kamu Hidupku - Bab 124 Dia Hamil

Ellen menatap kertas ujian selama setengah jam, namun pena di tangannya sama sekali tidak bergerak.

Ruang tamu.

William duduk di sofa menonton berita keuangan sekitar empat puluh menit, lalu dia memadamkan TV, bangkit dan ingin pergi ke ruang studi di lantai atas.

Namun ponsel yang dia letakkan di meja tiba-tiba berdering.

William menundukkan matanya dan melihat panggilan telepon dari Sumi, matanya menyipit, mengulurkan tangan mengambil ponsel di atas meja, dan menjawab sambil berjalan menuju ke arah tangga.

“Keluar dan minum bersamaku.”

Terdengar suara Sumi yang lembut.

William menghentikan langkahnya, memutar kepala melihat jam dinding, “Sekarang?”

“Ya.”

“Tidak.” William menolak dengan tegas, dan berjalan menuju ke atas.

“Hehe....” Sumi tersenyum, “William, boleh saja kalau kamu tidak keluar malam ini, tapi kalau terjadi sesuatu di masa depan, jangan salahkan aku tidak mengingatkanmu.”

William merapatkan bibirnya dan berhenti melangkah, matanya menyipit, dan berkata dengan nada suara rendah, “Di mana?”

“Xingchen.” Sumi tersenyum bangga, seolah-olah yakin William akan pergi.

William mendengus, menutup telepon, mengangkat matanya dan melirik ke arah kamar Ellen, lalu berbalik dan turun.

“Tuan, apakah kamu ingin keluar?” Setelah membersihkan dapur, Darmi keluar dan melihat William mengambil mantel dari gantungan dan berjalan menuju luar.

“Ya.” William menatap Darmi dan berkata, “Bibi Darmi, nanti siapkan sedikit makanan dan mengantar ke atas untuk Ellen.”

“Aku tahu, Tuan.” Darmi berkata.

William menggerakkan bibirnya dan tidak mengatakan apapun lagi, mengambil kunci mobil di lemari sepatu dan keluar.

Darmi mendengar suara mobil pergi menjauh dari villa, dia kembali ke dapur dan mengeluarkan buah dari dalam kulkas, dia rencana membuatkan buah nampan untuk Ellen.

Setelah menyiapkannya, Darmi membawa buah nampan keluar dari dapur dan berjalan menaiki tangga melalui ruang tamu.

Di lantai atas, Darmi berdiri di pintu kamar Ellen, mengangkat tangannya dan mengetuk pintu.

"Siapa?"

Terdengar suara gadis yang lembut dari dalam.

Darmi berkata, “Nona, ini aku, aku membawakan buah nampan untukmu.”

Ellen tidak berkata, tetapi Darmi mendengar suara langkah kakinya.

Tidak lama kemudian, pintu terbuka.

Darmi menyerahkan buah nampan di tangannya kepada Ellen.

Ellen mengambil wine dan memasukkannya ke dalam mulut, lalu mengambil buah nampannya dan bertanya pada Darmi, “Bibi Darmi, tadi aku mendengar suara mesin mobil, apakah Paman ketiga keluar?”

“Ya.” Darmi berkata.

"Oh." Bola mata Ellen berputar, lalu tersenyum pada Darmi, “Bibi Darmi, terima kasih buat buah yang kamu berikan padaku”

Darmi tersenyum, “Jangan salah berterima kasih, Tuan yang memintaku menyiapkannya untukmu, nanti aku akan membuatkan sedikit kue untukmu, kalau kamu lelah atau lapar, kamu bisa makan dan istirahat sebentar.”

“Hehe. Terima kasih Bibi Darmi.” Ellen berkata.

“Ini adalah pekerjaanku.” Darmi berkata, “Baiklah, aku tidak mengganggumu belajar, kamu juga jangan terlalu capek, kalau merasa capek harus istirahat sebentar.”

“Ya.” Ellen mengangguk.

Ellen berbalik, dan berjalan menuju ke bawah.

Ellen melihat Darmi turun ke bawah, dia perlahan-lahan menutup pintu kamarnya.

Membawa buah nampan berjalan ke meja belajar dan duduk.

……

Ellen meletakkan buah nampan di sudut meja, memegang dagunya dengan telapak tangan, dan memikirkan seseorang.

Mengapa dia keluar di jam segini? Apakah ada urusan penting?

Ellen berpikir, namun tidak mendapatkan hasil.

Lalu menarik napas dalam-dalam, menstabilkan pikirannya, mengambil pena, dan mencoba berkonsentrasi pada kertas ujian.

........

Klub Xingchen.

Klub ini dibuka oleh Sumi dan Samir. Meskipun mereka yang membukanya, namun mereka tidak pernah mengurusnya, mereka menyerahkan semua tanggung jawab manajemen kepada Yan Yuxuan, Manajer umum Xingchen.

Kamar pribadi 503 disediakan oleh mereka berdua, dan digunakan sebagai tempat pertemuan beberapa sahabat.

Dalam ruangan pribadi ada ruang catur, meja biliar, gym, ruang bernyanyi, pokoknya sangat luas.

Ketika William tiba di ruang pribadi, Sumi dan Samir sedang bermain biliar di ruang biliar.

Melihat William datang, alis Samir berkerut, dan menatap William dengan tatapan tidak senang.

Wajah William tidak berekspresi, dia melepaskan mantelnya dan meletakkannya di sofa tunggal, memasukkan tangan ke dalam saku, berdiri tegap dan menatap mereka berdua dengan tatapan polos.

Sumi meliriknya, “Mau main?”

“Tidak tertarik.” William berkata.

Sumi mengangkat alisnya dan tidak memaksanya.

Dia terus bermain biliar dengan Samir.

Setelah perlombaan berakhir, mereka bertiga berjalan keluar dari ruang biliar dan pergi ke ruang ngobrol.

Di dalam ruang ngobrol, mereka bertiga duduk di sofa tunggal masing-masing, dengan meja bundar putih di tengah, dan beberapa botol wine merah di atasnya, dan meletakkan rokok di depan setiap orang, serta ponsel mereka masing-masing.

William menjepit sebatang rokok di tangannya, tetapi tidak menyalakannya, matanya melihat ke bawah, wajahnya dingin, tampaknya seolah-olah seseorang telah menyinggungnya.

Namun Sumi dan Samir tahu tidak ada siapapun yang menyinggungnya, itu karena dirinya memang terlalu dingin, sehingga selalu membuat orang merasa tidak mudah untuk mendekatinya.

“Sudah meminum wine, ini saatnya membicarakan masalah serius.” William mengangkat matanya dan menatap Sumi.

Sumi tersenyum, “Masalah apa? Tujuan menyuruhmu keluar hanyalah minum. Yah, tentu saja, kalau minum juga merupakan masalah serius.”

“Jangan pura-pura. Kalau tidak kembali pada jam 10, Ellen akan meneleponku nanti.” William berkata.

Sumi tiba-tiba menyadari, mata William yang dingin hanya akan bersinar ketika membicarakan Ellen, dan sudut mulutnya akan terangkat tak terkendali.

Sumi menyipitkan matanya, tertegun sejenak kemudian memutar kepala menatap Samir, “Di mana benda itu?"

“Hey! Kamu masih berani memintanya padaku? Apakah kamu manusia? Cakarmu sangat berharga, sedangkan tanganku bisa dipermainkan sesuka hati? Sumi Nulu, kamu, kamu, dasar kamu!”

Samir menggertakkan giginya, berkata dengan kesal.

“Sesama sahabat sendiri, untuk apa mengatakan perkataan seperti ini? Apakah tidak menyakiti perasaan?” Sumi mengerutkan kening, dan berkata.

“Hey, aku ingin sekali membunuhmu!” Samir berkata.

Sumi menggerakkan bibirnya, dan beberapa detik kemudian, dia menatap Samir, “Bisakah kamu mengalahkanku?”

“......” Samir sangat kesal! Setan dan monster apa yang dia temui! Semuanya berwajah manusia dan berhati binatang!

Sumi melihat wajah Samir berubah warna, dia menghela nafas, mengangkat tangan menepuk bahu Samir, dan berkata, “Baiklah, hari ini telah merepotkanmu, dan jasa dari masalah ini semuanya milikmu, cukupkah?”

“......” Samir memelototinya, lalu beberapa detik kemudian, Samir mengangkat tangan menyeka wajahnya, mendengus berkata, “Ya begitulah.”

Sumi, “.......” Kadang-kadang dia juga bingung, sebenarnya dia pura-pura masa bodoh atau benar-benar bodoh.

Ketika keduanya sedang berantem, William mengambil mancis dengan tenang dan menyalakannya, dia meletakkan di bibirnya yang tipis dan mengisapnya, lalu asap keluar dari bibir dan hidungnya, bagaikan kain sutra tipis menutupi wajahnya.

“William, meskipun aku merasa kamu tidak terlalu jujur dalam masalah ini, namun aku pikir memang seharusnya memberitahumu.”

Samir memandang William dengan serius dan berkata.

William berhenti merokok, dua jarinya yang ramping menjepit rokok dan mengeluarkan asap dari bibirnya yang tipis. Dia menyipitkan mata, menatap Samir, suaranya yang agak serak karena merokok berkata, “Ada apa?”

Samir melirik Sumi, lalu bangkit, dan keluar dari ruangan, lalu tidak lama kemudian, dia masuk lagi dari luar, mengambil sebuah kantong plastik hitam di tangannya, wajahnya yang tampan berekspresi penuh menjijikkan.

Sumi melihat Samir seperti begini, dia memutar kepalanya dan menahan tawa.

Samir memelototi Sumi dengan ganas, “Sumi, silakanlah tertawa, suatu hari nanti kamu pasti akan jatuh ke tanganku!”

Sumi memutar kepala dan menatap Samir dengan polos.

Samir memutarkan bola matanya ke atas.

Dia meletakkan benda yang dibungkus beberapa lapis kantong plastik ke atas meja bundar dan berkata pada William, “Kamu lihat dulu.”

William tidak bergerak, dia mengangkat mata menatap Samir.

“Buka dan melihatnya! Apakah kamu sedang menunggu aku membukanya untukmu?” Melihatnya begini, Samir tiba-tiba menjadi emosional.

William tidak mengatakan apapun, tetapi penampilannya itu jelas sedang menunggu Samir untuk membukakannya.

Samir sangat marah hingga matanya memerah, karena usianya paling muda, jadi satu per satu “membully” nya.

Samir mengerutkan kening, dia menarik beberapa lembar tisu sekaligus dari kotak tisu di atas meja bundar dan membungkus kedua tangannya dengan erat, kemudian dia mengulurkan tangannya dan membuka kantong plastik selapis demi selapis.

Ketika isi kantong plastik putih terdalam terpapar ke udara, Sumi dan Samir mengerutkan kening.

William menyipitkan matanya menatap isi kantong plastik, matanya yang dingin penuh kesuraman, menatap Sumi dan Samir, “Apa ini?”

“Hey, apakah kamu tidak tahu tespek kehamilan?” Samir memandang William dengan tidak berdaya.

Alis William berkerut.

Dia tentu tahu tespek kehamilan, namun dia tidak begitu mengerti apa maksud mereka menunjukkan ini padanya.

Sumi melirik Samir, dan berkata dengan lembut, “Maksud William bukan begitu.”

Samir menyipitkan matanya, dia juga merasa William tidak mungkin tidak mengetahui tespek kehamilan.

Merapatkan bibirnya, Samir duduk di sofa dan berkata kepada Sumi, “Katakan saja padanya, aku tidak bisa menjelaskannya.”

“..... kamu adalah seorang sutradara besar, tapi kamu tidak dapat menjelaskannya, jadi bagaimana kamu menjelaskan isi cerita kepada para aktor?” Sumi menatapnya.

“Jangan menyindirku!” Samir mencibir.

Samir mengerutkan kening, menatap pada William yang pandangannya tertuju pada tespek kehamilan di atas meja.

Berhenti selama beberapa detik kemudian, dia berkata, “Inilah yang dibuang Pani secara diam-diam tadi sore.”

Tangan William mengepal dalam saku, dia menatap Sumi dan bertanya, “Dia hamil?”

“......”Sumi tersedak, "Bukan dia!"

Ciuman pertama gadis itu telah direbut olehnya, dan bukan tidak mungkin kalau dia hamil.

Dan setahu dia.

Pani dari kecil selalu sendirian, sampai dia bertemu Ellen di sekolah menengah, barulah keduanya menjadi teman pada pandangan pertama.

Ellen adalah satu-satunya teman Pani.

Kalau bukan Pani yang hamil, maka orang yang dapat membuat Pani susah payah membuang benda ini, hanyalah Ellen seorang.

Jadi Sumi curiga, orang yang hamil bukanlah Pani, tetapi....... Ellen!

Novel Terkait

Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Chasing Your Heart

Chasing Your Heart

Yany
Dikasihi
3 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu