Hanya Kamu Hidupku - Bab 215 Aku Di Sini, Kamu Mau Pergi Kemana?

Kedua bibir tersebut saling menempel lagi, sentuhan bibir yang terasa sedikit dingin dan lembut terasa lebih nyata yang disertai rasa marah dan benci dibandingkan dengan ciuman terakhir kali di toilet Wangi Sedap.

Napas yang lembut dan harum, membuat orang merasa candu.

William dengan cepat memejamkan matanya, sebuah tangannya merangkul Ellen yang sedang terbaring di ranjang. Lalu mengambil sebelah tangan Ellen dan meletakkannya di lehernya, mengangkatnya duduk di atas ranjang, kemudian Ellen memutar posisinya sehingga sekarang dia berada dalam posisi duduk di atas kaki William.

Bola mata Ellen bergetar, tulang punggungnya menjadi kaku seperti tidak dapat bergerak, dengan gelisah menatap wajah serius yang sedang fokus menciuminya, namun hatinya merasa sangat panik, tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.

William melepaskan ciuman di bibirnya, namun setelah itu, leher Ellen tiba-tiba terasa basah, sehingga membuat matanya terbelalak dan bergetar, di sudut matanya terdapat sedikit air mata, dengan sangat panik ia mendorong bahu William, namun dengan tenaganya saat itu, William sama sekali tidak mempedulikannya.

William memejamkan matanya, pupil matanya yang merah seperti akan keluar dari matanya, perlahan-lahan pandangannya menurun melihat ke sebelah kiri dada Ellen.

Saat cahaya redup melintas melewati matanya yang dingin, dengan ganas ia menggigitnya.

Dia sangat ingin merobek kulitnya itu, ingin melihat apakah hati Ellen terbuat dari batu?! Begitu keras dan kejam!

“Ah…..” Ellen merasa sakit dan mencengkram bahunya dengan erat, menundukkan kepala menatapnya dengan mata yang merah.

Disaat bersamaan, William mengangkat kepala melihatnya, dan semakin kuat menggigitnya.

Sakit sekali! Dengan gemetar Ellen menggertakkan giginya, ujung jarinya dengan kuat mencengkram bahu William.

“……….. Tolong lepaskan aku.”

Ellen ingin menahannya, akan tetapi terlalu sakit sehingga ia menangis dan meminta ampun.

Bahu Ellen yang kurus dan gemetar seperti akan roboh apabila terus bergetar beberapa lama lagi.

William melepaskan gigitannya, dengan pandangan mendalam kemudian tangan yang besar dan kuat memegang erat baju Ellen.

Ellen menarik napas, ujung matanya bergetar, dengan cepat air matanya mengalir keluar, dengan wajah pucat berusaha untuk menahan tangan William.

William tertawa dingin, mengangkat kepalanya dan menatap Ellen dengan dalam, kemudian menyingkirkan tangan Ellen dengan ganas membuka bajunya.

Tiba-tiba terasa sesuatu yang sejuk di atas perut Ellen.

Ellen ingin menghindar, tubuhnya yang kurus itu bergerak mundur, kedua tangannya yang tidak bertenaga mendorong bahu William, menggelengkan kepala dan dengan suara rendah berkata, “Kamu tidak boleh memperlakukanku seperti ini lagi William, berdasarkan apa kamu boleh memperlakukanku seperti ini?”

Empat tahun yang lalu William telah meninggalkannya.

Dalam empat tahun ini, tidak ada yang tahu seberapa kerasnya dia mencoba untuk melupakan William, melupakan semua masa lalu.

Sekarang, dia sudah memiliki kehidupan dan tujuan yang baru, walaupun biasa saja namun ia merasa teguh dan mantap.

Tidak ada yang mengganggapnya sebagai benalu, tidak ada yang terus menerus merencanakan untuk mengusirnya pergi, tidak ada sesuatu hal yang disembunyikan, juga tidak perlu menyusahkan diri sendiri karena hubungan kesetaraan.

Juga tidak perlu menghadapi rasa putus asa karena ditinggalkan oleh semua orang, benar-benar kenyataan yang kejam.

Keterlaluan?

Apakah dia keterlaluan?

“Lepaskan aku. Kita sudah tidak memiliki hubungan apapun, berdasarkan apa kamu dapat memperlakukanku seenaknya?”

Ellen merasa sangat sedih, wajah kecilnya yang pucat tertutupi air mata yang mengalir terus menerus.

Di depan William, dia kelihatan begitu lemah dan rentan.

Sedangkan William, baik empat tahun yang lalu maupun sekarang, dengan begitu mudah mengendalikannya.

Dia selalu kelihatan begitu kuat, segala hal di dunia ini seperti berada dalam genggamannya.

“Ah……..”

Disaat Ellen merasakan perasaan sedih dan marah yang bercampur aduk, ia merasakan lagi seperti ada sesuatu yang dingin menempel di permukaan perutnya.

Perutnya bergetar kencang, rasa tidak berdaya dan takut membuat matanya penuh dengan air mata.

Wajah Ellen terlihat sedih dan ketakutan, dengan erat menggigit bibirnya yang pucat, napasnya seperti tertahan di kerongkongan, kedua tangannya mencengkram jari William yang sedang membelai salah satu bagian di perutnya.

William malah lebih ganas lagi menggendongnya kemudian menghempaskannya ke atas ranjang, dan menindihnya dibawah tubuhnya, dengan begitu perut Ellen yang putih dan datar terlihat menyeluruh olehnya.

Ellen tiba-tiba merasa syok.

Wajahnya memerah, terus menerus menahan tangan William, kedua kakinya juga terus memberontak.

Pandangan William yang dingin bak malam hari dikala musim dingin, pelan-pelan ia mengangkat kepala dan melihat wajah Ellen yang memerah hingga keunguan, kemudian perlahan ia menurunkan kembali kepalanya, sebelah kakinya yang panjang menekan kedua kaki Ellen, dan mengabaikan tangan Ellen yang memukuli bahunya.

Dengan tatapan mendalam, ia menatap lekat sebuah bekas luka panjang yang terdapat di atas perut Ellen.

Saat jari tangannya menyentuh bekas luka tersebut, Ellen merasa hancur, dan berkata “Jangan sentuh aku!”

William seolah-olah tidak mendengar suara tegang dan marah Ellen, jari tangannya terus membelai bekas luka tersebut.

Matanya yang hitam dan dingin, pelan-pelan terlihat memerah.

Dengan ganas.

William menundukkan kepala dan mencium bekas lukanya, bibirnya yang sedikit dingin tersebut, seperti membakar bekas luka tersebut.

Tiba-tiba terasa seperti ada sebuah napas yang masuk ke dalam tenggorokan Ellen, berputar-putar di sana.

Akan tetapi saat ini, dia malah tidak dapat mengatakan apa-apa.

Sudut matanya memerah, seluruh wajahnya menjadi merah, bahkan pembuluh darah biru di otaknya juga berubah menjadi merah.

Suasana hati Ellen semakin kacau, kedua kakinya yang tertekan di bawah kaki William tersebut sepertinya bagaimanapun tidak dapat dilepaskan.

Akan tetapi dia masih berusaha keras untuk terus melawan.

Tangannya yang memukuli bahu William semakin lama semakin keras walaupun sudah memerah, namun ia tetap terus memukulnya.

Perasaan ganas dan menggebu-gebu William, saat ini perlahan-lahan berkurang, akhirnya ia menjadi tenang.

Mengangkat bibirnya dari bekas luka tersebut, lalu mencium sekali perut Ellen yang bersih dan putih, baru mengangkat badannya, dengan lembut dan perlahan menutup kembali pakaian Ellen.

Kemudian dengan lembut memegang kedua tangannya, melepaskan kedua kakinya, sambil duduk berlutut di atas tubuh Ellen, ia memegangi dan menciumi tangannya yang memerah karena memukulinya tadi.

Ellen menghela napas panjang, dengan masih syok, kedua bola matanya yang hitam menatap William.

Hatinya bergetar seperti akan hancur.

Setelah menciumi tangannya sebentar, kemudian William melepaskan tangannya, dengan tenang melewati tubuhnya dan turun dari ranjang.

Ellen mengedipkan matanya, dengan tergesa-gesa bangkit dari atas ranjang, melompat ke lantai, berdiri jauh darinya dan menatapnya dengan tatapan waspada.

William tidak mempedulikannya, seperti mencari-cari sesuatu di dalam kamar.

Terakhir ia menemukan sebuah kotak obat di laci paling bawah di meja dekat ranjang.

“Kesini.” William melihat ke arah Ellen dan berkata dengan suara datar.

“……..” Ellen tidak berjalan kedepan, malah berjalan mundur beberapa langkah lagi.

Sebelumnya ia sudah melewati batas, membuat Ellen takut dan tidak tenang.

Dan juga, dia yang seperti itu tidak ada bedanya dengan pembunuh mesum yang ada di dalam film-film.

Ellen menggelengkan kepalanya, dan berkata “Kamu mau apalagi?”

William meletakkan dan membuka kotak obat tersebut di atas meja dekat ranjang, dari dalam kotak obat mengambil obat pembasmi kuman dan salep, “Tanganmu terluka, aku bantu kami obati.”

Ellen tidak mendengarkannya, malah menyembunyikan tangannya di belakang, dengan takut dan mata yang berair ia menatap William, dengan suara serak berkata, “Aku ingin pergi. Kamu, kamu membawaku begitu saja, Tabita pasti akan cemas.”

Saat pergi, Ellen berumur delapan belas tahun, setelah empat tahun berlalu, dia juga baru berumur dua puluh dua tahun.

Walaupun sudah menjadi Mama beranak dua, namun dia masih tetap seorang gadis muda.

Apabila takut, itu wajar.

“Aku di sini, kamu mau pergi kemana?”

William mengangkat alisnya, dengan pandangan dingin dan raut wajah datar menatap Ellen, “Kesini.”

“Aku tidak terluka.”

Ellen terlihat cemberut, terlihat air matanya seperti akan mengalir keluar lagi.

William menutup rapat bibirnya, melihat ke arah Ellen, dengan dingin berkata, “Aku tidak ingin marah-marah. Kamu patuhlah.”

Dengan cepat Ellen melihat ke arah pintu kamar, dengan diam-diam kakinya bergerak ke arah pintu.

William mengerutkan alisnya, “Ellen……”

Suara William tidak keras malah terhitung kecil, walaupun terdengar dingin, tetapi tersimpan rasa kejam.

Akan tetapi saat dia berbicara, Ellen menjadi seperti kucing kecil yang ketakutan, dengan tubuh gemetar, berlari ke arah pintu kamar, untuk melarikan diri.

Melihat hal tersebut, William menjadi marah, dia menggertakkan giginya, sekuat tenaga melempar obat pembasmi kuman dan salep ke atas ranjang, dengan sangat cepat ia mengejar keluar, dari belakang menangkap erat lengan Ellen yang ramping.

“Ah…. Lepaskan aku, kamu lepaskan aku…”

Ellen kesal, memutar badan menggunakan tangannya yang satu lagi memukul punggung tangan William, sangat panik dan suaranya terdengar bergetar.

Seperti sudah menganggap William adalah pembunuh mesum yang kejam.

Bola mata William memerah, menggigit giginya dengan erat, tidak ingin banyak basa-basi dengannya, dengan kuat mencengkram dan menariknya kembali kekamar, melemparkannya ke atas ranjang.

Kamar suite presiden hotel bintang lima, kasurnya terasa sangat empuk.

Karena kasur yang empuk, saat Ellen dihempaskan ke ranjang, tubuhnya tergoyang sebentar, tidak dapat duduk stabil, dalam situasi canggung terbaring di atas kasur, yang lebih menyedihkannya lagi, dia mencoba untuk bangun, setelah mencoba beberapa kali pada akhirnya dia tetap tidak dapat bangkit dari ranjang.

William berdiri disamping ranjang dengan dingin menatapnya yang terjebak dalam kondisi tersebut, ujung bibirnya yang tipis meregang, tidak tahu seperti sedang menahan apa.

Diam-diam bersenandung, William mengangkat salah satu kakinya dan meletakkannya di atas ranjang, mengambil obat-obatan yang sebelumnya ia buang ke atas ranjang, pelan-pelan membungkukkan badan, menangkap salah satu pergelangan tangan Ellen, sambil mengangkatnya bangun.

Ellen, “………” dengan ketakutan, ia mengangkat tangan dan merapikan rambutnya yang kacau, pinggulnya bergeser sedikit demi sedikit di ranjang, untuk bangkit dari ranjang.

“Kalau bergerak sembarangan lagi, aku akan mematahkan kakimu.”

Sambil menundukkan kepala dan dalam posisi setengah merunduk di depan Ellen, membuka obat pembasmi kuman ditangannya, sambil berkata.

Ellen membeku, menundukkan kepala melihatnya.

Baru menyadari William sama sekali tidak menatapnya.

Akan tetapi perkataannya tadi terasa sangat menakutkan.

William mengangkat badannya, lalu mengambil tongkat kapas dari dalam kotak obat, dan duduk di samping Ellen.

Mengambil keluar sebuah tongkat kapas, William menutup rapat bibirnya yang tipis, mengambil tangan Ellen, memijitinya perlahan, kemudian meletakkan tangan Ellen di atas kakinya dengan punggung tangan menghadap ke atas.

Saat telapak tangannya menyentuh paha William yang kokoh, Ellen meringkuk sejenak dan ingin menarik tangannya.

“Jangan bergerak kalau masih ingin memakai tanganmu!”

Dia masih tidak mengangkat kepala memandang Ellen, suaranya yang jelas dan dingin, tidak tahu seberapa marahnya dia, akan tetapi justru membuat orang takut dan tidak berani berbuat apa-apa.

Walaupun Ellen tidak bersikeras lagi untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi tangannya terus bergetar di atas paha William.

William mengambil batang kapas yang telah diberikan obat pembasmi kuman, melihat tangan Ellen yang terus bergetar, ia berhenti sejenak, kemudian seperti tidak terjadi apa-apa, dengan tenang mengolesi luka yang didapat Ellen saat berada di Wangi Sedap yang disebabkan oleh Tabita.

“……”

Novel Terkait

Love at First Sight

Love at First Sight

Laura Vanessa
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
3 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
My Cute Wife

My Cute Wife

Dessy
Percintaan
4 tahun yang lalu