Hanya Kamu Hidupku - Bab 37 Aku Ingin Jadi Kekasihmu

Sepasang kaki Ellen bergetar dan langkahnya pun berhenti.

Suara langkah kaki berat terdengar semakin dekat, dan menarik satu lengan Ellen, dan menariknya masuk ke toilet.

BLAM!

Pintu toilet pun terbanting.

Seorang lelaki dengan dada bidang terus berdiri menghimpit Ellen diujung pintu.

Jantung Ellen berdegup kencang, dia mengangkat kepalanya dan memandang lelaki berwajah dingin itu, dengan suara bergetar, “Paman, Paman ketig…”

William melingkarkan lengan di pinggul Ellen dengan berani, dan satu tangan lagi mengangkat dagu Ellen, tanpa jeda dia memandagi Ellen seakan pandangan dinginya itu menyebar keseluruh badan Ellen.

Seluruh toilet seakan diliputi oeleh hawa dingin.

“Ellen, aku tidak suka kamu menghindariku, mengerti?” William menundukan kepalanya, dengan pandangan matanya yang matang dan dalam memandang Ellen, dengan suara gema yang masih terdengar.

“Aku, aku tidak.” Saat ini, sampai kepala Ellen berlubang, juga tidak akan mengakui dia menghindarinya.

“Cium aku.” Pinta William tiba-tiba.

“……” Ellen kaget dan terdiam dengan mata terbelalak, berpikir dia salah dengar, dengan pandangan bingung menatap William.

William memicingkan matanya, dengan pandangan matanya yang dalam memandang bibir merah muda Ellen dan suaranya berubah serak, “Cium aku dan aku akan percaya kamu tidak sedang menghindariku.”

Ellen yang akhirnya sadar dia tidak salah dengar, wajahnya seketika memerah, kedua manik matanya yang indah dan jernih pun tidak memancarkan perlawanan.

William menyadari perubahan yang terjadi dalam pandangan Ellen.

Dengan pandangan mengancam William berkata, “Takut padaku, atau jijik padaku?”

Pada saat dia mengatakan“Jijik.” Satu kata ini.

Ellen melihat ada kilat marah di kedua mata Wiliiam dan pandangannya menjadi lebih dingin dan mencekam.

Dengan tangan yang bergetar dan suaranya yang ikut bergetar, “Paman Ketiga, boleh tidak kita kembali ke kita yang dulu?”

Suara Ellen sangat pelan, ditambah lagi dengan suaranya yang bergetar, menatap William dengan pandangan memohon dan berharap.

Dia ingin mereka kembali seperti semula.

Ellen adalah miliknya, dia memanggilnya Paman ketiga, mereka dimata orang-orang mereka memiliki hubungan yang dekat antara keponakan dan paman.

Dan tidak seperti sekarang……

Ellen mengakui, mengakui dia tidak bisa menerima perubahan ini, juga tidak bisa menerima perasaan William kepadanya.

William adalah pamannya, bagaimana bisa dia menerimanya?

Yang lebih membuatnya takut dan tak berdaya adalah kegigihan dari pengaruh, kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki oleh William.

Untuk berpikir bersama denganya saja Ellen tidak berani, jika hal ini diketahui oleh Hansen, Gerald dan Louis entah akan bagaimana jadinya.

Ellen mengulurkan tanganya menarik kemeja yang dikenakan oleh William dan berkata pelan:”Paman, Boleh tidak kamu tetap menjadi paman ketiga ku? Kita selamanya menjadi saudara, ya? Boleh tidak Paman ketiga? Anggap, anggap saja aku sedang memohon padamu, Paman……”

William menatap kedua mata Ellen yang menderita mengalirkan air mata, Matanya yang dingin sarat dengan kesedihan, dengan lembut mengusap air mata Ellen yang mengalir, “Maafkan aku Ellen, Paman hanya ingin menjadi kekasihmu, suamimu, pendamping hidupmu. Bukan hanya sekedar saudara.”

“Paman ketiga……”

Isak tangis Ellen tiba-tiba tertahan dibungkam oleh dua bibir tipis yang lembut.

Air mata Ellen mengalir semakin deras menatap mata William yang dalam dan tegas, seketika hatinya tertelan oleh rasa pedih yang dalam.

……

Ketika Ellen dan William kembali ke ruangan semua orang telah tiba.

Ketika melihat Ellen dan William datang pada saat bersamaan Ethan dan Sumi pun tersenyum penuh arti.

“Ellen, Paman Samir sudah memesankan lobster kesukaanmu, ayo makan.” Kata Samir begitu melihat Ellen, langsung tersenyum dan melambaikan tangan padanya.

Karena kejadian di toilet tadi Ellen tidak terlalu bersemangat, dan menatap Samir dari ujung matanya, dengan pikiran tertekan berjalan menuju meja makan mencari tempat duduk.

Sumi menatapnya, ekspresi wajahnya berubah cemberut.

Berdiri, dan duduk disamping Ellen.

Sumi melihat bibir Ellen sedikit merah dan bengkak dan mengerti mengapa mereka sepertinya tidak dalam moodnya tidak baik, mengangkat satu alisnya dan berpura-pura bingung.

“Ellen ada apa? Moodmu sedang tidak bagus ya?” Samir tidak menyadari perubahan yang terjadi antara Ellen dan William, melihat raut wajah Ellen yang suram, karena peduli dia menanyakan.

“Tidak.” Jawab Ellen singkat, sulit untuk menyembunyikan suaranya yang bergetar.

Samir menarik kursinya bangkit dan berjalan ke samping tempat duduk Ellen dan berkata dengan tegas, “Ellen, apa ada orang yang mengganggumu? Beritahu saja pada paman, dan paman akan membuat perhitungan denganya.”

“heg……”

Setelah Samir berkata hal ini, Sumi pun terbatuk.

Samir berbalik menatap Sumi, “Kamu sakit?”

Sumi: “……” Ternyata yang sakit itu otaknya!

Sumi tidak menghiraukan dia, Samir bergumam kemudian kembali berbalik ke Ellen, “Ellen, tidak usah takut beritahu Paman, siapa yang berani mengganggu kamu, paman akan melindungimu!”

“Uhuk……”

Kali ini berganti Ethan yang terbatuk.

Samir sadar dan menatap aneh ke Ethan.

Ethan tak berkata apapun mengangkat gelas wine, dengan mata sayu menyesap wine dalam gelas.

Samir masih belum menangkap maksud dari mereka berdua, dan kembali memandang Ellen dan berkata dengan serius, “Ellen, katakanlah, katakan ketidaknyamananmu kedapa Paman Samir.”

Ellen menghela napas, menolehkan kepalanya menatap Samir, “Paman Samir, aku sedang tidak mood, aku cuma sangat lapar.”

Ugh……

Samir mengusap hidungnya, “Oh.” Lalu, Samir yang tadinya sangat bersemangat, kemudian pelan-pelan bangkit dan berjalan kembali ke tempat duduknya, dan mengangka gelas winenya kemudian menuangkanya ke mulut.

Sumi mengangkat sebelah alisnya kemudian menatap Ellen dan berkata, “Karena kamu sudah lapar, lebih baik jangan banyak bicara lagi dan cepat mulai makan. Jika menu lain yang kamu inginkan, ayo cepat dipesan, lagipula Paman Ethan yang membayar semuanya hari ini.”

Ethan mengangguk, “Ayo silahkan mau pesan apa saja boleh.”

Ketika Sumi akan menepuk pundak Ethan dia pun tersadar Ethan memiliki obsesi berlebihan terhadap kebersihan, tangannya pun tergantung di udara untuk beberapa saat kemudian dia menurunkan tanganya dan berkata pada pelayan, “Tolong antarkan lagi Wine dari tahun 89.”

“Baik, mohon tunggu sebentar.” Kata pelayan.

Ethan menatap Sumi dan bergumam, “Kamu benar-benar tidak segan.”

Sumi tertawa, “Disini semua adalah suadara, kalau segan-segan bukan saudara namanya.”

“Hehe.” Ethan tertawa palsu.

Ellen dengan lesu mengangkat sumpit dan mulai memakan nasinya.

Tiba-tiba.

Dihadapanya terdapat sepiring penuh lobster yang sudah dikupas.

Mata Ellen berkedip, kemudian memandang William yang duduk disampingnya.

William dengan ekspresi muka datar dan berkata, “Makanlah.”

Hati dan mulut Ellen kembali tidak sejalan.

Ketika melihat William kembali akan mengambil seekor lobster lagi, tangan Ellen memegang sumpitnya dengan erat menahan amarah, “Aku sekarang sudah tidak suka makan lobster.”

Karena perkataannya ini, ekspresi muka Ethan sedikit berubah dan menatap kedua orang itu.

William disatu pihak tak menunjukan perubahan ekspresi apapun, dan tetap mengupas lobster.

Ketika lobster itu sudah terkupas dia kembali memindahkannya ke piring Ellen.

Ekspresi wajah Ellen semakin tegang ketika melihat ada kilat terpancar dari sepasang mata William, “Sudah kukatakan aku tidak suka makan lobster.”

Sumi mengerenyitkan alisnya tapi tidak berkata apa apa.

Ethan juga tak berkata apa-apa.

Samir terdiam, merasa aneh, Ellen marah kepada orang tersebut?

Apa dia sudah bosan hidup?!

Tiba-tiba

William tetap tanpa ekspresi mengupas lobster tanpa henti.

Melihat piring dihadapanya semakin penuh oleh lobster, dia memandangi William dengan kedua mata memerah.

Hatinya begitu tertekan, sampai-sampai dia tak tahu lagi harus bagaimana!

Khawatir Ellen akan marah pada William, dan akan terjadi hal yang buruk, Samir dengan mulut terkatup bergumam, “El……”

Tak disangka

Baru saja dia akan mengatakan sesuatu.

Ellen tiba-tiba meletakan sumpitnya lalu bangkit dari kursinya, “Paman Ethan, Paman Sumi, Paman Samir, aku sudah kenyang, kalian silahkan lanjutkan makan.”

Setelah mengatakan itu Ellen pun berbalik akan melangkah pergi.

“Duduk.”

William buka mulut dengan nada tegas dan dingin.

Terdengar sangat datar seakan tidak menyimpan amarah sedikitpun.

Tapi dalam pendengaran sekelompok orang yang berada di sana sungguh jelas terdengar aura suram dan berbahaya.

Sifat keras kepala Ellen muncul, dengan muka kesal menatap William, “Hari ini aku banyak PR, aku pulang dulu untuk mengerjakannya.”

Ellen melangkah keluar dari kursinya, menegakan punggungnya dan berjalan ke sofa, lalu mengambil tas yang ditaruh di sofa tadi kemudian melangkah pergi.

BANG!

Dari balik badanya tiba-tiba terdengar suara keras.

Bagian punggung Ellen tiba-tiba mati rasa, wajahnya yang mungil tiba-tiba pucat, dan tiba tiba kaki yang sudah akan melangkah terhenti.

“Kembali!” Suara William yang rendah dan tegas terdengar seperti palu yang menghantam hati Ellen yang rapuh.

Kedua mata Ellen memanas menahan air mata yang akan mengalir, kedua tanganya menggenggam erat tali tas, dia terpaku ditempat.

“Jangan sampai aku mengulangnya untuk kedua kali!” Ancam William.

Ellen mengatupkan bibirnya rapat, menahan tangis, berbalik dan kembali duduk ditempat semula.

Klontang……

Sepiring penuh lobster disodorkan kehadapannya, bunyi dentingan piring itu menabrak ke mangkuk nasinya membuat suara sedikit gaduh.

“Makan!”

“Itu……” Samir yang melihat mata Ellen sudah penuh dengan air mata, melihat si mungil itu menahan tangis dia merasa tidak tega, baru akan membela Ellen, sayangnya belum sempat dia berbicara, dia sudah ditahan oleh sebuah tatapan ancaman.

Samir tampak kesal, pada saat ini dia tak berani berkata apapun.

Jika William sudah marah, maka akibatnya sudah pasti tidak diinginkan oleh orang-orang.

Sumi menatap Ellen dengan alis berkerut, melihat kedalam tatapan Ellen dia merasa sedikit tidak tega.

Tapi hasilnya sekarang, dulu saat Ellen mulai tidak menurut pada William, dia sudah mengantisipasi.

Ekspresi wajah Ethan kembali normal.

Karena dia tahu, masalah ini pada akhirnya akan menjadi suatu kondisi yang tak perlu mereka khawatirkan.

Dari tingkat kepedulian William kepada Ellen, dia pasti akan kembali marah dan kesal, tapi dia tidak akan melakukan apa-apa terhadap Ellen.

Mungkin saja dia sekarang menakut-nakuti nona kecil ini, dan kemudian dia akan melakukan sesuatu untuk berbaikan dengannya.

Dari yang dilihat oleh Ethan, yang rugi adalah William.

Ellen menatap piring lobster yang ada dihadapannya, lalu mengangkat sumpitnya.

Walaupun dia terus mengingatkan dirinya untuk tidak menangis, tidak untuk menangis dihadapan banyak orang.

Tapi pada saat dia menyuapkan lobster pertama kemulutnya, dia pun langsung menangis sekeras-kerasnya, air mata tak berhenti mengalir.

Ketika melihat Ellen menangis, dalam manik matanya yang gelap tersirat rasa panik.

Novel Terkait

Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu