Hanya Kamu Hidupku - Bab 620 Demi Kamu, Aku Sekarat

“Kakak, Ibu dan Ayah tahu bahwa kamu sudah pulang.” Tutur Suli dengan suara rendah.

Mata aprikot Pani yang awalnya lembut seketika dipenuhi kedinginan, suhu dalam suaranya turun ke derajat negatif, "Jadi?"

Setiap kali Pani kembali dingin dan tidak acuh, Suli selalu takut.

Suli menggigit bibir bawahnya yang lembut, "Tidak ada. Aku hanya ingin memberitahumu."

Pani menatap Suli, "Benarkah?"

Suli tidak berani bertatapan dengan Pani, lehernya menegang, "Kakak, aku pergi beristirahat dulu. Guru akan mencariku jika tidak menemukanku di kelas."

“Apakah mereka mengatakan sesuatu?” Pani bertanya dengan dingin.

“... … Tidak.” Suli menundukkan kepala, bahu yang kurus sedikit bergetar.

Usai bertutur, dia melepaskan tangan Pani, berbalik dan lari.

Pani menatap punggung kecil Suli, secerca kedinginan melintasi matanya.

... …

Kembali ke dalam mobil, Pani mengira dia telah menyembunyikan semua emosinya, tetapi begitu dia duduk di dalam mobil, suara lembut pria terdengar, "Kenapa?"

Bulu mata Pani bergetar pelan, menatap Sumi, tatapan jernih, "Tidak ada."

Bibir tipis Sumi agak merapat.

Gelombang mata Pani berkelebat.

... …

Malam itu juga, begitu Pani keluar dari kamar mandi, Sumi langsung menarik pergelangan tangannya, menyeretnya ke dinding di samping pintu kamar mandi, menekannya, lalu menciumnya dengan brutal

"Um… ..." Pani membelalak kaget, kedua tangan yang mengepal erat tidak tahu harus ditempatkan di mana.

Sumi merobek gaun tidurnya dan membuangnya dengan keras. Pani sontak mengernyit, mata yang panik bertambah api amarah.

Sumi tiba-tiba mengencangkan tangan yang melingkari pinggang Pani, menggigit bibirnya, berkata dengan suara parau, "Pani, sampai kapan kamu mau menghukumku, hm?"

Butiran keringat seukuran beras menyembul di kening Pani. Dia menatap Sumi dengan sesak napas, "Apa yang kamu bilang? Aku tidak mengerti."

“Kamu tidak mengerti? Oke, kamu tidak mengerti!” Sumi tiba-tiba menggigit hidung Pani dengan kuat, mengangkatnya dan berjalan menuju ranjang besar.

Sebelum Pani kehilangan kesadaran, dia samar-samar mendengar pria itu mengatakan sesuatu di dekat telinganya.

"Malam-malam berikutnya, mari kita pelan-pelan melaluinya."

... …

Selama satu minggu ke depan, Sumi melakukan apa yang dikatakannya.

Tiba pada malam hari, selama Pani muncul, di mana pun tempat mereka berada, Sumi selalu melakukannya perlahan.

Dia berhasil memecah prinsip Pani yang selalu bangun pagi.

Apa yang membuat Pani merasa semakin malu adalah Samoa, Siera, dan bahkan Snow menanyakan hal yang sama padanya.

Yaitu, apakah kakinya terluka!?

Ditanya sekali, Pani tersipu sekali!

Sehingga dia tidak berani berjalan di depan Samoa, Siera, dan yang lainnya karena takut mereka akan bertanya lagi.

Pada malam hari.

Pani bersembunyi di kamar mandi dan tidak mau keluar.

Sumi bersandar di pintu kamar mandi, dua kaki panjang saling bertumpang tindih dengan angkuh. Setiap sepuluh menit, dia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu kamar mandi dengan malas.

Setiap kali dia mengetuk, Pani sangat marah sampai dia ingin menggeram!

Ketuk apaan, sialan! Jika kamu memang mampu mengetuk, maka ketuk saja sepanjang malam!

Kenyataan membuktikan.

Jika Pani tidak keluar, Sumi benar-benar bisa mempertahankan ritme ini sepanjang malam!

Dua jam telah berlalu, Sumi tetap tidak menyerah.

Pani duduk di atas kloset, melihat ke pintu, kakinya gemetar.

Gila!

Berlangsung lebih dari seminggu secara berturut-turut, apakah dia tidak takut dia akan kehilangan energi? Apakah dia tidak tahu cara menulis kata kontrol?

Dirinya sudah mau gila, tahu?

TOK TOK--

Pani mengertakkan gigi, "Jangan ketuk lagi, panggil setan ya!"

“Pani, percuma, kamu tidak akan bisa bersembunyi dariku.” Ujar Sumi dengan iseng.

Terkandung ejekan dan arogansi dalam nada bicaranya yang membuat Pani nyaris gila.

Huh!

Apa yang patut dibanggakan, hati-hati itu dan itu!

“Pani, jangan buang waktu, keluar, kita selesaikan dengan cepat.” Kata Sumi.

Cepat?

Akan lebih baik jika cepat!

Pani menggigit kuku, mengertakkan gigi dan berkata, "Sumi, aku tidak enak badan malam ini, kamu tidak boleh main-main."

“Kapan aku main-main? Aku sangat serius.” Ujar Sumi dengan jujur.

"Tak tahu malu!" Maki Pani.

“Pani, tidak ada gunanya kamu mengutuk-kutuk di dalam, keluar untuk mengutukku, tunjuk ujung hidungku untuk mengutukku, aku berjanji tidak akan membantahmu!” Sumi tersenyum ringan.

“Kamu penyakitan!” Bentak Pani dengan marah.

“Iya, aku memang sakit, aku sakit karena kamu, aku sudah sekarat.” Kata-kata Sumi semakin menyimpang, lidah semakin fasih, seolah diolesi minyak!

Wajah Pani merona merah, dia menegakkan pinggang, menatap ke pintu, "Sumi, kamu lanjutkan usilanmu, lanjutkan kecabulanmu! Malam ini aku tidak akan membuka pintu!"

"Oke, aku akan menemanimu di luar! Kapan pikiranmu terbuka, kapan kita tidur."

Kata Sumi dengan tenang.

Pani mencubit paha sendiri. Bagaimana mungkin pria ini adalah seorang pengacara, dia jelas-jelas bajingan, serta ... setan cabul!

Selama satu jam berikutnya, Sumi masih mengetuk pintu setiap sepuluh menit, memanggil nama Pani.

Dia tidak akan berhenti sebelum Pani menjawab.

Pani bersandar lemas di kloset, kehilangan semangat juang.

Pada waktu bersamaan.

Dia merasa sangat bosan.

Mereka berdua menghabiskan tiga sampai empat jam hanya untuk ini, sungguh luar biasa!

"Pani… ..."

Sumi mengetuk pintu sambil berseru.

Pani menghela napas, bangkit, berjalan ke pintu, membuka pintu.

Saat dia membuka pintu, Sumi langsung menangkapnya, menahan kepalanya, membungkam mulutnya dengan brutal.

Celah-celah gigi dipenuhi nafas yang tidak asing bagi Pani, dia mengulurkan tangannya untuk merangkul pinggang Sumi, suara bergumam pelan dari bibirnya, "Aku capek… ..."

Pria yang menciumnya dengan liar segera berhenti, menatapnya dengan tatapan mendalam.

Pani bersandar lemas pada Sumi, "Sangat capek. Sangat mengantuk."

Sumi mengerutkan kening, mencium kening Pani, membungkuk untuk mengangkatnya, lalu berjalan menuju ranjang besar.

Pani memejamkan mata, hidung yang agak mancung berkerut sedih.

Sumi membaringkannya dengan ringan di tempat tidur. Melihat hidung dan dahinya yang berkedut, serta lingkaran hitam yang parah di bawah matanya, rasa kasihan dan tidak tega membanjiri hati. Dia memang agak keterlaluan dalam beberapa hari terakhir ini, sehingga membuatnya kecapekan.

Memikirkan hal ini, Sumi berbaring di sampingnya, memeluknya lagi, tangan panjang terulur untuk mematikan lampu kamar, menepuk punggungnya, berkata dengan lembut, "Tidurlah. Aku tidak akan mengganggumu."

Wajah Sumi mengusap dada Pani, ujung mulutnya yang tertekan perlahan-lahan terangkat.

Heh, pria tua, mau lawan dia!

... …

Saat Pani bangun pada keesokan harinya, Sumi sudah tidak ada lagi di kamar.

Pani mengusap mata sambil mendudukkan diri, sekilas melihat jam dinding.

Dia kira dirinya bangun kesiangan, ternyata jarum jam belum menyentuh pukul tujuh.

Sumi bangun sepagi ini?

Pani memijat leher yang agak pegal, bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk mandi. Setelah mandi, dia pergi ke ruang ganti untuk mengganti pakaian rumah yang nyaman, lalu berjalan keluar dari kamar tidur.

"Tuan dan Nyonya Wilman terlalu sopan-menyopan, membawa begitu banyak hadiah pada kedatangan ini?"

Suara sopan Siera datang dari bawah.

Langkah yang diambil Pani untuk keluar dari kamar tidur terpaku sejenak di udara.

“Ini untuk cucuku, sebagaimana mestinya.” Ujar Sandy sambil tersenyum.

“Benar, Nyonya Nulu, ini semua merupakan apa yang mesti dilakukan kami.” Reta mengiyakan perkataan Sandy, suara mengandung sanjungan yang tidak sulit disadari.

Wajah Pani lekas mendingin.

... …

Ruang tamu di lantai bawah.

Sandy datang dengan keluarga beranggotakan empat orang. Semuanya berdandan secara khusus. Dapat dikatakan bahwa mereka sangat serius dan tulus.

Siera secara pribadi membuat jus dan teh untuk disajikan. Dia juga memberi pelayanan dan kehormatan yang cukup bagi Sandy dan yang lainnya.

“Maaf telah merepotkan Nyonya Nulu.” Ujar Sandy setelah minum teh.

“Tuan Wilam terlalu mengasingkan diri.” Kata Siera dengan diiringi senyuman.

Reta mengambil jus, sudut mata dan alis dihiasi senyuman. Dia diam-diam menilai sekeliling rumah.

Hasil dari penilaiannya adalah tidak heran ini merupakan rumah dari Keluarga Nulu, gayanya sungguh berbeda.

“Ngomong-ngomong, Nyonya Nulu, di mana bayi itu?” Reta menatap Siera.

Pandangan Siera menyapu Sumi yang sedang duduk di samping dengan kecepatan kilat, tangan bertumpang tindih di atas pangkuan, berkata sambil tersenyum, "Bayi itu masih tidur di kamar bayi."

“Oh.” Reta mengangguk. Setelah terdiam beberapa detik, dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Aku dan Sandy belum tahu siapa nama anak. Pani benar-benar keterlaluan. Dia telah pulang begitu lama, dia bahkan sudah melahirkan anak Sumi, tapi dia malah tidak memberitahu aku dan ayahnya."

Siera masih mempertahankan senyuman sopan, tidak mengatakan apapun setelah mendengar kata-kata itu, hanya menyapa Reta dan lainnya untuk mencicipi teh, jus, dan buah.

Reta dan Sandy saling memandang, lalu mengambil jus di atas meja dan menyesapnya, mengangkat sudut mata dan menatap Siera, "Siapa nama bayinya?"

Tatapan Reta pada Siera agak licik.

Siera mengangkat alis, "Namanya… ..."

"Ayah, Ibu."

Suara jernih Pani datang pada saat yang tepat.

Semua orang di ruang tamu menoleh ke arahnya.

Pani memasang senyuman, perlahan menuruni tangga, senyuman tipis tergantung di mata, pandangan menyapu orang-orang yang duduk di ruang tamu.

Ketika melihat Sandy dan Reta yang agak menegakkan pinggang, Pani melanjutkan, "Ada tamu yang datang ya."

Sandy dan Reta membeku.

Mereka mengira bahwa panggilan "Ayah, Ibu" yang baru saja dilontarkan Pani adalah memanggil mereka.

Tapi sepertinya tidak.

Wajah Sandy berkedut tanpa sadar, berbalik untuk melihat ke arah Siera dan Samoa.

Siera dan Samoa tersenyum lembut, mengangguk pada Pani.

Kecanggungan melintasi paras Sandy.

"Kakak."

Suli menatap Pani dengan tatapan cerah, suara malu-malu.

Pani sekilas melirik Suli, turun dan berjalan ke ruang tamu.

Sumi menepuk tempat di sampingnya.

Pani tersenyum riang padanya, kemudian duduk di sebelahnya.

Merasakan genggaman tangan seorang pria yang lebar dan hangat, alis Pani terangkat, menilik langsung ke arah Sandy.

Ketika mata bertemu dengan tatapan Pani yang dingin, Sandy berbalik dan menghindar.

Melihat kondisi ini.

Lengkungan mulut Pani mendalam.

"Pani, meskipun kamu sudah bersama dengan Tuan Sumi, tapi kamu tetap merupakan anak dari Keluarga Wilman. Kita adalah satu keluarga. Keluarga malah disebut tamu, itu membuat perasaan orang agak kacau." Reta menatap Pani. Meskipun wajahnya tersenyum, tetapi senyum di wajahnya akan bergetar sewaktu-waktu. Kelihatan jelas bahwa dia bukan tersenyum tulus pada Pani.

Cahaya dingin melintas di mata aprikot Pani, "Keluarga? Maksudmu aku dan kalian?"

Novel Terkait

Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu
Mr Huo’s Sweetpie

Mr Huo’s Sweetpie

Ellya
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu
4 tahun yang lalu
Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
Get Back To You

Get Back To You

Lexy
Percintaan
4 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Innocent Kid

Innocent Kid

Fella
Anak Lucu
4 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu