Hanya Kamu Hidupku - Bab 499 Paman Nulu, Bisakah Kamu Memelukku Dengan Erat

Oleh karena itu, ketika Pani pulang dari sekolah dan melihat Sumi yang duduk di sofa dengan santai, dia sedikit tertegun.

Bagaimanapun juga dalam periode waktu ini Sumi begitu sibuk, dan Pani bukannya tidak melihatnya.

"Aku sudah pulang."

Sumi menatap Pani dengan jernih.

Pani menganggukkan kepala, lalu menatapnya, kemudian meletakkan tas sekolah ke atas rak sepatu, dia menundukkan kepala untuk mengganti sepatu.

Sumi memandangnya dengan curiga, melihat dia membawa tas sekolah dan berjalan ke atas, matanya yang jernih sedikit bersinar, dan berkata, "Aku sudah memesan makanan, kamu turunlah setelah ganti baju. Setelah makan baru belajar."

"Mm." Pani menjawab dengan suara rendah.

Sumi menatapnya, alis panjangnya tanpa disadari sedikit naik.

......

Pani naik ke kamarnya, mencuci wajah, mengganti baju rumah yang nyaman, duduk sebentar di kamar, baru turun ke bawah.

Di ruang tamu Sumi tidak kelihatan, keraguan sedikit melintasi mata Pani yang jernih.

"Ruang makan."

Suara pria yang jelas dan lembut datang dari ruang makan.

Pani mengerutkan bibirnya, dan pergi ke ruang makan.

Makanan yang dipesan sudah diantar kemari, Sumi menata makanan satu per satu, dia duduk di kursi yang ada di samping meja makan, satu ruas tangan yang panjang dan kurus diletakkan di atas meja makan, satu tangan lagi diletakkan di atas paha dengan santai, dan memandangnya dengan lembut.

Pani berjalan masuk, duduk di hadapannya, menengadah dan melihatnya dengan tenang dan patuh.

Sumi mengambil sumpit dan memberikannya padanya, "Makanlah."

Pani menerima sumpit itu, dia menundukkan kepala dan melihat berbagai macam makanan dengan rasa yang kental yang dia suka, kemudian berhenti untuk beberapa detik lalu memakannya.

"Makan lebih banyak, belakangan ini kamu belajar dengan keras, makan lebih banyak untuk menambah tenaga dan gizi." Suara Sumi ringan, tetapi sangat lembut dan hangat.

Melihat makanan dalam mangkuk yang diambil oleh Sumi kepadanya, bulu mata Pani sedikit berkedip, dia berkata dengan suara kecil, "Kamu juga makan lebih banyak."

Dia tahu betapa lelahnya dia karena belakangan ini memerhatikan orang di sekitarnya.

Lelah yang seperti ini, ada yang berasal dari tubuh, ada juga yang berasal dari dalam hati.

Sumi mendengarnya, sedikit tertegun, ujung mulutnya tergulung ke atas, kedua mata yang menatap Pani sangat lembut, "Mm. Apakah kamu percaya diri?"

Pani mengunyah dengan perlahan-lahan, dan menelan semua makanan yang ada di mulutnya, berkata, "Apa?"

"Ujian masuk universitas."

"... Tidak tahu." Pani berkata.

Sumi menatapnya, tatapannya jernih dan lembut, "Aku percaya padamu."

Pani sedikit tertegun, beberapa saat kemudian, berkata, "Mm."

Sumi mengupas udang untuknya, ketika meletakkan ke mangkuknya, dia berkata, "Setelah kamu selesai ujian masuk universitas, aku akan membawamu keluar untuk santai dan rileks."

"Nanti kita bahas lagi." Pani mengerutkan kening dan berkata.

Sekarang dia telah menggunakan seluruh tenaganya untuk menghadapi ujian masuk universitas, dia tidak tahu setelah ujian masuk universitas selesai, dalam waktu yang singkat itu, dia masih memiliki tenaga untuk melakukan hal lain.

Sumi menatapnya, tidak mengatakan apa-apa lagi, dan hanya lanjut mengupas udang untuknya.

......

Tiga hari sebelum ujian masuk universitas, Pani mulai menderita kehilangan nafsu makan, muntah-muntah, serta insomnia parah, mimpi buruk, dan gejala lainnya yang buruk.

Dia tahu dirinya sendiri itu terlalu gugup, memandang ujian masuk universitas terlalu serius, jadi menyebabkan serangkaian gejala lainnya.

Dia takut gagal ujian, takut mengecewakan Ellen.

Saat Sumi menyadari keanehan Pani untuk pertama kalinya, dia langsung menggantikan Pani untuk mengambil cuti dengan sekolah, memanggil dokter keluarga untuk memeriksa dan mengobatinya.

Setelah dokter keluarga memeriksa Pani, dia juga mengatakan bahwa beban pikirannya terlalu berat, tekanannya terlalu besar, oleh karena itu menyebabkan kegiatan setiap organ tubuh kehilangan keseimbangan, dan menyebabkan serangkaian masalah pada tubuhnya.

Lalu, dokter keluarga menginfus Pani, dan juga memberinya obat.

Tetapi jika ingin Pani sembuh sebaik mungkin, makan obat dan infus hanyalah mengobati gejalanya.

Dan jika ingin mengobati penyakitnya, yang paling penting masih harus mengandalkan Pani sendiri untuk menyesuaikan.

Yang dikatakan oleh dokter ini, Pani mengerti, tetapi dia... tidak bisa untuk tidak gugup.

Tidak lama setelah dokter pergi, Pani mengambil kumpulan soal yang salah dan melihat bebarapa soal tes yang dia salah, kecemasan jelas tercetak pada setiap garis wajahnya.

Sumi masuk dan membawa air hangat, dia melihat Pani sedang melihat kumpulan soal yang salah, matanya menjadi tegang.

Tetapi dia tidak mengomeli Pani, dan berjalan maju.

Sumi memberikan air hangat kepadanya, berkata dengan suara yang lembut , "Makan obat terlebih dahulu."

Pani sementara meletakkan kumpulan soal yang salah, dan menerima air.

Sumi mengambil obat yang diberikan oleh dokter di atas meja di samping tempat tidur, mengeluarkan dua biji, lalu melirik Pani dan berkata, "Buka mulut."

Pani menatapnya, dan membuka mulut.

Sumi menyuapi obat ke dalam mulutnya.

Pani segera minum air dan menelannya.

Setelah makan obat, Pani segera meletakkan gelas yang ada di tangannya, mengambil kumpulan soal yang salah yang ada di atas tubuhnya, mengerutkan kening dan melihatnya.

Sumi menatapnya, bibir tipisnya mengencang, "Bisakah tidak melihatnya hari ini?"

Tatapan Pani tetap, padangannya tidak berpindah dari kumpulan soal yang salah yang ada di tangannya, "Dua hari lagi sudah mau ujian masuk universitas, aku masih ada banyak bagian yang tidak dimengerti dan ragu, aku harus mengejar waktu, kalau tidak akan tidak sempat."

"Kamu sudah sakit." Sumi duduk di tepi tempat tidurnya, mengulurkan tangan dan menggenggam sebelah tangannya yang dikepalkan oleh nalurinya karena gugup.

Saat Sumi menggenggam tangannya, tangannya bergetar, bulu matanya yang lentik juga sedikit bergetar, "Dokter telah menginfusku, sekarang minum obat lagi, itu bukan masalah besar."

Sumi menatapnya dengan tenang.

Sisi wajah Pani sedikit tegang.

Kedua matanya masih pada kumpulan soal yang salah, tetapi Sumi tahu bahwa dia sama sekali tidak masuk otak.

Sekarang dia dari ujung kepala hingga ujung kakinya penuh dengan kecemasan, kegelisahan, ketegangan dan tidak tenang.

Dalam kondisi seperti ini, bagaimana dia bisa benar-benar masuk otak.

"Dengar Panpan." Sumi menatap Pani dengan dekat, menyebabkan kedua mata Pani berpaling ke tubuhnya, "Aku mengerti suasana hatimu, juga sangat memahami kamu. Tetapi, kamu tidak boleh begini."

Tangan Pani yang digenggam oleh Sumi, radian gemetarnya makin besar.

Hati Sumi sedikit sakit, meletakkan kumpulan soal yang salah dari tangan Pani yang lain, kedua tangannya dibungkus dalam kedua telapak tangannya, menatap dia dengan sabar dan dalam, "Kamu bisa melakukannya dengan baik, Panpan, kamu sangat giat, juga memiliki kemampuan, sebelumnya aku tidak pernah khawatir kamu akan mengacaukannya, aku percaya padamu seratus persen."

Mata Pani memerah, dia menatap Sumi dengan gelisah, "Sekarang kamu merasa aku akan mengacaukannya, bukan?"

Sumi menggelengkan kepala dengan cepat, "Aku masih percaya padamu. Tetapi Panpan, keyakinan mutlak aku kepadamu itu tidak cukup, kamu harus yakin pada dirimu sendiri, kamu harus percaya pada dirimu sendiri lebih dari aku. Jika bahkan kamu sendiri gelisah, tidak yakin pada dirimu sendiri, kepercayaan orang di sekitarmu semakin banyak juga apa gunanya?"

"... Aku, aku." Pani menatap Sumi, sudut matanya merah hingga tidak bisa lebih merah lagi, "Sepertinya aku tidak punya jalan keluar lain. Kalau aku gagal, atau tidak begitu ideal, aku sudah tidak punya harapan, semuanya akan berakhir."

"Bahkan tidak peduli apakah ujian masuk universitas adalah salah satunya jalan keluar, tetapi kamu bukannya tidak memiliki jalan keluar lain, kamu masih ada aku, kamu masih bisa mengulanginya, kamu memiliki pilihan yang tidak terhingga. Panpan..."

Sumi mendekati Pani, menatap Pani, "Tidak peduli apa pilihanmu, aku akan mendukungmu, akan selalu di sisimu, tidak akan meninggalkanmu selamanya."

Selamanya...

Pani menatapnya dengan kebingungan, "Apakah tidak akan meninggalkanku selamanya?"

"Benar!" Sumi berkata.

Pani menarik napas yang dalam, dari sudut mata hingga rahang bawah, ada jejak basah yang lewat.

Sumi membebaskan sebelah tangannya, memegang pipinya dengan ringan, "Panpan, aku dan Ellen percaya padamu. Kamu bisa menanganinya, bukan?"

Mendengar dia menyebut Ellen.

Ujung hidup Pani menjadi ganas, mata merah Pani meluapkan kelembapan yang lebih banyak, suaranya terisak dan serak, "Benar, aku bisa, aku, pasti bisa!"

Sumi menarik bibirnya, dan mencium ruang antar alis Pani dengan lembut, "Sangat hebat!"

......

Pani berusaha semaksimal mungkin mengatur emosinya, juga merasa dirinya telah jauh lebih baik, tetapi pada malam hari, Pani masih mimpi buruk.

Dia terlebih dahulu mimpi tentang dia berada di lokasi ujian masuk universitas, dia mengambil kertas tes lalu ketika dia mulai mengerjakan, dia sudah tidak bisa mengerjakan soal pertama, dia sangat kecewa, juga sangat gelisah, dia memutuskan untuk melewati soal pertama, dan mengerjakan soal yang tersisa terlebih dahulu, tetapi dia menyadari, dia tidak yakin dengan setiap jawaban yang ditulisnya.

Akhirnya, dia menyelesaikan satu set soal tes dengan sembarangan, karena ketakutan akan jawaban yang belum diketahui, dia sangat gugup, merasa jantungnya sebentar lagi akan melompat keluar dari tenggorokannya.

Tetapi pada saat itu.

Reta Manis, Sandy, Troy, Pataya dan bahkan hingga Yuki Wu, Tanjing, dan juga bahkan Linsan tiba-tiba muncul, mengelilinginya di setiap sisi meja ujian, setiap wajah itu terdapat senyuman yang menghina, mereka secara bersamaan memarahi dia bodoh, memarahi dia ceroboh...

Kemudian, dia juga memimpikan Tinaya Zhao dan Ellen.

Mereka tidak memarahinya seperti Reta Manis dan yang lainnya.

Tetapi ketika dia sangat cemas sangat mendesak dan ingin berbicara dengan mereka, mereka seorang pun tidak menghiraukannya, Pani sedih dan menatapnya dengan pandangan kecewa dan sedih ingin menangis.

Pani terengah-engah dalam mimpi, air matanya jatuh tidak terkendali.

Gambar dalam mimpi itu sangat aneh, terakhir, dia ditenggalamkan oleh air matanya sendiri hingga napasnya, dia menggoyangkan kakinya ke atas dan ke bawah, tetapi dari awal hingga akhir tidak bisa keluar dari kesulitan.

Pani ingin menjerit tetapi tidak bisa, keputusasaan hampir sepenuhnya menenggelamkannya, dia merasa dirinya sudah mau meninggal, ketakutan itu, seperti kenyataan yang sudah mendarah daging.

"Panpan, bangun..."

"Jangan menangis, Panpan, aku di sini, Paman Nulu di sini."

"Panpan tidak takut, Panpan pintar, bangun."

"Panpan, Panpan..."

"Ah..."

Pani tiba-tiba terbangun, dan membuka kedua matanya.

Seluruh wajahnya berkeringat, saat dia membuka mata, kelopak matanya bahkan bisa mengeluarkan keringat halus.

Dia membuka mulut dan bernapas dengan berat, benar-benar seperti pada saat orang yang tenggelam dan akhirnya diselamatkan, didorong oleh naluri bertahan hidup, menghirup udara segar dengan tamak.

Detik berikutnya.

Seluruh tubuh Pani tiba-tiba dilingkarkan dalam sebuah dada yang kekar dan bergerak naik turun, bau laki-laki yang masuk ke hidungnya, kering, familiar.

Pani tiba-tiba mengulurkan tangan untuk meraih piyama di sisi pinggangnya, memejamkan mata dengan erat, bernapas dengan lebih mendesak.

"Sayang, rileks, rileks..."

Sumi mengelus punggungnya yang bergetar dengan hebat itu, terus-menerus menciumi telinganya yang basah karena keringat dan berkata dengan suara yang lembut.

Pani meraih piyamanya dan menariknya ke belakang lalu memeluknya dengan kuat, tenggorokannya meluapkan isakan yang tidak bisa dikendalikan, "Aku tidak bisa, aku tidak bisa..."

"..." Pandangan Sumi sedikit bergetar, hati langsung mencurahkan sakit hati dan kesedihan yang kuat.

Sebelah tangan Sumi memeluk punggung Pani dengan erat, sebelah tangannya lagi menggunakan sedikit tenaga untuk menopang bagian belakang kepalanya, dan menekan ke dadanya, bibir tipisnya menciumi rambut dan dahinya dengan hati-hati, sambil berkata, "Tidak masalah, tidak apa-apa, ini tidak berati apa-apa, kita tahu, kamu telah melakukan yang terbaik. Panpan, kamu telah melakukan yang terbaik!"

Seluruh tubuh Pani bergetar dengan hebat, "Paman Nulu, bisakah kamu memelukku dengan erat..."

Sumi segera mengeratkan tangannya.

"Katakan kalimat itu padaku lagi."

Sumi sedikit tertegun, menatap kedua mata Pani, terdapat sedikit keraguan.

"Kamu tidak akan pernah meninggalkanku selamanya." Pani berkata dengan suara yang sangat kecil.

"..."

Novel Terkait

My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
3 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu